27 Maret 2009

Manisnya Gula Merah Tak Semanis Nasib Petani Siwalan


Ekatur Rahmah, siswi XI IPA SMA 3 Annuqayah, Koordinator Riset Data dan Dokumentasi Tim Gula Merah School Climate Challenge Competition British Council

Brumbung adalah satu kawasan di desa Aeng Panas Pragaan yang banyak ditumbuhi pohon siwalan. Menurut penduduk di sana, setiap penduduk rata-rata memiliki sekitar 20 pohon siwalan, sehingga di kawasan ini banyak sekali pohon siwalan.
Salah satu pemilik pohon siwalan di situ adalah Bapak Halik yang lebih dikenal dengan panggilan Pak Hayati. Petani siwalan yang berusia lebih lima puluh tahun ini menggeluti pekerjaannya dengan tekun. Dia tidak pernah merasakan bangku pendidikan, karena sejak remaja ia telah menekuni dunia siwalan.
Pada saat musim kemarau ia dapat memgambil nira pada tiga puluh pohon siwalan, tapi saat musim penghujan fungsi pohon siwalan biasanya berkurang sehingga hanya 20 pohon yang bisa dimanfaatkan oleh Bapak Halik. Biasanya Bapak Halik mengambil air nira dua kali sehari. Setelah subuh ia bersiap-siap dengan peralatannya menyusuri jalan setapak menuju pohon siwalan melawan dinginnya pagi demi mengantongi uang Rp.5.000,- hingga Rp.7.000,-. Sementara Bapak Halik berangkat mengambil air nira, di rumah Ibu Halik mengumpulkan kayu untuk bahan bakar pembuatan gula merah sambil menyiapkan sarapan untuk keluarganya.
Dari keluarga Pak Halik, kami tim gula merah banyak memperoleh informasi seputar umur pohon siwalan, peralatan yang digunakan untuk mengambil air nira, serta proses pembuatan gula merah dari air nira sampai jadi gula merah.
Adapun peralatan untuk mengambil air nira antara lain: timba yang terbuat dari daun lontar untuk tempat air nira, laro (kulit pohon kesambi) yang digunakan untuk meningkatkan kualitas, alat pengapit terbuat dari kayu yang digunakan ketika proses pengapitan. Selain pengenalan alat-alat, Pak Halik memberi tahu kami bahwa sebelum air nira diambil, harus melalui proses ekaremo (pengapitan) setiap tiga hari sampai satu minggu baru setelah itu air nira dapat diambil.
Pak Halik yang malang, meskipun sudah melalui kerja keras yang melelahkan, ternyata hasil dari penjualan gula merahnya tak mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarganya, sehingga terkadang dengan terpaksa ia menjual pohon siwalannya untuk menambah penghasilan.
Dengan air nira di tangan Pak Halik kembali ke rumah. Saat itu jam menunjukkan pukul 09.00 pagi. Ibu Halik yang sudah menyiapkan kayu bakar sebelumnya langsung menuang air nira yang diperoleh Pak Halik pada kuali besar yang biasa digunakan untuk memasak gula merah.
Ketika rombongan tim kami sampai di kediaman pak Halik, kami disambut hangat oleh keluarga pak Halik dengan jamuan khas petani siwalan yaitu air nira hangat. Setelah kami mengobrol sebentar dengan Pak Halik dan juragan gula yang sering memborong gula merah keluarga Pak Halik, kami pun memulai wawancara.
Dari hasil wawancara dengan Pak Halik, diperoleh informasi bahwa dalam sehari Pak Halik dapat memperolah sekitar tiga kilogram gula. Karena gula merah tergantung pada seberapa banyak hasil nira yang didapat, maka sebenarnya sulit dipastikan seberapa banyak gula yang didapat per hari.
Saat kami menanyakan alasan penebangan pohon siwalan, ia menjawab, “Sebenarnya kami tidak mau menebang pohon siwalan di sekitar sini, tapi karena desakan ekonomi, kami terpaksa melakukan penebangan.”
“Setelah petani melakukan penebangan, apakah ada penanaman kembali dari pihak petani, Pak?” tanya Ibu Mus’idah yang mendampingi kami saat itu. “Kalau penanaman kembali belum ada, karena mayoritas pohon siwalan itu tumbuh dari buah yang jatuh, lalu menjadi bibit baru. Kami sendiri jarang melakukan penanaman kembali, karena terlalu sibuk, sedangkan remaja-remaja sekitar sini sudah mulai tidak peduli dengan pohon siwalan, yah… namanya juga anak muda,” jawabnya.
Usai wawancara dengan Pak Halik, kami melihat Ibu Halik membuat gula merah. Sesekali kami membantu. Saat proses pembuatan gula merah, ada salah satu anggota tim nyeletuk, “Buat gula merah itu susah ya? Mending ntar aku yang bantu makan aja deh.” Kami pun sontak tertawa, setelah dua jam kemudian akhirnya gula merah pun jadi.
Bersama Ibu Halik kami memperoleh banyak pengalaman, dari betapa susahnya membuat gula merah dan dan pahitnya kehidupan petani siwalan.

Tidak ada komentar: