25 Maret 2009

Siswa SMA 3 Annuqayah Belajar Lapangan tentang Gula Merah dan Jubedhe


Ummul Karimah, siswa XI IPA SMA 3 Annuqayah, Koordinator Sosialiasi dan Promosi Tim Gula Merah School Climate Challenge Competition British Council

GULUK-GULUK—Tim Gula Merah Pohon Siwalan SMA 3 Annuqayah untuk Lomba School Climate Challenge British Council melakukan riset data tentang kemelut pangan gula merah ke bumi Cecce’ Laok Pragaan Sumenep Selasa (24/03) kemarin. Sejatinya tim yang berjumlah 5 siswa dan 2 guru itu berangkat dengan persiapan yang minim, tetapi karena sudah tertunda beberapa kali maka akhirnya mereka berangkat juga.

“Kalau ditunda-tunda terus maka ke belakang kita akan sulit mendapatkan waktu. Bukan mudah mendapatkan nira untuk praktik membuat gula merah, apalagi saat hujan masih sering turut seperti saat ini,” kata Syaiful Bahri, guru pembimbing tim tersebut. Menurut Syaiful, tanpa persiapan pun yang sempurna pun mereka tetap akan bisa melakukan riset di lapangan.

Memang dua hari sebelumnya tim riset telah mengadakan pertemuan. Namun karena mereka belum tahu pasti kapan akan berangkat terjun ke lapangan maka mereka hanya menyiapkan pelajaran untuk penguatan kapasitas saja. Ekatur Rahmah, salah satu anggota tim, mengatakan bahwa ia dengan timnya hanya mengkliping data dan merancang jadwal secara terperinci. Baginya ini merupakan tantangan yang harus ia terjang dengan sukses. “Kami pasti bisa,” tambahnya.

Rombongan berangkat sekitar pukul 10.00 WIB dari sekolah. Dalam waktu setengah jam mereka sampai di tempat tujuan. Mereka disambut dengan senyum lebar oleh Halik, petani gula merah yang menjadi tempat riset kali ini. Kemudian kami disambut dengan nira hangat yang mengusir dahaga.

Alhamdulillah interview berlangsung sukses. Pak Halik dan anaknya yang bernama Hayati itu begitu semangat dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh 2 anggota tim bagian riset data dan dokumentasi. “Mon ghi’ badah se ta’ jelas dhulih tanyaagi, Bhing! Ma’le pas tontas (kalau masih ada yang tak jelas, cepat tanyakan Nak! Agar tuntas),” kata pak Halik dengan logat bumi Cecce’-nya yang khas.

Setelah acara interview selesai, Pak Halik mempraktikkan secara detail cara mengambil nira sampai proses pengolahan selesai. Bahkan ia juga memperkenalkan seluruh nama alat-alat untuk menghasilkan nira.

Ada satu pertanyaan yang membuat semua haru. Yaitu mengenai proses penjualan di pasar. Bila Bu Hayati menjual gula merahnya di pasar, maka harganya berkisar antara Rp 3.500,- atau kadang bila mujur Rp 7.500,-. Namun yang mujur itu jarang mereka peroleh. Belum lagi ketika para pembeli melontarkan tawarannya. Mus’idah, guru pembimbing tim, mengatakan bahwa yang demikian itu membuatnya prihatin. “Bila dibandingkan dengan nilai kerja Bu Hayati sungguh tidak sesuai dengan nilai nominal yang diperoleh,” Mus’idah menambahkan. Tim berpamitan, Bu Hayati mempersilakan kepada mereka untuk membawa gula merah yang mereka buat sendiri saat praktik.

Acara berlangsung tak hanya di situ. Kemudian tim melanjutkan perjalanan yang kedua yaitu ke Desa Karduluk untuk mempelajari cara membuat jubedhe—makanan ringan berbahan gula merah. Hanya sebentar saja tim telah bisa mempraktikkan cara membuat “kurma madura” itu. Jadi acara yang kedua ini tidak berlangsung lama. “Kok hanya sebentar, Nak,” Bu Zainab selaku juragan jubedhe menunjukkan raut wajah yang seakan-akan masih ingin berlama-lama dengan Tim Gula Merah. Namun karena tim masih mempunyai agenda lain, jadi mereka melanjutkan perjalanan pulang. Rombongan tim tiba di Sabajarin pada pukul 14.00 WIB.

Tidak ada komentar: