19 April 2007

Lakukanlah Karena Hati

Seorang muslim wajib bersyukur kepada Allah. Menundukkan kepala untuk bertafakkur seraya membuka hati, mengevaluasi diri, menilai hasil tugas dan pekerjaan. Mengukur sejauh mana keberhasilan yang sudah dicapai. Apakah masih ada keberhasilan yang tertunda? adakah kegagalan yang masih dijumpai? Atau bahkan kita gagal dalm meraih sesuatu yang kita inginkan. Untuk itu jalan manakah yang akan kita lalui agar tidak bertemu lagi dengan kegagalan dan senantiasa meraih keberhasilan yang berkesinambungan dan mendapat ridha Allah.
Untuk sebuah keberhasilan, dalam surat An-Nashr: 1-3 Allah SWT mengisyaratkan apa yang harus kita lakukan, yang artinya: “Apabila datang pertolongan Allah dan kemenangan dan kamu melihat manusia berbondog-bondong, maka bertasbihlah, dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya”.
Mari kita sadari bahwa, setiap keberhasilan yang kita peroleh semata-mata karena kehendak serta pertolongan Allah yang dibarengi usaha kita. Namun usaha kita hanya sebagai batu loncatan keberhasilan saja, semuanya hanya dari Allah.
Usaha dan upaya yang kita lakukan tidak lepas dari belajar dan peran, serta guru, dan lingkungan sekitar. Belajar adalah kunci dari kesuksesan, maka dari itu belajar secara efektif yang jarang kita temui atau jarang kita pakai, karena ketidak pahaman atau ketidak jelian siswa. Akan kami berikan sedikit masukan yang mungkin akan lebih mudah jika kita pakai untuk proses belajar :
• Menciptakan suasana hati yang tepat. Pastikan jika belajar hati kita dalam keadaan tenang, damai dan santai tak ada beban di hati kita. Beban terus terasa?? cobalah ambil wudhu’ dan sedikit bershalawat. Maka sedikit banyak akan terasa ketenangan pada diri kita.
• Lakukanlah karena hati, jangan pernah lakukan karena ambisi.
• Menggali informasi. Galilah informasi dengan banyak membaca dan mulailah meresensi buku yang kamu baca, karena dengan begitu tangan dan mulut kita akan luwes. Luwes menulis dan pandai berbicara, penyampainnyapun akan sistematis, disebabkan kita banyak membaca buku.
• Menemukan makna dari apa yang dipelajari dan bukan sekedar transfer ilmu. Tumbuhkan sikap kritis dari apa yang kita pelajari, dengan begitu otak kita tidak akan beku dan akan menemukan ide ide dan jawaban yang unik.
• Memancing memori dengan melakukan pengulangan-pangulangan. Dan mencoba dengan berdiskusi dengan teman teman.
• Tindakan terakhir lakukan sebuah kesimpulan dan renungilah apa yang telah kita pelajri sejauh mana kita telah melangkah.



“Semoga bermanfaat dan barokah”


Mus’iedah Amien, S. Pdi (Pembina Osis SMA 3 Annuqayah)

16 April 2007

Hikmah Di Balik Paccak

Sudah menjadi kebiasaan santri, tak memiliki sandal. Ya, begitulah…, seperti halnya aku sekarang ini(kehilangan sandal). Celingak-celinguk mencari sandal dibawah teras pondokku. Mungkin masih ada, meski berbeda warna atau bahkan bentuk. Kembali aku mencarinya, kini lebih teliti lagi. Aku berjalan mengitari pondok. “Hhhh!” cape dech. Tapi kini, betapa terkejutnya aku ketika melihat sepasang benda dengan bentuk terbalik yang hampir tertelan tanah karna lama tak dijamah pemiliknya. Syukur, ternyata tuhan masih memberiku kesempatan untuk ngaji Al-Quran di Dhalemnya nyai tuan.
Kebetulan sekarang di pondokku ada acara. Acara apa aku juga nggak tau, entahlah. Secepat mungkin aku melangkah, takut tak kebagian ngaji(entar kena dhukani lagi kayak kemaren karena nggak ngaji). Disekitarku banyak anak baru yang tak kukenal. Easy goinglah. Tak tek tok, suara PACCAK mengalun indah ditelinga. Sungguh, aku benar-benar merasa seperti santri tulen jika memakai aksesoris seperti ini, dengan sarung plus pecak yang rada-rada tipis. Kini jalanku agak kuperlambat sedikit, sepertinya ada yang aneh di sekitarku? Ada sedikit keganjalan. Aku menunduk dengan lirikan setajam mungkin. Subhanallah. Aku terkejut bukan main. Orang-orang disekitarku berdiri tegak layaknya tiang bendera. Aku dihormat. Apakah karena kostum yang kupakai? Haruskah Pecak identik dengan seorang nyai atau kyai?aku membatin. Ah, jangan-jangan hanya pikiranku saja. Aku menoleh kebelakang untuk memastikan apakah ada nyai atau kyai di belakangku. Nggak ada. Gila, Mereka benar-benar menghormatku. Geli juga. Jadi GR.
Eh, tunggu dulu, mereka menghormatku karena tampang nyai atau hanya Pecak plus sarung yang kupakai?(jadi rada-rada mirip nyai gitu!). Kembali kumempercepat langkahku, dan makin menundukkan kepala, bukan karena malu ataupun salting karna diliatin, tapi catet.., untuk memperkuat praduga mereka. He…., maaf. Gilanya lagi, ketika aku ngomong ketemenku kalo aku dihormat layaknya seorang nyai, e…mereka malah memperkuat keyakinan mereka, dengan mengatakan “Neng, kapan rabu?” tanyanya sembari membuka sandal dari kejauhan. Akupun merespon “kemaren” tawaku meledak. Asli, kini pondokku jadi pentas teater. Anak dhalempun ikutan acting ngajak aku makan ”neng udah waktunya makan katanya mbah nyai” dengan muka tak bersalah akupun menjawab “nggak, males ah!”, “Lho, entar neng sakit. Lagian saya yang akan didhukani kalo neng nggak mau makan” rengeknya. Aku sudah nggak tahan untuk mengakhiri sandiwara ini. Aku segera kembali kepondok, dengan perut mules menahan tawa. Emang enak dikerjain!? Eh, ada kabar baru lho!!! sekarang anak pondokku punya sandal semua, so, ga harus ada korban selanjutnya, he…

Kejora (XII A SMA 3 Annuqayah)