25 Agustus 2008

Hindari Kawin Muda!

Oleh Ummul Corn (XI IPA)

Guluk-Guluk—OSIS SMA 3 Annuqayah mengadakan acara seminar bertema “Kesehatan Reproduksi Remaja dalam Perspektif Sosial Budaya, Agama, dan Medis” kemarin (24/08). Acara ini merupakan salah program OSIS SMA 3 Annuqayah, yang dilaksanakan berbarengan dengan acara Pelantikan OSIS SMA 3 Annuqayah dan bertempat di aula utama Madaris 3 Annuqayah.

Acara seminar tersebut berlangsung sukses sekali. Hal ini disebabkan para peserta sebanyak 50 orang yang terdiri dari : 30 orang siswa SMA 3 Annuqayah, 6 orang undangan dari sekolah lain, dan 14 orang pengurus OSIS SMA 3 sendiri, disiplin waktu dan aktif dalam sesi tanya jawab. Bahkan yang lebih menghebohkan, jawaban untuk pertanyaan 15 siswa dipending keesokan harinya oleh sang narasumber yaitu: dr.Wongso dan Ny. Fairuzah, M.Ag, sebab masing masing di antara mereka sama-sama sibuk dan pulang sebelum acara selesai. Meski demikian, tak sedikit pun hal ini mengurangi semangat peserta.

Sementara itu, saat wartawan Madaris 3 Annuqayah datang mewawancarai pembina OSIS SMA 3 Annuqayah, Ibu Mus’iedah Amien, ia siaga dan menghembuskan nafas siap. “Acara ini cukup beda dan menarik perhatian sisiwa, karena acara ini rangkap dua. Beda dengan Tahun selum-sebelumnya yang jika acara pelantikan ya pelantikan saja,” tuturnya.

“Pelatihan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi seluruh siswa yang sudah menikah, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti: hamil, kemudian putus sekolah. Khususnya bagi yang belum menikah, agar mereka tahu bahwa kawin dini itu banyak dampak negatifnya dan merugikan diri sendiri. Hindari kawin muda!” tambahnya.

17 Agustus 2008

Benarkah Kita Benar-Benar Telah Merdeka?

Oleh Muhammad-Affan

Merdeka artinya terbebasnya seseorang, suatu bangsa atau negara dari ancaman, intimidasi, dan kendali pihak lain. Dalam konteks kebernegaraan kita, kemerdekaan adalah terbebasnya bangsa Indonesia dari kendali pihak asing. Kita telah meraih kemerdekaan itu beberapa puluh tahun yang lalu. 17 Agustus 2008 tidak lain hanyalah momentum saja. Peringatan 17 Agustus berfungsi sebagai reminder semangat juang para pendahulu agar senantiasa mampu kita terjemahkan dalam tindak laku sehari-hari untuk mengisi ruang kemerdekaan ini. Tugas kita selanjutnya adalah bagaimana agar kemerdekaan ini tidak direnggut lagi oleh pihak lain.
Namun sampai detik ini kita ternyata belum mampu menangkap sepenuhnya makna kemerdekaan itu. Menjelang detik-detik kemenangan, seperti biasa, kita masih lebih banyak menonton seremoni perayaan semu dan hiburan daripada kerja keras gambaran sebuah perjuangan. Sederetan lomba dirayakan serentak di tanah air, mulai dari panjat pinang, lari dalam karung, pindah kelereng, gerak jalan hingga konvoi dan semarak panggung hiburan. Semua hanyut dalam seremoni perayaan semu yang kerontang substansi. Kita masih mengidap low contex culture, seakan-akan semua pekerjaan sudah selesai, tinggal menikmati saja. Sekarang, mari sejenak lupakan semua itu...
Setiap tahun bibir pantai laut kita semakin mengerut, dikeruk, dijual ke negeri seberang. Setiap tahun sektor kelautan kita menderita kerugian puluhan trilyun. Nasib rimba nusantara juga tidak lebih baik. Penebangan liar (illegal logging) dari tahun ke tahun makin menggila. Hingga pada tahun 2000, lahan hutan rusak mencapai 101,73 juta ha. Ratusan ribu hektar lahan konservasi diubah menjadi lahan komoditi untuk lapangan golf, apartemen, vila, perkantoran, rumah dan tanaman komoditi untuk memenuhi perut-perut industri. Kemampuan produksi hutan indonesia setiap tahunnya hanya 40%, sementara kebutuhan produksi mencapai angka 60%(Walhi 2006). Ini artinya setiap tahun sekitar 20% hutan lindung yang ditebang untuk memenuhi tuntutan pasar. Untuk lima pulau besar, yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua menunjukkan luas penutupan hutan telah berkurang seluas ± 1,8 juta ha/tahun setara dengan luas Pulau Jawa. Kerugian negara Rp.30 trilyun pertahun (Menteri kehutanan 2006). Akibatnya, puluhan ribu flora dan fauna musnah dan sejak tahun 1995 pulau Jawa telah mengalami defisit air sebanyak 32,3 miliar meter kubik setiap tahunnya (Badan Planologi Dephut, 2003).
Yang lebih mengherankan, Indonesia sebagai negara penghasil minyak dan gas, hingga saat ini, untuk memenuhi kebutuhan migas dalam negeri saja masih mengimpor. Data yang dikeluarkan oleh Jaringan Advokasi Tambang, Indoneisa memiliki 158 Blok migas. Namun sayangnya, hanya 21 blok dikuasai Pertamina (13%), selebihnya, 137 blok telah dikuasai pihak asing sejak beberapa puluh tahun yang lalu (JATAM,2007).
Keikutsertaan Indonesia dalam OPEC tidak lebih dari melacurkan harga diri bangsa ini untuk kesejahteraan negara lain. Indonesia juga tercatat sebagai Republik hutang. Di bawah IMF, WB, dan ADB, hutang Indonesia mencapai 132 USD atau sekitar Rp.1400 trilyun (Revrisond Baswir dalam Republika, 2007). Untuk membayar beban angsuran pokok dan bunga hutang luar negeri saja, negeri ini harus menyisihkan sepertiga dari APBN. Akibatnya, tarif pelayanan kesehatan (Rumah sakit) dan pendidikan (Sekolah dan Perguruan Tinggi) kita mahalnya minta ampun, sementara kualitasnya tetap anjlok.
Kemerdekaan mengandaikan refleksi, kerja keras, dan perjuangan tanpa henti. Merayakan kemerdekaan cukup sekali saja. Selebihnya, tugas kita selajutnya adalah memperjuangkan agar kemerdekaan yang telah dicapai oleh bangsa ini bisa terus dipertahankan dan dikembangkan demi kualitas hidup bersama yang lebih purna. Merayakan sebuah kemenangan dengan pesta berkali-kali, bahkan berpuluh-puluh kali, merupakan seremoni romantisme sejarah yang usang.
Terasa naif sekali rasanya bila setiap tahun, dari dulu hingga sekatang, Indonesia (hanya) merayakan kemerdekaan. Merayakan an sich, tidak lebih dari itu. Kemerdekaan seharusnya cukup dirayakan sekali saja. Selebihnya tugas kita adalah memperjuangkan kemerdekaan itu. Sampai disini, apakah cukup yakin kita untuk mengaku telah merdeka? Dari sisi mana kita melihatnya?

Muhammad-Affan, guru SMA 3 Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep.

Mengheningkan Cipta, Mulai!!!

Oleh Juwairiyah Mawardi

Upacara merdeka sejak tahun 1945.
Bulan Ramadan yang gerah oleh kenyataan perjuangan yang belum usai. Jam 10 pagi terik matahari. Bersimbah peluh dan cecer darah. Meneriakkan kemerdekaan yang dicitakan dalam alur panjang penjajahan. Kekuasaan pribumi yang badai kapas di tangan. Diterbangkan penindasan atas kebodohan rakyat. Yang jelata dan kuasa, diperbudak paksa. Menjadi tumbal gerbang sejarah bagi generasi berikutnya.
Merdeka atau mati! Demikian diucapkan para Bung kita. Lalu kita upacarakan dari tahun ke tahun sebagai ceremony kedigdayaan negeri. Berbaris, bernyanyi lantang, tengadah pada bendera dalam hormat selangit. Seperti pasukan jepang yang dilatih perang melawan bangsa sendiri. Seperti barisan tentara Belanda yang dilatih jadi pengkhianat bangsa sendiri. Begitulah kita dari tahun ke tahun. Bubar.... jalan! Lantas bubar pulalah semangat juang kita.
Apakah arti kemerdekaan? Pengkhianatan atas rakyat tak pernah punah. Penindasan atas ketakberdayaan hak asasi tak pernah surut. Selangkahpun tak ada jejak kemerdekaan baru bagi rakyat. Orde Baru bergaung seperti dalam goa-goa pertapaan abadi.
@@@
Reformasi sejak tahun 1998.
Mahasiswa berada di garis depan perjuangan baru menumbangkan tirani yang selama 32 tahun berhuni dalam rongga-rongga sejarah hingga menyesakkan nafas kaum revolusioner. Bersama mahasiswa kita bisa menumpas ketidakadilan kaum tirani yang menyurukkan mahkota kekuasaannya hingga ke kolong-kolong jembatan. Seperti kemerdekaan baru. Bagi kata, bagi rupa, bagi jiwa, bagi apapun. Seperti lepas dari mimpi buruk tanpa ujung. Rayakan kemenangan. Seperti kembali pada fitrah kemanusiaan. Berganti kepemimpinan yang diimpikan. Seperti angin segar, menyeruak.....Sesaat.........

Upacar kemerdekaan tahun 2008.
Libur nasional, mengheningkan cipta dalam ceremony yang begitu rutin. Peluh yang percuma. Teriak merdeka yang tanpa ruh. Merdeka! Siapa yang merdeka kini? Para penguasa telah memerdekakan kesenangan mereka dengan menjajah rakyat dalam kerja paksa yang lain. Para petani yang peluhnya menguning bagai padi. Dipetik dengan murah meriah. Biaya pendidikan yang bersaing laksana pasar bebas. Pendidikan berazas kapitalis. Kaum pemerintah yang menimbun harta karun bagi anak cucu tujuh belas turunan. Korupsi yang menjadi tradisi kultural dari strukural hingga personal. Kaum ulama yang tak lagi mewarisi nafas ke-WALI-an dan ke-NABI-an. Pemerintah tingkat rendahan hingga tingkat tinggi yang menggadaikan rakyat bahkan sebelum mereka memperoleh pangkatnya. Penjajahan baru yang terpola dan mengakar. Inilah warisan yang mendarah daging bagi mental bangsa. Kita tak pernah sembuh dari luka-luka penjajahan belanda, jepang, portugis, inggris. Mereka telah menyematkan azimat keramat tentang bagaimana menindas manusia lain. Meski sebangasa, setanah air, senegara dan seagama. Telah merdekakah kita?
Betapa telah kita buat mubazir darah juang para pahlawan. Yang melepaskan jiwa demi sehembus nafas yang merdeka. Untuk kita yang bersepakat dengan penjajahan berikutnya terhadap sesama.
Lihatlah bumi kita, dengarkan nyanyi pertiwi yang ranggas, dibuat tandus dalam penebangan liar pohon-pohon yang menjadi pacak bumi. Pengurusan atas hak-hak rakyat yang tak terganti bahkan dengan sesuap nasi seteguk kesejukan. Mereka yang berkubang lumpur tanpa ada uluran tangan emas penguasa.
Lihatlah para wakil rakyat yang saling merapatkan barisan dalam rapat-rapat tanpa melaksanakan amanat rakyat. Dari untuk pejabat bagi pejabat. Mereka berkompetisi untuk mendapatkan kursi goyang yang akan menggonjang-ganjingkan nasib rakyat. Mereka membahas tentang nasib rakyat seperti pelajaran yang membosankan dalam ruang-ruang sidang mewah. Di luar sana, rakyat berteriak hingga serak dan terkapar di trotoar. Merdekakah kita? Merdeka atau mati. Kita hampir mati menunggu kemerdekaan yang tak kunjung tiba, yang mungkin hanya mimpi.
Maka, upacarakan saja segala mimpi, bacakan mantra-mantra perjuangan yang lelah kurang darah. Pakailah seragam kebangsaan yang berlambang ketertindasan. Semangatkan cita-cita bagi sejarah berikutnya. Cinta tanah air, baurkan dengan air mata yang haru biru dalam lebam-lebam luka kalbu. Baiklah, mari kita mengheningkan cipta. Mulai!


Juwairiyah Mawardi, guru SMA 3 Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep.