20 November 2011

Diskusi Lintas-Benua Seri Ketiga: Seru Tapi Nyaris Kacau


Masluhatun, siswi kelas XI IPS 1 SMA 3 Annuqayah

Guluk-Guluk—OSIS SMA 3 Annuqayah kembali mengadakan seri diskusi video conference lintas-benua. Untuk seri yang ketiga ini, dilaksanakan pada hari Jum’at pagi (18/11) kemarin, bertempat di MRC (Madrasah Resource Center) Madaris 3 Annuqayah. Penyajinya adalah seorang difabel bernama Slamet Thohari. Tema yang diangkat adalah “Kesempatan yang Sama untuk Kaum Berbeda.”

Slamet Thohari, pria kelahiran Kudus ini, bercerita tentang kehidupannya sebagai seorang difabel. Dia bersekolah di sebuah MI (Madrasah Ibtida’iyah) dan SMP di Kudus, namun tidak melanjutkan ke SMA karena kekurangan biaya. Dia sebenarnya lulus di SMA 1 Kudus, tapi karena tak punya biaya kemudian masuk ke pesantren di antaranya di Rembang. Slamet kemudian berhasil melanjutkan kuliah ke UGM Yogyakarta jurusan filsafat dan bulan lalu baru saja menyelesaikan studi S2 di University of Hawaii at Manoa, Amerika Serikat.

Sebagai seorang difabel, Slamet Thohari banyak bercerita tentang halangan yang menghambat dirinya untuk berjuang memperoleh pendidikan, seperti fasilitas publik yang kurang mendukung dan pandangan-pandangan masyarakat di sekitarnya. Slamet banyak mengisahkan pengalaman pribadinya mengenai hal ini.

Sekitar dua puluh menit Slamet Thohari menyampaikan pengalamannya sebagai seorang difabel dalam pengantar diskusi ini. Setelah itu dilanjutkan dengan sesi tanya-jawab. Peserta sangat antusias dalam mengajukan pertanyaan dan berbincang-bincang. Walaupun peserta yang hadir tak sampai 30 orang, namun antusiasme mereka mengikuti diskusi ini sangat positif. Ini karena cara penyampaian narasumber yang ringan dan format diskusi yang dikemas dalam bentuk tanya-jawab secara langsung, ditambah lagi dengan cerita-cerita pengalaman narasumber sendiri.

Semua tanggapan dan pertanyaan diterima dan dijawab langsung dengan baik oleh Slamet Thohari. Di antara jawaban yang diuraikan, dia juga membandingkan kesempatan yang dimiliki oleh kaum difabel di Indonesia dengan kaum difabel di luar negeri. Atau fasilitas-fasilitas yang dikhususkan untuk kaun difabel, seperti pendidikan, transportasi, dll.

Dia juga bercerita tentang masih sedikitnya sekolah inklusif di Indonesia, yakni sekolah yang tak membedakan antara kaum difabel dan orang biasa. Slamet juga menyinggung soal SLB (Sekolah Luar Biasa) yang dikhususkan untuk kaum difabel. Sebenarnya kaum difabel banyak yang menggugat karena di SLB pelajarannya berbeda dan hanya terbatas sekali.

Diskusi kali ini berjalan bukan tanpa kendala. Di antara kendala yang dihadapi: perubahan tempat yang tiba-tiba (awalnya di lab IPA kemudian di pindah ke MRC) karena gangguan suara mesin cor, kabel untuk koneksi internet putus, peserta diskusi datangnya terlambat, dan yang paling mengkhawatirkan adalah narasumber tak kunjung online karena masih ada kendala di Hawaii.

Selama menunggu narasumber online, para peserta mengisi waktu dengan memutar beberapa video tentang kaum difabel dan sedikit berbincang-bincang tentang difabel dari tulisan Slamet Thohari di halaman Facebook-nya.

Semua penantian itu terbayarkan setelah Slamet Thohari berbagi cerita, pengalaman dan ilmu secara online selama 2 jam 10 menit, dimulai pukul 10.10 WIB. Acara ini ditutup pada pukul 12.20 WIB, dan setelah itu panitia rujak bersama di Lab IPA SMA 3 Annuqayah.