Sudah menjadi kebiasaan santri, tak memiliki sandal. Ya, begitulah…, seperti halnya aku sekarang ini(kehilangan sandal). Celingak-celinguk mencari sandal dibawah teras pondokku. Mungkin masih ada, meski berbeda warna atau bahkan bentuk. Kembali aku mencarinya, kini lebih teliti lagi. Aku berjalan mengitari pondok. “Hhhh!” cape dech. Tapi kini, betapa terkejutnya aku ketika melihat sepasang benda dengan bentuk terbalik yang hampir tertelan tanah karna lama tak dijamah pemiliknya. Syukur, ternyata tuhan masih memberiku kesempatan untuk ngaji Al-Quran di Dhalemnya nyai tuan.
Kebetulan sekarang di pondokku ada acara. Acara apa aku juga nggak tau, entahlah. Secepat mungkin aku melangkah, takut tak kebagian ngaji(entar kena dhukani lagi kayak kemaren karena nggak ngaji). Disekitarku banyak anak baru yang tak kukenal. Easy goinglah. Tak tek tok, suara PACCAK mengalun indah ditelinga. Sungguh, aku benar-benar merasa seperti santri tulen jika memakai aksesoris seperti ini, dengan sarung plus pecak yang rada-rada tipis. Kini jalanku agak kuperlambat sedikit, sepertinya ada yang aneh di sekitarku? Ada sedikit keganjalan. Aku menunduk dengan lirikan setajam mungkin. Subhanallah. Aku terkejut bukan main. Orang-orang disekitarku berdiri tegak layaknya tiang bendera. Aku dihormat. Apakah karena kostum yang kupakai? Haruskah Pecak identik dengan seorang nyai atau kyai?aku membatin. Ah, jangan-jangan hanya pikiranku saja. Aku menoleh kebelakang untuk memastikan apakah ada nyai atau kyai di belakangku. Nggak ada. Gila, Mereka benar-benar menghormatku. Geli juga. Jadi GR.
Eh, tunggu dulu, mereka menghormatku karena tampang nyai atau hanya Pecak plus sarung yang kupakai?(jadi rada-rada mirip nyai gitu!). Kembali kumempercepat langkahku, dan makin menundukkan kepala, bukan karena malu ataupun salting karna diliatin, tapi catet.., untuk memperkuat praduga mereka. He…., maaf. Gilanya lagi, ketika aku ngomong ketemenku kalo aku dihormat layaknya seorang nyai, e…mereka malah memperkuat keyakinan mereka, dengan mengatakan “Neng, kapan rabu?” tanyanya sembari membuka sandal dari kejauhan. Akupun merespon “kemaren” tawaku meledak. Asli, kini pondokku jadi pentas teater. Anak dhalempun ikutan acting ngajak aku makan ”neng udah waktunya makan katanya mbah nyai” dengan muka tak bersalah akupun menjawab “nggak, males ah!”, “Lho, entar neng sakit. Lagian saya yang akan didhukani kalo neng nggak mau makan” rengeknya. Aku sudah nggak tahan untuk mengakhiri sandiwara ini. Aku segera kembali kepondok, dengan perut mules menahan tawa. Emang enak dikerjain!? Eh, ada kabar baru lho!!! sekarang anak pondokku punya sandal semua, so, ga harus ada korban selanjutnya, he…
Kejora (XII A SMA 3 Annuqayah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar