09 Maret 2009

“Buku Curhat” di Perpus Sekolah Saya

Ummul Karimah (XI IPA)

Di tahun 2008 lalu, tepatnya pada tanggal 10 Maret, saya merasa heran melihat tumpukan sepatu di depan Perpustakaan Madaris 3 Annuqayah. Begitu banyak. Tidak seperti biasanya. Yang biasanya hanya 10-20 pasang sepatu, saat itu kira-kira mencapai 40-an. Keheranan saya semakin bertambah saat siswa tersenyum-senyum ketika saya pandangi dari balik jendela.
Dari balik jendela itu pula tiba-tiba siswa yang tersenyum itu, teman saya, Nujaimah namanya, mengajak saya untuk masuk ke Perpus. Kebetulan saya memang hendak mencari tahu apa yang terjadi. Kemudian terdengar bisikan.
“Ssst…! Sini cepat masuk.”
“Ada apaan sih?”
“Jangan banyak bicara. Ada yang baru di sini. Seru!” terangnya belum begitu jelas.
Percakapan itu masih lekat di ingatan saya. Saya juga ingat, bujukan itu yang membuat saya semakin tertarik dan penasaran untuk masuk bergabung bersama mereka, para pecinta Perpus.
Usai mengisi daftar pengunjung, saya menduga ada acara yang sangat menarik sehingga seluruh siswa yang ada di situ berjejer rapi ke belakang seperti sedang mengantre. Ada apa gerangan? Tampak di bagian terdepan antrean, ada seorang siswa yang sedang menulis.
Saya kira buku berwarna biru itu hanyalah buku sembarangan yang tak jelas maksudnya. Namun setelah saya selidiki sampulnya bertuliskan: BUCUR (Buku Curhat) Perpustakaan Madaris 3 Annuqayah. Saya agak mengerti, namun belum begitu jelas. Maka dari itu saya bertanya lagi pada Nujaimah yang sebelumnya sudah mengikuti acara launching Bucur tersebut.
“Kawan, ceritakanlah kepadaku tentang buku istimewa itu!”
“Baiklah. Kebetulan tadi saya hadir waktu buku itu diluncurkan di Perpus.” Ia tersenyum sambil menceritakan semuanya pada saya.
Dengan terperinci ia bercerita mengenai tata cara pengisian Bucur yang boleh diisi oleh siapa saja, para pengunjung perpus, baik guru, siswa, mahasiswa, atau siapa pun. Apa yang akan ditulis? Bebas! Tentang buku yang digemari, buku yang dibenci, ‘bertengkar’ mengenai buku, memberikan kritik dan saran untuk Perpus, guru, sekolah, bahkan mencurahkan isi hatinya sekali pun juga boleh, karena, kata salah satu pengurus Perpus yang piket jaga saat itu, para pengisi Bucur yang lain dapat memberikan solusi, dan bagi yang curhat dapat mengambil pertimbangan ke mana ia harus melangkah.
Cukup jelas keterangan dari teman saya itu. Hari itu saya merasa telah menemukan sesuatu yang baru. Saya seperti kedatangan teman baru. Teman yang akan selalu ada ketika saya sedih, teman yang selalu mengerti. Saya bisa mencurahkan tentang cinta saya pada buku, juga tentang penat dan senang yang saya rasa.
Saya semakin yakin pada pernyataan Pak Direktur Madaris 3, yaitu Kiai Faizi, yang mengatakan bahwa perpustakaan adalah “Ibu”. Perpustakaan memberikan banyak informasi pada kita, layaknya guru. Apalagi ditambah dengan diterbitkannya Buku Curhat seperti ini. Perpus akan menampung segala rasa yang orang-orang tumpahkan padanya. Pas sudah perpustakaan di sekolah ini untuk dijuluki sebagai Ibu.
Kini, Ibu Bucur di Perpus sekolah saya telah melahirkan 4 anak. Ada empat bundel Buku Curhat, yang kesemuanya dibuat dari kertas bekas yang dibundel rapi. Ada yang menuliskan komentar, kesan, tanggapan, tentang buku yang dibaca. Ada juga yang menuliskan pertanyaan, kritik dan saran terhadap pengelola perpus dan sekolah, atau curhat masalah pribadi. Ada banyak dialog, tanya-jawab, dan bahkan polemik, di Buku Curhat, dengan gayanya masing-masing.
Seluruh siswa semakin tertarik untuk sering-sering membaca Buku Curhat ini dan mencurahkan tentang kegemaran buku yang mereka baca padanya. Seluruh siswa berlomba-lomba memberikan kritik dan masukan pada pengurus Perpus agar Perpus lebih maju.
Terbitnya Bucur ini menjadi salah satu tips meramaikan Perpus dan budaya baca-tulis. Sebuah tips yang menarik untuk dicoba di perpus yang lain.

2 komentar:

A. Mommo mengatakan...

wah... menarik. Sampai punya anak segala. Mungkin beberapa saat ke depan punya cucu ya :D

Anonim mengatakan...

ada saatnya ketika hati kita sudah 'overflow' maka kita butuh teman untuk berbagi. dan ketika teman itu tidak ada atau kita tidak siap buka2an, maka buku memang bisa jadi sublimasinya