13 Mei 2009

Tim Gula Merah Sosialisasi Ke MA Nasy’atul Muta’allimin Gapura, Peserta Berebut untuk Bertanya


Ummul Karimah, siswi XI IPA SMA 3 Annuqayah, Koordinator Sosialiasi dan Promosi Tim Gula Merah School Climate Challenge Competition British Council

Sementara Tim Sampah Plastik melakukan sosialisasi ke MA Nasy’atul Muta’allimin Gapura Ahad (10/5) kemarin, Tim Gula Merah juga melakukan sosialisasi di tempat yang sama. Dua orang dari satu tim yang terdiri dari 1 guru pendamping dan 1 anggota itu mensosialisasikan tentang gula merah pohon siwalan usai Tim Sampah melakukan sosialisasi bahaya sampah plastik di Aula Nasy’atul Muta’allimin Gapura.
Para peserta tampaknya tak merasa jemu meski dua sesi telah mereka lewati. Bahkan banyak dari peserta yang berebut kesempatan untuk bertanya. Salah satunya peserta yang bernama Kinnanah. Ia menampakkan respons yang sangat baik melalui raut semangat ingin tahunya terhadap masalah gula merah. “Orang tua saya juga petani gula merah, Bu,” terangnya pada Mus’idah, guru pandamping Tim Gula Merah. “Tapi saya tidak tahu bagaimana gula merah bisa maju. Sebab orang tua saya hanya memproduksinya dengan sederhana,” tambahnya dengan nada khas Gapura.
Maka Mus’idah yang saat itu menyimak keluhan dari Kin—sapaan akra Kinnanah itu—menjawab, “Mulailah dari kita. Pelajar cerdas, kaya ide, dan mampu membantu mengembalikan gula merah menjadi semakin berkualitas. Siapa tahu jika nanti gula merahmu cantik, bisa di jual di El-Malik (toko ternama di Sumenep),” paparnya. “Tentu alammu akan semakin damai, karena penebangan berkurang,” tambahnya. Kin pun berjanji diselingi dengan semangat 45 di hadapan teman-temannya untuk mencoba membuat masakan yang berbahan gula merah dan bahan pendukungnya terdapat di sekitar, yakni pangan lokal, serta ia juga mengatakan bahwa ia akan mensosialisasikan kepada masyarakat sekitarnya.
Keterangan yang disampaikan oleh tim di antaranya tentang puncak kapitalisasi di Indonesia. Bahwa sebenarnya rakyat Madura telah terjajah dari segi makanan. Juga tentang anak kecil yang masa sekarang yang sudah tidak tahu pada makanan lokal lagi. “Padahal makanan-makanan lokal tersebut dulu pernah menjadi denyut nadi para petani,” kata Mus’idah menambahkan.
Memang benar, ternyata tak hanya anak kecil saja yang sudah tak tahu pada macam-macam pangan lokal, tetapi saat peserta ditanya tentang klenteng (“anak ubi”) dan jamblem, mereka kebingungan.

Tidak ada komentar: