Ummul Karimah, siswi XI IPA SMA 3 Annuqayah, Koordinator Sosialiasi dan Promosi Tim Gula Merah School Climate Challenge Competition British Council
Saat itu, tanggal 22 Mei 2009, saya dan teman-teman Tim Gula Merah menyusuri jalan setapak pelosok menuju desa Berekas Daja untuk melakukan sosialisasi ke ibu-ibu Muslimat NU. Saya mengira anggota Muslimat yang hadir hanya sedikit, tapi sekitar pukul 14.00 WIB, saat saya sampai dan menginjakkan kaki saya di depan Masjid Attarbiyah, tempat Muslimat bekumpul, mata saya terbelalak menatap kurang lebih 200 perempuan yang santai menunggu kedatangan kami. Saya pun tetap melangkah mencoba percaya diri dan tetap tegar. Sejujurnya, hati saya dag dig dug.
Tak selang berapa lama, tim kami dipersilakan duduk, dan pengasuh, yaitu Ny. Zulfa, menyerahkan mik pada kami. Ia menyambut kami dengan senyum lebar. “Selamat datang,” ujarnya pada kami. Maka Mus’idah Amin, guru pembimbing Tim Gula Merah yang ikut mendampingi sosialisasi ke tempat itu menjawab, “Senang sekali bisa hadir di tempat ini,” katanya.
Saat sosialisasi berlangsung, seluruh peserta yang hadir mengangguk-angguk. Sepertinya mereka mulai mencerna keterangan yang disampaikan oleh 2 orang anggota tim secara bergantian. Dan ternyata ini terbukti saat diakui oleh Hj. Maimunah, salah satu hadirin, bahwa ia ingin lebih damai dengan alam. Ia juga mengaku takut saat Mus’idah menyampaikan bahwa banyak desa lain yang mengalami banjir akibat penebangan pohon secara liar tanpa reboisasi. “Saya mendukung tim ini, dan ketika saya hendak mengadakan acara, saya akan menggunakan gula merah sebagai menu utama,” ungkapnya dengan mata berbinar-binar.
Sementara itu, ibu-ibu yang lain juga serempak mengatakan “Ya!” saat ditanya tentang kesiapan mereka melestarikan gula merah pohon siwalan. “Akhirnya…” pungkas Mus’idah bernafas lega.
26 Mei 2009
25 Mei 2009
Jejaring Civitas Kependidikan Peduli Lingkungan
M Mushthafa, fasilitator/pendamping Tim Sampah Plastik School Climate Challenge Competition British Council SMA 3 Annuqayah
Hari Kamis (21/5) kemarin, sekolah tempat saya mengajar kedatangan rombongan tamu dari dua sekolah di Pamekasan berlatar pesantren. Rombongan itu terdiri dari sebelas murid dan tiga orang guru.
Kunjungan ini bermula dari sebuah pertemuan tak disengaja di sebuah acara di Bangkalan akhir bulan lalu. Saat itu, saya bersama beberapa rekan sedang menghadiri acara Sosialisasi Program Ekopesantren yang diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup RI. Di acara itu saya bertemu dengan seorang teman lama yang sekarang mengajar di sebuah sekolah di Pamekasan. Teman saya tertarik melihat tas yang saya gunakan saat itu: tas yang dibuat dari sampah plastik karya kreatif murid-murid saya di sekolah. Setelah bercerita singkat tentang riwayat dan asal-usul tas itu, teman saya menyatakan ketertarikannya untuk berkunjung ke sekolah saya membawa murid-muridnya untuk berbagi cerita tentang pengalaman bergiat di aktivitas peduli lingkungan.
Acara kunjungan kemarin berlangsung selama sekitar lebih dari tiga jam. Saat rombongan datang, saya masih sedang dalam perjalanan dari Karduluk. Mereka memang tiba lebih awal dari jadwal yang dijanjikan. Sambil menunggu kedatangan saya, rombongan melihat-lihat markas Tim Proyek Lomba School Climate Challenge (SCC) SMA 3 Annuqayah di sekolah. Secara khusus mereka melihat hasil kreasi tas yang dibuat anak-anak dari sampah plastik. Karena salah satu sekolah dari rombongan tersebut adalah SMK yang juga belajar tata busana alias jahit-menjahit, perbincangan tampak begitu nyambung. Saat mereka sedang asyik berbincang dengan Tim Sampah Plastik SCC pada khususnya, saya tiba di sekolah.
Saya langsung menuju ke teman saya yang ternyata menjabat sebagai Waka Kesiswaan di sekolahnya. Saya sempat terkejut karena teman saya yang kenal saat masih kuliah di Jogja itu ternyata membawa rekan guru lainnya yang ternyata adalah kakak angkatan saya saat Aliyah dulu. Dan ternyata teman saya ini menjabat Waka Kurikulum di sekolah yang sama. Jadilah pertemuan itu semakin hangat dengan cerita-cerita lama.
Setelah rombongan melihat-lihat markas sambil mendokumentasikan melalui kamera, mereka kemudian istirahat sejenak untuk shalat Zhuhur. Baru setelah itu acara sharing dilakukan dengan bertempat di Perpustakaan Madaris 3 Annuqayah.
Acara sharing berlangsung tanpa seremoni yang ketat. Setelah saya memberi pengantar singkat, saya langsung mempersilakan ketua rombongan tamu untuk memberikan kata sambutan. Ali Wasik, teman saya yang menjadi ketua rombongan itu secara ringkas memaparkan latar belakang dan tujuan kunjungan tersebut. Setelah itu, saya kemudian memaparkan secara kronologis berbagai kegiatan peduli lingkungan di sekolah saya, SMA 3 Annuqayah, dengan cukup panjang lebar, termasuk tiga Tim Proyek SCC.
Pemaparan saya dilanjutkan dengan dialog di antara semua yang hadir. Rombongan kemudian menanyakan berbagai detail kegiatan peduli lingkungan kami di sekolah. Tentu saja yang menanggapi tak hanya saya. Empat guru pendamping Tim Proyek SCC selain saya juga hadir di situ. Mereka adalah Ustadz Mahmudi, Syaiful Bahri, serta Ustadzah Mus’idah dan Bekti Utami. Hadir pula Waka Kurikulum sekolah saya, Ustadz Nasiruddin. Demikian juga, seluruh murid anggota tim juga hadir dan membagikan cerita mereka setelah sekitar tiga bulan ini bergiat di aktivitas mereka masing-masing.
Dialog berlangsung selama hampir dua jam. Sambil berdialog, kami menikmati sajian masakan tradisional kreasi murid-murid dari Tim Gula Merah SCC. Hari itu mereka memasak tiga jenis makanan berbahan gula merah: jhemblèng, bhug-ghebug, dan klepon. Rombongan pun akhirnya meninggalkan sekolah kami saat waktu Asar mulai masuk.
Selain kesempatan untuk membagikan pengalaman bergerak di kegiatan peduli lingkungan, saya melihat bahwa kegiatan semacam ini dapat menjadi cikal-bakal bagi terbentuknya jaringan civitas kependidikan peduli lingkungan. Dengan berjejaring, guru-guru dan murid-murid dapat saling berbagi pengalaman, saling mendukung, dan bekerja bersama dengan proyek mereka masing-masing.
Pikiran semacam ini memang sering muncul di benak saya terutama saat mendampingi anak-anak bersosialisasi ke sekolah atau komunitas lain di seantero Sumenep. Saya yakin, kebutuhan akan berjejaring suatu saat akan menjadi sangat penting, agar gerakan yang dilakukan dapat lebih kuat dan berdaya.
Tentu saja jejaring ini mensyaratkan adanya penguatan di masing-masing komunitas. Akan tetapi, dengan beberapa titik komunitas yang relatif sudah cukup kuat, jejaring dapat membantu menyemangati satu komunitas yang masih belum stabil kekuatannya. Apalagi, pengalaman di lapangan tentu akan menghadirkan nuansa permasalahan dan lika-liku yang berbeda. Dengan berjejaring, kesinambungan dan keberlanjutan kegiatan peduli lingkungan di satu komunitas akan mungkin untuk terus didukung oleh simpul jaringan yang dibuat. Tentu saja, sebagai sebuah gerakan, syarat utama yang diperlukan adalah konsistensi.
Menguatkan pendidikan lingkungan di sekolah dari perspektif yang lain sebenarnya juga berarti membawa kurikulum sekolah ke arah yang lebih kontekstual , membumi, dan mengakar dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat tempat murid itu berasal. Di tengah iklim pendidikan formal yang terkesan textbook dan kaku, sungguh kegiatan peduli lingkungan dengan impian akan jaringannya yang kuat akan tampak sebagai sesuatu yang sangat menarik untuk terus ditekuni.
Dikutip dari: http://rindupulang.blogspot.com/2009/05/jejaring-civitas-kependidikan-peduli.html
Hari Kamis (21/5) kemarin, sekolah tempat saya mengajar kedatangan rombongan tamu dari dua sekolah di Pamekasan berlatar pesantren. Rombongan itu terdiri dari sebelas murid dan tiga orang guru.
Kunjungan ini bermula dari sebuah pertemuan tak disengaja di sebuah acara di Bangkalan akhir bulan lalu. Saat itu, saya bersama beberapa rekan sedang menghadiri acara Sosialisasi Program Ekopesantren yang diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup RI. Di acara itu saya bertemu dengan seorang teman lama yang sekarang mengajar di sebuah sekolah di Pamekasan. Teman saya tertarik melihat tas yang saya gunakan saat itu: tas yang dibuat dari sampah plastik karya kreatif murid-murid saya di sekolah. Setelah bercerita singkat tentang riwayat dan asal-usul tas itu, teman saya menyatakan ketertarikannya untuk berkunjung ke sekolah saya membawa murid-muridnya untuk berbagi cerita tentang pengalaman bergiat di aktivitas peduli lingkungan.
Acara kunjungan kemarin berlangsung selama sekitar lebih dari tiga jam. Saat rombongan datang, saya masih sedang dalam perjalanan dari Karduluk. Mereka memang tiba lebih awal dari jadwal yang dijanjikan. Sambil menunggu kedatangan saya, rombongan melihat-lihat markas Tim Proyek Lomba School Climate Challenge (SCC) SMA 3 Annuqayah di sekolah. Secara khusus mereka melihat hasil kreasi tas yang dibuat anak-anak dari sampah plastik. Karena salah satu sekolah dari rombongan tersebut adalah SMK yang juga belajar tata busana alias jahit-menjahit, perbincangan tampak begitu nyambung. Saat mereka sedang asyik berbincang dengan Tim Sampah Plastik SCC pada khususnya, saya tiba di sekolah.
Saya langsung menuju ke teman saya yang ternyata menjabat sebagai Waka Kesiswaan di sekolahnya. Saya sempat terkejut karena teman saya yang kenal saat masih kuliah di Jogja itu ternyata membawa rekan guru lainnya yang ternyata adalah kakak angkatan saya saat Aliyah dulu. Dan ternyata teman saya ini menjabat Waka Kurikulum di sekolah yang sama. Jadilah pertemuan itu semakin hangat dengan cerita-cerita lama.
Setelah rombongan melihat-lihat markas sambil mendokumentasikan melalui kamera, mereka kemudian istirahat sejenak untuk shalat Zhuhur. Baru setelah itu acara sharing dilakukan dengan bertempat di Perpustakaan Madaris 3 Annuqayah.
Acara sharing berlangsung tanpa seremoni yang ketat. Setelah saya memberi pengantar singkat, saya langsung mempersilakan ketua rombongan tamu untuk memberikan kata sambutan. Ali Wasik, teman saya yang menjadi ketua rombongan itu secara ringkas memaparkan latar belakang dan tujuan kunjungan tersebut. Setelah itu, saya kemudian memaparkan secara kronologis berbagai kegiatan peduli lingkungan di sekolah saya, SMA 3 Annuqayah, dengan cukup panjang lebar, termasuk tiga Tim Proyek SCC.
Pemaparan saya dilanjutkan dengan dialog di antara semua yang hadir. Rombongan kemudian menanyakan berbagai detail kegiatan peduli lingkungan kami di sekolah. Tentu saja yang menanggapi tak hanya saya. Empat guru pendamping Tim Proyek SCC selain saya juga hadir di situ. Mereka adalah Ustadz Mahmudi, Syaiful Bahri, serta Ustadzah Mus’idah dan Bekti Utami. Hadir pula Waka Kurikulum sekolah saya, Ustadz Nasiruddin. Demikian juga, seluruh murid anggota tim juga hadir dan membagikan cerita mereka setelah sekitar tiga bulan ini bergiat di aktivitas mereka masing-masing.
Dialog berlangsung selama hampir dua jam. Sambil berdialog, kami menikmati sajian masakan tradisional kreasi murid-murid dari Tim Gula Merah SCC. Hari itu mereka memasak tiga jenis makanan berbahan gula merah: jhemblèng, bhug-ghebug, dan klepon. Rombongan pun akhirnya meninggalkan sekolah kami saat waktu Asar mulai masuk.
Selain kesempatan untuk membagikan pengalaman bergerak di kegiatan peduli lingkungan, saya melihat bahwa kegiatan semacam ini dapat menjadi cikal-bakal bagi terbentuknya jaringan civitas kependidikan peduli lingkungan. Dengan berjejaring, guru-guru dan murid-murid dapat saling berbagi pengalaman, saling mendukung, dan bekerja bersama dengan proyek mereka masing-masing.
Pikiran semacam ini memang sering muncul di benak saya terutama saat mendampingi anak-anak bersosialisasi ke sekolah atau komunitas lain di seantero Sumenep. Saya yakin, kebutuhan akan berjejaring suatu saat akan menjadi sangat penting, agar gerakan yang dilakukan dapat lebih kuat dan berdaya.
Tentu saja jejaring ini mensyaratkan adanya penguatan di masing-masing komunitas. Akan tetapi, dengan beberapa titik komunitas yang relatif sudah cukup kuat, jejaring dapat membantu menyemangati satu komunitas yang masih belum stabil kekuatannya. Apalagi, pengalaman di lapangan tentu akan menghadirkan nuansa permasalahan dan lika-liku yang berbeda. Dengan berjejaring, kesinambungan dan keberlanjutan kegiatan peduli lingkungan di satu komunitas akan mungkin untuk terus didukung oleh simpul jaringan yang dibuat. Tentu saja, sebagai sebuah gerakan, syarat utama yang diperlukan adalah konsistensi.
Menguatkan pendidikan lingkungan di sekolah dari perspektif yang lain sebenarnya juga berarti membawa kurikulum sekolah ke arah yang lebih kontekstual , membumi, dan mengakar dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat tempat murid itu berasal. Di tengah iklim pendidikan formal yang terkesan textbook dan kaku, sungguh kegiatan peduli lingkungan dengan impian akan jaringannya yang kuat akan tampak sebagai sesuatu yang sangat menarik untuk terus ditekuni.
Dikutip dari: http://rindupulang.blogspot.com/2009/05/jejaring-civitas-kependidikan-peduli.html
24 Mei 2009
Sosialisasi Tim Sampah Plastik ke Muslimat NU Barakas Daja Guluk-Guluk Sumenep
Siti Nujaimatur Ruqayyah, siswi XI IPA SMA 3 Annuqayah, Koordinator Data & Dokumentasi Tim Sampah Plastik School Climate Challenge Competition British Council
Jum'at (22/5) kemarin, program sosialisasi proyek Tim Sampah Plastik School Climate Challenge (SCC) SMA 3 Annuqayah kembali terlaksana. Sosialisasi ke Muslimat NU Barakas Daja Guluk-Guluk Sumenep ini kami laksanakan bersama tim proyek yang lain, yakni Tim Gula Merah dan Tim Pupuk Organik yang juga memiliki tujuan serupa.
Sesampainya di sana, kami tidak langsung memulai kegiatan kami. Sambil menunggu pengajian yang biasa mereka laksanakan selesai, kami disilakan duduk untuk menikmati hidangan yang disajikan.
Acara sosialisasi kemarin berlangsung sekitar dua jam. Setelah Ustadzah Mus'idah, pendamping Tim Gula Merah memperkenalkan diri kami dan menjelaskan maksud kedatangan kami, barulah kemudian acara dimulai.
Tim proyek kami mendapat giliran pertama untuk berbicara. Kebetulan saya sendiri yang ditunjuk untuk presentasi. Seperti biasa, saya memberikan informasi tentang bahaya sampah plastik dan dampak yang ditimbulkan kepada para hadirin. Acara ini dimaksudkan agar masyarakat bisa membentuk sikap peduli terhadap bahaya sampah plastik, sehingga dapat menyadari dan mengurangi penambahan sampah plastik. Namun sebelumnya saya diminta untuk menjelaskan isu global warming dan mengaitkan hal tersebut dengan berbagai bencana yang terjadi saat ini. Tampaknya masyarakat sangat antusias dengan solusi yang kami berikan, yakni memanfaatkan sampah plastik menjadi kriya yang bernilai guna.
Karena masyarakat di sana mayoritas ibu-ibu, mereka berniat akan membuat plastik untuk anak-anak mereka yang tahun depan akan masuk sekolah. Tapi sayang sekali saat itu kami tidak membawa bahan produksi yang lengkap sehingga kami tidak dapat mendampingi mereka belajar bersama membuat tas plastik. Setelah tim proyek saya selesai, kemudian dilanjutkan dengan tim proyek selanjutnya.
Acara berjalan dengan lancar. Sebelumnya saya sempat cemas begitu melihat peserta yang kurang lebih 200 orang, karena bukan hanya masyarakat, para santri Pesantren Atarbiyah pun turut hadir dalam acara tersebut. Saya merasa sosialisasi ini sangat memuaskan, entah apa karena ini merupakan sosialisasi terakhir dalam kegiatan SCC. Saya sangat lancar dalam presentasi. Apalagi melihat mimik masyarakat yang begitu serius menyimak sosialisasi ini. Perasaan canggung karena harus turun langsung kepada masyarakat yang sedikit tidaknya harus memakai bahasa Madura yang baik tidak saya rasakan. Semuanya lepas. Rupanya acara ini juga melatih saya untuk bersosialisasi dengan masyarakat secara langsung.
23 Mei 2009
Sosialisasi Pupuk Organik di Fatayat NU Ganding
Anisah, siswi XI IPA SMA 3 Annuqayah, Koordinator Riset Tim Pupuk Organik School Climate Challenge Competition British Council
Pada hari Kamis (21/5) kemarin, kami Tim Pupuk Organik bersosialisasi ke Fatayat NU Ganding, tepatnya di Desa Langgar Asem. Kebetulan ketua Fatayat NU Ganding tersebut juga adalah guru di Madaris 3 Annuqayah, yaitu Ny. Khodijah. Sebenarnya bukan hanya tim kami yang bersosialisasi ke tempat itu, tapi juga dari tim SCC yang lain yaitu dari Tim Sampah Plastik dan Tim Gula Merah. Kami bersosialisasi ke tempat tersebut dengan didampingi 3 guru pendamping, dan siswanya berjumlah 8 orang.
Sore hari sekitar pukul 15.00 WIB kami berangkat dari sekolah. Keberangkatan kami sangat terburu-buru karena kami masih ada tamu dari SMK dan MA Al-Mujtama’ Pamekasan. Rombongan tamu tersebut tidak bisa ditinggal karena tujuan mereka ke sekolah kami ingin belajar juga tentang kegiatan peduli lingkungan yang kami laksanakan. Setelah sampai di Ganding, ternyata acara rutin mereka sudah selesai tapi mereka tetap sabar menunggu kami dan kami disambut dengan sangat hormat dibarengi dengan senyuman yang sangat berharga bagi kami. Kemudian setelah kami dipersilakan duduk, kami langsung memulai acara kami dan yang membuka acara tersebut adalah Ibu Mus’idah selaku Waka Kesiswaan sekaligus pembimbing dari Tim Gula Merah.
Setelah panjang lebar Ibu Mus’idah menjelaskan tujuan kami, beliau sedikit memaparkan tentang pemanasan global dan setelah itu dilanjutkan oleh teman kami dari Tim Sampah Plastik yang kemudian disusul presentasi Tim Gula Merah.
Setelah itu kami mendapat giliran presentasi. Tim kami menjelaskan tentang bahayanya memakai pupuk kimia dan manfaatnya memakai pupuk organik. Sebelum kami selesai menjelaskan, para hadirin langsung tanggap karena yang kami jelaskan itu menerangkan kehidupan petani yang selama ini memakai pupuk kimia.
Kami juga menjelaskan tentang KCl (Kalium Clorida) yang mana dengan memakai KCl yang dari pabrik itu dapat memberi efek negatif pada tanaman. Sebagai ganti KCl, kami mengemukakan resep lain, yakni memakai serabut kelapa. Serabut kelapa tersebut direndam dalam air selama 4 hari 4 malam sampai air tersebut berwarna kecokelatan. Setelah itu air tersebut boleh digunakan.
Sebenarnya kami tidak bermaksud untuk menghentikan masyarakat untuk memakai pupuk kimia tapi bagaimana caranya untuk mengurangi pemakaian pupuk kimia dan memanfaatkan limbah pertanian yang ada di lingkungan desa untuk difungsikan sebagai penggembur tanaman.
Pada hari Kamis (21/5) kemarin, kami Tim Pupuk Organik bersosialisasi ke Fatayat NU Ganding, tepatnya di Desa Langgar Asem. Kebetulan ketua Fatayat NU Ganding tersebut juga adalah guru di Madaris 3 Annuqayah, yaitu Ny. Khodijah. Sebenarnya bukan hanya tim kami yang bersosialisasi ke tempat itu, tapi juga dari tim SCC yang lain yaitu dari Tim Sampah Plastik dan Tim Gula Merah. Kami bersosialisasi ke tempat tersebut dengan didampingi 3 guru pendamping, dan siswanya berjumlah 8 orang.
Sore hari sekitar pukul 15.00 WIB kami berangkat dari sekolah. Keberangkatan kami sangat terburu-buru karena kami masih ada tamu dari SMK dan MA Al-Mujtama’ Pamekasan. Rombongan tamu tersebut tidak bisa ditinggal karena tujuan mereka ke sekolah kami ingin belajar juga tentang kegiatan peduli lingkungan yang kami laksanakan. Setelah sampai di Ganding, ternyata acara rutin mereka sudah selesai tapi mereka tetap sabar menunggu kami dan kami disambut dengan sangat hormat dibarengi dengan senyuman yang sangat berharga bagi kami. Kemudian setelah kami dipersilakan duduk, kami langsung memulai acara kami dan yang membuka acara tersebut adalah Ibu Mus’idah selaku Waka Kesiswaan sekaligus pembimbing dari Tim Gula Merah.
Setelah panjang lebar Ibu Mus’idah menjelaskan tujuan kami, beliau sedikit memaparkan tentang pemanasan global dan setelah itu dilanjutkan oleh teman kami dari Tim Sampah Plastik yang kemudian disusul presentasi Tim Gula Merah.
Setelah itu kami mendapat giliran presentasi. Tim kami menjelaskan tentang bahayanya memakai pupuk kimia dan manfaatnya memakai pupuk organik. Sebelum kami selesai menjelaskan, para hadirin langsung tanggap karena yang kami jelaskan itu menerangkan kehidupan petani yang selama ini memakai pupuk kimia.
Kami juga menjelaskan tentang KCl (Kalium Clorida) yang mana dengan memakai KCl yang dari pabrik itu dapat memberi efek negatif pada tanaman. Sebagai ganti KCl, kami mengemukakan resep lain, yakni memakai serabut kelapa. Serabut kelapa tersebut direndam dalam air selama 4 hari 4 malam sampai air tersebut berwarna kecokelatan. Setelah itu air tersebut boleh digunakan.
Sebenarnya kami tidak bermaksud untuk menghentikan masyarakat untuk memakai pupuk kimia tapi bagaimana caranya untuk mengurangi pemakaian pupuk kimia dan memanfaatkan limbah pertanian yang ada di lingkungan desa untuk difungsikan sebagai penggembur tanaman.
Sosialisasi Bahaya Sampah Plastik di Fatayat NU Ganding
Sulhatus Sayyidah, siswi XI IPA SMA 3 Annuqayah, Koordinator Desain Tim Sampah Plastik School Climate Challenge Competition British Council
Saat itu hari Kamis (21/5). Jam sudah menunjukkan pukul 15.00 WIB. Ibu-Ibu Fatayat NU Langgar Asem Ganding melaksanakan acara rutin tahlil bersama.
Sore itu, 8 anggota tim lomba SCC SMA 3 Annuqayah (saya, Nujaimah, Ummul, Eka, Anis, Mailah, Khoyyimah, Yuliatin), Ibu Mus’idah (pembimbing tim Gula Merah) dan Ibu Bekti Utami (pembimbing tim Pupuk Jerami) berkunjung ke Langgar Asem Ganding Sumenep. Di teras Masjid Langgar Asem, Ibu Khadijah (ketua perkumpulan ibu-ibu Fatayat NU) beserta anggota lainnya menyambut kedatangan kami dengan senyum.
Begitu acara tahlil bersama usai, sosialisasi bahaya sampah plastik dimulai. Siti Nujaimah (salah satu anggota tim sampah) memulai sosialisasinya dengan mengenalkan apa itu pemanasan global, penyebab, dampak, serta solusi untuk menanggulanginya agar keadaan tak bertambah parah. ”Bumi telah rusak, bahkan bencana alam kerap kali bertamu ke negara kita. Berpuluh-puluh makhluk hidup menjadi korban dalam tragedi itu,” ungkapnya. Ibu-ibu fatayat mendengarkan penuturan Nujaimah dengan seksama.
Setelah berbicara tentang pemanasan global, ia melanjutkan tentang dampak sampah plastik. Setiap hari kita menghasilkan sampah, sebagian dari sampah-sampah itu adalah sampah anorganik, yang untuk memproduksinya membutuhkan bahan-bahan yang harus menguras kekayaan alam. Di antaranya, menebang pohon-pohon yang ada di hutan dan menguras minyak bumi. Tapi setelah kita gunakan, plastik akan menjadi sampah yang proses penguraiannya membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun.
Kemudian Nujaimah mempromosikan langkah-langkah sederhana dalam mengurangi terciptanya sampah plastik yang semakin membludak, serta memperlihatkan tas yang telah berhasil kami buat. Akan tetapi mereka tidak terlalu antusias pada langkah yang kami usulkan karena mayoritas pesertanya adalah petani. Respons mereka tidak seperti yang kami harapkan. Meski demikian, kami berharap tambahan informasi tentang bahaya sampah plastik untuk mereka dapat menggugah kepedulian mereka untuk mengurangi penambahan jumlah sampah plastik pada khususnya.
Setelah Tim Sampah Plastik presentasi, selanjutnya tiba giliran Tim Pupuk Jerami dan Tim Gula Merah. Sebelum Maghrib, presentasi kami selesai dan kami meninggalkan Ganding untuk kembali ke sekolah yang berjarak sekitar empat kilometer.
20 Mei 2009
Anggota Tim Sampah Plastik Mengikuti Kegiatan Pelatihan Menulis
Siti Nujaimatur Ruqayyah, siswi XI IPA SMA 3 Annuqayah, Koordinator Data & Dokumentasi Tim Sampah Plastik School Climate Challenge Competition British Council
Dua anggota Tim Sampah Plastik School Climate Challenge (SCC) SMA 3 Annuqayah (yakni saya dan Sulhatus Sayyidah) mengikuti kegiatan pelatihan menulis yang dilaksanakan oleh BPM-PPA (Biro Pengabdian Masyarakat Pondok Pesantren Annuqayah). Kegiatan ini diikuti oleh 25 orang peserta yang terdiri dari staf BPM-PPA, mitra dampingan, dan undangan khusus. Namun peserta yang hadir saat itu kurang lebih 17 orang.
Acara ini dilaksanakan dalam dua kali pertemuan. Acara pertama berlangsung pada hari Ahad (10/5) bertempat di Aula Madaris 3 Annuqayah. Pada pelatihan yang dimulai pukul 13.30 WIB ini kami dibimbing untuk memiliki kemampuan menulis feature sehingga dapat menuangkan pengalaman kami di kegiatan peduli lingkungan dalam tulisan yang baik.
Saya sangat menyukai acara ini. Abrari Al-Zael dari Radar Madura Biro Sumenep yang menjadi fasilitator acara tersebut sangat telaten membimbing kami. Dengan sabar dan terperinci beliau menjelaskan bagaimana cara menulis feature yang baik.
Kegiatan ini akan sangat membantu saya, karena di proyek saya sebenarnya ada kegiatan menulis berupa catatan tentang kegiatan di proyek kami yang nantinya akan digandakan menjadi buku sederhana. Nantinya buku ini akan membantu tersebarnya pengetahuan, informasi, kesadaran, dan sikap peduli terhadap lingkungan khususnya, berkaitan dengan sampah plastik terhadap masyarakat secara luas.
Kami mendapat kesempatan untuk mempraktikkan apa yang didapat dalam kegiatan ini dengan menuliskan kegiatan di proyek kami masing-masing dalam bentuk feature. Kami diberi waktu selama 1 minggu, dan tulisan kami itu kemudian akan dibahas pada pertemuan selanjutnya.
Ahad berikutnya, yakni tanggal 17 Mei, Abrari membahas tulisan-tulisan kami dan memberi catatan kritis agar bisa menulis lebih baik lagi.
18 Mei 2009
Pendampingan Tim Sampah Plastik SCC di MA Sumber Payung Ganding
Siti Nujaimatur Ruqayyah, siswi XI IPA SMA 3 Annuqayah, Koordinator Data & Dokumentasi Tim Sampah Plastik School Climate Challenge Competition British Council
GULUK-GULUK—Tim proyek Sampah Plastik School Climate Challenge Competition British Council SMA 3 Annuqayah melakukan pendampingan ke MA Sumber Payung Ganding dalam rangka sosialisasi bahaya sampah plastik. Pendampingan ini kami laksanakan selama tiga kali pertemuan. Pertemuan pertama kami laksanakan pada hari Jum’at (17/4) kemarin.
Saya dan tim inti lainnya (Khazinah, Irul Nur Jannah, Sulhatus Sayyidah), tim pendukung (Muflihah, Uswatun Hasanah, Fitriyah) proyek sampah plastik didampingi oleh Ketua OSIS SMA 3 Annuqayah berangkat sekitar jelang pukul setengah delapan pagi. Kami menempuh perjalanan yang berjarak sekitar 3 km itu dengan mengendarai angkutan umum. Begitu pula M. Mushthafa, pendamping tim proyek saya, turut menyertai. Namun sayang dia tidak bisa mengikuti acara tersebut sepenuhnya. Hari itu dia mengisi acara Pelatihan Kepenulisan di MA Sumber Payung Ganding.
Sesampainya di sana OSIS MA Sumber Payung segera menyambut dan mempersilakan kami untuk memasuki ruangan yang telah tertata rapi. Para siswa pun berbondong-bondong berdatangan memasuki ruangan.
Sekitar pukul 08.00 WIB acara pembukaan dimulai dengan dipandu pembawa acara dari MA Sumber Payung setelah kami bersama-sama menyepakati tentang format acara yang akan dilaksanakan. Acara pembukaan itu kami isi dengan sambutan dari Ketua OSIS MA Sumber Payung dan Ketua OSIS dari sekolah kami. Acara itu juga diisi dengan penampilan berupa pembacaan puisi dan penampilan dari sanggar yang ada di sana. Kami sangat tertarik dengan penampilan mereka. Artinya selain sosialisasi kami juga dapat sharing bersama dengan mereka tentang kegiatan di sana.
Sosialisasi bahaya sampah plastik ini mendapatkan sambutan hangat dari siswa MA Sumber Payung Ganding. Titin Naqiyatin, Ketua OSIS MA Sumber Payung, dalam sambutannya mengatakan bahwa mereka sangat bangga dan sangat berterima kasih karena tim kami mau bekerja sama dengan mereka.
Kemudian setelah pembukaan selesai, selanjutnya acara dipasrahkan kepada kami. Dari sosialisasi ini kami berupaya untuk menumbuhkan semangat dan kepedulian mereka pada lingkungan, terutama sampah plastik. Saya juga menuturkan pengalaman kami dalam komunitas PSG (Pemulung Sampah Gaul), mulai dari proses terbentuknya PSG hingga komunitas kami ini mengikuti proyek School Climate Challenge Competition British Council.
“Kami berharap kerja sama ini dapat melahirkan komitmen cinta lingkungan di komunitas siswa Sumber Payung pada umumnya,” ucap Khazinah.
Siswa MA Sumber Payung sudah mengungkapkan keinginannya. Mereka ingin mengubah pola hidup mereka yang suka membuang sampah di sungai. Ini membuat kami merasa senang dan tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Kami langsung menyatakan bersedia mendampingi kegiatan cinta lingkungan di sana. Dua minggu berikutnya kami akan kembali. Kemudian kami membagi mereka menjadi empat kelompok. Mereka berjanji pada pertemuan selanjutnya akan mengumpulkan sampah plastik dan menyediakan bahan-bahan lainnya sendiri.
Setelah acara selesai, saya dan teman-teman masih menyempatkan diri untuk melihat parit di dekat komplek MA Sumber Payung, tempat yang biasa mereka gunakan sebagai TPA. Saya merasa prihatin melihat pemandangan itu. Parit terlihat jernih, tapi di dalamnya terdapat banyak tumpukan sampah.
Pertemuan kedua kami laksanakan pada hari Jum’at 1 Mei 2009. Ini adalah tindak lanjut dari sosialisasi pada pertemuan sebelumnya (17/4). Kali ini kami mendampingi siswa MA Sumber Payung belajar memanfaatkan sampah plastik. Seperti pertemuan sebelumnya, kami mengisi kegiatan ini tanpa kehadiran guru pendamping. Mungkin kami memang sengaja dilatih untuk belajar mandiri. Kami berangkat hanya berlima yakni empat anggota tim inti (saya, Khazinah, Irul Nur Jannah, Sulhatus Sayyidah) dan satu orang dari tim pendukung (Habibah).
Saat kami datang, tampak siswa MA Sumber Payung sudah menunggu-nunggu kedatangan kami. Ternyata generasi MA Sumber Payung ini benar-benar ingin segera memproduksi tas dari sampah plastik. Berbagai bahan telah mereka persiapkan. senyum saya berkembang saat melihat tumpukan sampah yang telah dikumpulkan. “Ini sampah sudah setengah bulan yang lalu saya kumpulkan,” seloroh Azkiyah, salah satu peserta yang hadir pada acara pendampingan itu. Kemudian acara dimulai tepat pukul 08.30 WIB.
Sesuai dengan arahan guru pendamping kami, bahwa sebelum praktik dimulai, acara harus diisi dengan materi tentang perubahan iklim dan cinta lingkungan pada umumnya. Namun hanya beberapa siswa saja yang tampil bertanya atau sekadar memberi tanggapan, karena mereka sudah tak sabar ingin segera beraksi. Saat acara inti akan dimulai, mereka bersorak-sorai gembira.
Pada acara inti ini kami menuntun mereka, memberikan pengenalan teknis tentang pembuatan tas dari sampah plastik. Sekitar pukul 10.30 WIB, acara itu diakhiri. Tak terasa sudah dua jam kami. Sebelum meninggalkan tempat, kami membuat kesepakatan bersama bahwa pada perjumpaan selanjutnya setiap kelompok harus membuat tas plastik minimal satu buah.
Dua pekan berikutnya, yakni 15 Mei kemarin, adalah pertemuan terakhir. Pada pertemuan ini kami isi dengan mereview dan mempertajam diskusi pada pertemuan sebelumnya. Mulai dari apa itu global warming, penyebab, dampak, dan solusi dan penanganannya agar bumi yang kita huni ini tidak bertambah rusak.
Akan tetapi tampaknya semangat mereka mulai surut. Kami merasakan hal ini sejak memasuki ruangan kelas. Ketika memasuki ruangan, ternyata tak ada seorang siswa pun di sana. Kami harus menunggu lama dalam kelas dan pesertanya pun semakin berkurang. “Awalnya kami semangat untuk mengikuti langkah yang kalian lakukan. Tapi karena kurangnya alat-alat pendukung, semangat kami kembali berkurang,” aku Srihandayani, salah satu peserta dalam sosialisasi tersebut.
Namun kami merasa lega, karena ternyata di tengah kesulitan mencari alat-alat produksi masih ada sebagian peserta yang berhasil membuat tas dan tempat pensil tanpa menggunakan mesin jahit meskipun masih belum sepenuhnya selesai. Tapi saya sempat iri karena hasil pertama mereka ini lebih baik dari hasil pertama kami saat masih menggunakan jahitan manual. Ahh... tidak apa-apa yang penting saya berhasil mengajak mereka untuk mengikuti jejak mereka.
Untuk membangun kembali semangat mereka yang telah berkurang, kami membawa mereka untuk menyelami kisah perjuangan kami. Mulai ketika komunitas kami baru berdiri, kurangnya peralatan untuk menindak lanjuti sampah plastik yang telah dipungut dari tempat sampah, minimnya dana, serta adanya keterbatasan kami dalam mendesain sebuah kerajinan. "Kami percaya bahwa kalian juga bisa terus maju," kata saya sambil menggepalkan tangan dengan mimik yang menggebu-gebu.
Sebelum mengakhiri pertemuan terakhir, kami mempersilakan seluruh peserta mengungkapkan kesan-kesannya selama mengikuti acara tersebut serta pesan untuk kami.
Tak hanya peserta yang mengungkapkan pesan dan kesannya tapi secara bergantian kami juga melakukan hal serupa. Cara ini bisa membantu kami untuk dijadikan bahan evaluasi diri kami pribadi dan sejauh mana tim kami melangkah.
Setelah berlangsung sekitar dua jam, acara ini diakhiri. Sesudah mengambil gambar untuk dokumentasi, kami segera berpamitan untuk kembali ke sekolah.
13 Mei 2009
Tim Gula Merah Sosialisasi Ke MA Nasy’atul Muta’allimin Gapura, Peserta Berebut untuk Bertanya
Ummul Karimah, siswi XI IPA SMA 3 Annuqayah, Koordinator Sosialiasi dan Promosi Tim Gula Merah School Climate Challenge Competition British Council
Sementara Tim Sampah Plastik melakukan sosialisasi ke MA Nasy’atul Muta’allimin Gapura Ahad (10/5) kemarin, Tim Gula Merah juga melakukan sosialisasi di tempat yang sama. Dua orang dari satu tim yang terdiri dari 1 guru pendamping dan 1 anggota itu mensosialisasikan tentang gula merah pohon siwalan usai Tim Sampah melakukan sosialisasi bahaya sampah plastik di Aula Nasy’atul Muta’allimin Gapura.
Para peserta tampaknya tak merasa jemu meski dua sesi telah mereka lewati. Bahkan banyak dari peserta yang berebut kesempatan untuk bertanya. Salah satunya peserta yang bernama Kinnanah. Ia menampakkan respons yang sangat baik melalui raut semangat ingin tahunya terhadap masalah gula merah. “Orang tua saya juga petani gula merah, Bu,” terangnya pada Mus’idah, guru pandamping Tim Gula Merah. “Tapi saya tidak tahu bagaimana gula merah bisa maju. Sebab orang tua saya hanya memproduksinya dengan sederhana,” tambahnya dengan nada khas Gapura.
Maka Mus’idah yang saat itu menyimak keluhan dari Kin—sapaan akra Kinnanah itu—menjawab, “Mulailah dari kita. Pelajar cerdas, kaya ide, dan mampu membantu mengembalikan gula merah menjadi semakin berkualitas. Siapa tahu jika nanti gula merahmu cantik, bisa di jual di El-Malik (toko ternama di Sumenep),” paparnya. “Tentu alammu akan semakin damai, karena penebangan berkurang,” tambahnya. Kin pun berjanji diselingi dengan semangat 45 di hadapan teman-temannya untuk mencoba membuat masakan yang berbahan gula merah dan bahan pendukungnya terdapat di sekitar, yakni pangan lokal, serta ia juga mengatakan bahwa ia akan mensosialisasikan kepada masyarakat sekitarnya.
Keterangan yang disampaikan oleh tim di antaranya tentang puncak kapitalisasi di Indonesia. Bahwa sebenarnya rakyat Madura telah terjajah dari segi makanan. Juga tentang anak kecil yang masa sekarang yang sudah tidak tahu pada makanan lokal lagi. “Padahal makanan-makanan lokal tersebut dulu pernah menjadi denyut nadi para petani,” kata Mus’idah menambahkan.
Memang benar, ternyata tak hanya anak kecil saja yang sudah tak tahu pada macam-macam pangan lokal, tetapi saat peserta ditanya tentang klenteng (“anak ubi”) dan jamblem, mereka kebingungan.
12 Mei 2009
Tim Sampah Plastik Mengadakan Sosialisasi di MA Nasy’atul Muta’allimin Gapura
Siti Nujaimatur Ruqayyah, siswi XI IPA SMA 3 Annuqayah, Koordinator Data & Dokumentasi Tim Sampah Plastik School Climate Challenge Competition British Council
Hari Ahad (10/5) kemarin, Tim Sampah Plastik melakukan sosialisasi di MA Nasy’atul Mutaallimin (Nasa) Gapura. Saya bersama anggota tim yang lain (Sulhatus Sayyidah, Uswatun Hasanah, Muflihah, Ummul Karimah) yang didampingi M. Mushthafa, Mus’idah Amien, K.M. Faizi, dan Ny. Makkiyah sampai di tujuan sekitar pukul 09.00 WIB. K. Dardiri, Kepala MA Nasa menyambut kedatangan kami. Seluruh siswa telah berkumpul di ruang aula, siap mengikuti acara kami. Mereka duduk lesehan berkumpul di bagian belakang.
Hingga acara dimulai saya tidak bisa menguasai diri. Dengan sekuat tenaga saya berusaha menghilangkan rasa grogi yang telah membeludak.
Sosialisasi ini diawali dengan pembukaan, yang diisi dengan sambutan oleh Ketua OSIS Nasa, Kepala MA Nasa dan pendamping proyek kami. Dalam sambutannya K. Dardiri mengharap nantinya di lembaganya juga akan muncul para siswa peduli lingkungan.
Setelah pembukaan selesai, kemudian Mus'idah, guru pendamping Tim Gula Merah yang turut menyertai kami angkat tangan, segera mengomando acara seraya langsung mengatur posisi duduk peserta. “Agar lebih kondusif sebaiknya duduknya jangan seperti ini,” ucap Mus’idah setelah acara pembukaan selesai. Dengan sekejap kondisi ruangan itu telah berubah membentuk lingkaran. “Nah kalau seperti ini kan lebih nyaman,” tambahnya dengan tersenyum.
Akhirnya acara dimulai. Rasa takut dan grogi mulai berkurang, karena dari dulu kami memang menginginkan acara yang seperti ini, tidak terlalu formal. Serasa lebih santai sehingga tidak terlalu canggung saat sosialisasi.
Kami menyampaikan materi secara bergiliran. Seperti biasa kami selalu membagi tugas. Berbagai pertanyaan atau tanggapan mereka sampaikan. Acara kali ini benar-benar berjalan aktif, sepertinya kami juga akan ikut cerdas jika selalu bersama mereka. “Semoga nantinya sekolah kami juga dapat merintis komunitas seperti ini,” ungkap Kinniyah, peserta yang sedari tadi tampaknya menggebu-gebu ingin berjuang, menyelamatkan alam dari bahaya sampah plastik. Dengan seksama seluruh peserta mendengarkan penjelasan kami. Mereka sangat tertarik hingga mereka bermaksud meminjam salah satu tas plastik kami untuk dijadikan contoh. Ternyata kami berhasil mendorong, mengajak mereka untuk mengikuti jejak kami.
Akhirnya kami dapat menarik nafas lega setelah acara ini selesai. Semuanya memang melelahkan, tapi kami tak kan pernah berhenti berlomba-lomba membela lingkungan.”Ini memang tugas kita. Sebagai khalifah di bumi kita diperintah untuk menjaga, memanfaatkan, dan bertanggungjawab terhadap titipan Tuhan ini,” pesan Uswatun Hasanah. Pesan yang sangat mulia.
Hari Ahad (10/5) kemarin, Tim Sampah Plastik melakukan sosialisasi di MA Nasy’atul Mutaallimin (Nasa) Gapura. Saya bersama anggota tim yang lain (Sulhatus Sayyidah, Uswatun Hasanah, Muflihah, Ummul Karimah) yang didampingi M. Mushthafa, Mus’idah Amien, K.M. Faizi, dan Ny. Makkiyah sampai di tujuan sekitar pukul 09.00 WIB. K. Dardiri, Kepala MA Nasa menyambut kedatangan kami. Seluruh siswa telah berkumpul di ruang aula, siap mengikuti acara kami. Mereka duduk lesehan berkumpul di bagian belakang.
Hingga acara dimulai saya tidak bisa menguasai diri. Dengan sekuat tenaga saya berusaha menghilangkan rasa grogi yang telah membeludak.
Sosialisasi ini diawali dengan pembukaan, yang diisi dengan sambutan oleh Ketua OSIS Nasa, Kepala MA Nasa dan pendamping proyek kami. Dalam sambutannya K. Dardiri mengharap nantinya di lembaganya juga akan muncul para siswa peduli lingkungan.
Setelah pembukaan selesai, kemudian Mus'idah, guru pendamping Tim Gula Merah yang turut menyertai kami angkat tangan, segera mengomando acara seraya langsung mengatur posisi duduk peserta. “Agar lebih kondusif sebaiknya duduknya jangan seperti ini,” ucap Mus’idah setelah acara pembukaan selesai. Dengan sekejap kondisi ruangan itu telah berubah membentuk lingkaran. “Nah kalau seperti ini kan lebih nyaman,” tambahnya dengan tersenyum.
Akhirnya acara dimulai. Rasa takut dan grogi mulai berkurang, karena dari dulu kami memang menginginkan acara yang seperti ini, tidak terlalu formal. Serasa lebih santai sehingga tidak terlalu canggung saat sosialisasi.
Kami menyampaikan materi secara bergiliran. Seperti biasa kami selalu membagi tugas. Berbagai pertanyaan atau tanggapan mereka sampaikan. Acara kali ini benar-benar berjalan aktif, sepertinya kami juga akan ikut cerdas jika selalu bersama mereka. “Semoga nantinya sekolah kami juga dapat merintis komunitas seperti ini,” ungkap Kinniyah, peserta yang sedari tadi tampaknya menggebu-gebu ingin berjuang, menyelamatkan alam dari bahaya sampah plastik. Dengan seksama seluruh peserta mendengarkan penjelasan kami. Mereka sangat tertarik hingga mereka bermaksud meminjam salah satu tas plastik kami untuk dijadikan contoh. Ternyata kami berhasil mendorong, mengajak mereka untuk mengikuti jejak kami.
Akhirnya kami dapat menarik nafas lega setelah acara ini selesai. Semuanya memang melelahkan, tapi kami tak kan pernah berhenti berlomba-lomba membela lingkungan.”Ini memang tugas kita. Sebagai khalifah di bumi kita diperintah untuk menjaga, memanfaatkan, dan bertanggungjawab terhadap titipan Tuhan ini,” pesan Uswatun Hasanah. Pesan yang sangat mulia.
10 Mei 2009
Sosialisasi Pupuk di Sentol Daja yang Penuh Tantangan
Anisah, siswi XI IPA SMA 3 Annuqayah, Koordinator Riset Tim Pupuk Organik School Climate Challenge Competition British Council
Desa Sentol Daja Kecamatan Pragaan Sumenep merupakan salah satu tempat sosialisasi kami yang kedua. Hari Jum’at (8/5) kemarin, dalam perjalanan, kami mengalami banyak rintangan berupa hujan yang mengguyur badan mobil kami, sehingga lorong yang kami lewati menjadi licin karena tidak beraspal. Setelah sampai di tempat tujuan, ternyata hujan masih belum juga reda sehingga kaki kami terasa berat mengangkat sepatu kami.
Kedatangan kami disambut dengan penuh hormat. Setelah kami dipersilakan masuk, ternyata tempat acara sosialisasi kami gentingnya bocor dan hal itu sungguh di luar dugaan kami. Sosialisasi tersebut dihadiri sekitar 40 orang dari Fatayat NU Sentol Daja Pragaan Sumenep dan sebagian yang lain sudah ada yang pulang, karena menurut mereka kami tidak jadi hadir karena hujan. Akan tetapi, yang lain ada yang setia menunggu kami dengan penuh rasa sabar. Meskipun seperti itu, sosialisasi kami tetap berjalan dengan lancar sesuai dengan apa yang kami inginkan meskipun di sana-sini ada kekurangan.
Sosialisasi kami tidak berbentuk dialog, tapi formatnya sharing bersama. Dengan adanya sharing bersama, mereka tidak begitu malu dan terbuka dengan kami. Setelah acaranya selesai, Ibu Mus’idah yang menjadi semacam moderator langsung membuka sesi pertanyaan. Akan tetapi, meskipun dibuka pertanyaan, tidak ada satu orang pun yang bertanya. Akhirnya ada seorang siswi yang merupakan anggota dari Fatayat NU Sentol Daja yang berani bertanya tentang berapa lamanya pupuk jerami yang siap untuk dipakai. Dialog pun menjadi cair dan mengalir. Bahkan ada yang dari mereka yang menyatakan ingin membeli pupuk kami, tapi kami langsung menanggapi bahwa pupuk kami tidak dijual karena kami masih dalam tahap percobaan.
Sesudah acara selesai kami tidak langsung pulang. Kami masih mampir ke rumah teman kami yang kebetulan rumah teman kami tersebut dekat dengan tempat yang kami kunjungi. Dan di sana kami diberi hidangan buah-buahan seperti pisang dan jeruk yang masih segar-segar yang mana buah jeruk tersebut baru dipetik dari pohonnya. Setelah itu tepat pukul 16.00 WIB kami langsung pulang dengan penuh kegembiraan. Padahal saat berangkat kami diliputi dengan penuh kebimbangan dan kekhawatiran. Tapi alhamdulillah pulangnya kami diberi kebahagiaan.
Desa Sentol Daja Kecamatan Pragaan Sumenep merupakan salah satu tempat sosialisasi kami yang kedua. Hari Jum’at (8/5) kemarin, dalam perjalanan, kami mengalami banyak rintangan berupa hujan yang mengguyur badan mobil kami, sehingga lorong yang kami lewati menjadi licin karena tidak beraspal. Setelah sampai di tempat tujuan, ternyata hujan masih belum juga reda sehingga kaki kami terasa berat mengangkat sepatu kami.
Kedatangan kami disambut dengan penuh hormat. Setelah kami dipersilakan masuk, ternyata tempat acara sosialisasi kami gentingnya bocor dan hal itu sungguh di luar dugaan kami. Sosialisasi tersebut dihadiri sekitar 40 orang dari Fatayat NU Sentol Daja Pragaan Sumenep dan sebagian yang lain sudah ada yang pulang, karena menurut mereka kami tidak jadi hadir karena hujan. Akan tetapi, yang lain ada yang setia menunggu kami dengan penuh rasa sabar. Meskipun seperti itu, sosialisasi kami tetap berjalan dengan lancar sesuai dengan apa yang kami inginkan meskipun di sana-sini ada kekurangan.
Sosialisasi kami tidak berbentuk dialog, tapi formatnya sharing bersama. Dengan adanya sharing bersama, mereka tidak begitu malu dan terbuka dengan kami. Setelah acaranya selesai, Ibu Mus’idah yang menjadi semacam moderator langsung membuka sesi pertanyaan. Akan tetapi, meskipun dibuka pertanyaan, tidak ada satu orang pun yang bertanya. Akhirnya ada seorang siswi yang merupakan anggota dari Fatayat NU Sentol Daja yang berani bertanya tentang berapa lamanya pupuk jerami yang siap untuk dipakai. Dialog pun menjadi cair dan mengalir. Bahkan ada yang dari mereka yang menyatakan ingin membeli pupuk kami, tapi kami langsung menanggapi bahwa pupuk kami tidak dijual karena kami masih dalam tahap percobaan.
Sesudah acara selesai kami tidak langsung pulang. Kami masih mampir ke rumah teman kami yang kebetulan rumah teman kami tersebut dekat dengan tempat yang kami kunjungi. Dan di sana kami diberi hidangan buah-buahan seperti pisang dan jeruk yang masih segar-segar yang mana buah jeruk tersebut baru dipetik dari pohonnya. Setelah itu tepat pukul 16.00 WIB kami langsung pulang dengan penuh kegembiraan. Padahal saat berangkat kami diliputi dengan penuh kebimbangan dan kekhawatiran. Tapi alhamdulillah pulangnya kami diberi kebahagiaan.
09 Mei 2009
Environmental Week Still Continues
M Mushthafa, teacher at SMA 3 Annuqayah, facilitator Plastic Rubbish SCC Team
Environmental week still continues. After celebrating Earth Day 2009 with several environmental activities, that are environmental workshop, live television interview, and my involvement on some activities of School Climate Challenge Competition team, the following week, I had, at least, two valuable environmental activities. On Tuesday, April 28, with SCC full team, I went to Batang-Batang, a sub-district in northeast Sumenep—Banuaju Timur, exactly.
We had two main activities in Banuaju Timur. First, socialization at SMK Bina Mandiri about plastic rubbish. Our team presented their activities on recycling plastic rubbish and discussed about climate change in front of approximately thirty students at that school. Four members of the team confidently gave their presentations. We had a very enthusiastic discussion at that time. They submitted questions, suggestions, and supports to our team. Ninety minutes had gone, and we left the school with joy.
Plastic rubbish team had done a good job. Then, gula merah (Javanese sugar) team took over the SCC team control. At midday, the team started to do a deep research on siwalan (Asian palmyra palm, Borassus flabellifer). Three students and one teacher—the other teacher could not participate this interesting research—digged all informations about gula merah and siwalan. We did the research mainly in one of villager’s house, observing the process of making gula merah closely.
But this field study was not only about gula merah or siwalan. The team tried to focus to the context of conservation of gula merah and siwalan. Of course, they connected this issue with climate change problem, and implicitly conveyed the message of building environmental awareness and promoting ecofriendly values.
Actually, this team had done a similar research at another village about a month ago—at Brungbung, Pragaan. So, the team had a comparison data as a basis of their research. However, they found another important data at this opportunity. The villagers told about widespread logging activities in their rural community. Furthermore, siwalan climbers, the key person to exploit the tree, are rare to be found. The values of siwalan trees degenerated, and this make the conservation of siwalan tree now really in danger.
Sharing and discussing with the villagers at Banuaju Timur was a fascinating chance, not only about environmental issues, but also about cultural heritage of Madura. As considered before, conserving gula merah and siwalan trees actually has a wide-ranging impact, including cultural and economic.
We left Banuaju Timur at 02.00 p.m., and drop in Gapura to visit a friend to make an appointment about socialization in his school. We also went to Pasar Anom Sumenep to buy some traditional kitchenware.
My second activity was talk show at Ganding FM 104.10 at Saturday, May 2. This talk show held to celebrate the National Education Day. I did the talk show with plastic rubbish full team. We discussed about education and our environmental activities in our school. I took that opportunity to underline contextual education on our school curriculum.
At 09.30 a.m., the talk show began. Two hours left with an interesting discussion. We also discussed with audiences from Guluk-Guluk and Ganding by phone. Some of them gave good appreciation, some of them criticized rubbish management on Annuqayah in general, and one of them seemed to underestimate our environmental activities.
We had a really precious experience that day. And we know that our environmental activities still go on.
Source: http://rindupulang.blogspot.com/2009/05/environmental-week-still-continues.html
Environmental week still continues. After celebrating Earth Day 2009 with several environmental activities, that are environmental workshop, live television interview, and my involvement on some activities of School Climate Challenge Competition team, the following week, I had, at least, two valuable environmental activities. On Tuesday, April 28, with SCC full team, I went to Batang-Batang, a sub-district in northeast Sumenep—Banuaju Timur, exactly.
We had two main activities in Banuaju Timur. First, socialization at SMK Bina Mandiri about plastic rubbish. Our team presented their activities on recycling plastic rubbish and discussed about climate change in front of approximately thirty students at that school. Four members of the team confidently gave their presentations. We had a very enthusiastic discussion at that time. They submitted questions, suggestions, and supports to our team. Ninety minutes had gone, and we left the school with joy.
Plastic rubbish team had done a good job. Then, gula merah (Javanese sugar) team took over the SCC team control. At midday, the team started to do a deep research on siwalan (Asian palmyra palm, Borassus flabellifer). Three students and one teacher—the other teacher could not participate this interesting research—digged all informations about gula merah and siwalan. We did the research mainly in one of villager’s house, observing the process of making gula merah closely.
But this field study was not only about gula merah or siwalan. The team tried to focus to the context of conservation of gula merah and siwalan. Of course, they connected this issue with climate change problem, and implicitly conveyed the message of building environmental awareness and promoting ecofriendly values.
Actually, this team had done a similar research at another village about a month ago—at Brungbung, Pragaan. So, the team had a comparison data as a basis of their research. However, they found another important data at this opportunity. The villagers told about widespread logging activities in their rural community. Furthermore, siwalan climbers, the key person to exploit the tree, are rare to be found. The values of siwalan trees degenerated, and this make the conservation of siwalan tree now really in danger.
Sharing and discussing with the villagers at Banuaju Timur was a fascinating chance, not only about environmental issues, but also about cultural heritage of Madura. As considered before, conserving gula merah and siwalan trees actually has a wide-ranging impact, including cultural and economic.
We left Banuaju Timur at 02.00 p.m., and drop in Gapura to visit a friend to make an appointment about socialization in his school. We also went to Pasar Anom Sumenep to buy some traditional kitchenware.
My second activity was talk show at Ganding FM 104.10 at Saturday, May 2. This talk show held to celebrate the National Education Day. I did the talk show with plastic rubbish full team. We discussed about education and our environmental activities in our school. I took that opportunity to underline contextual education on our school curriculum.
At 09.30 a.m., the talk show began. Two hours left with an interesting discussion. We also discussed with audiences from Guluk-Guluk and Ganding by phone. Some of them gave good appreciation, some of them criticized rubbish management on Annuqayah in general, and one of them seemed to underestimate our environmental activities.
We had a really precious experience that day. And we know that our environmental activities still go on.
Source: http://rindupulang.blogspot.com/2009/05/environmental-week-still-continues.html
06 Mei 2009
Tim Gula Merah Membuat Gettas
Nurul Elmi, siswi XI IPA SMA 3 Annuqayah, Tim Pendukung Tim Gula Merah School Climate Challenge British Council
GULUK-GULUK—Setelah sebelumnya sempat kurang berhasil dalam percobaan membuat jubedhe, makanan tradisional Madura berbahan gula merah, Tim Gula Merah SCC SMA 3 Annuqayah tidak merasa putus asa.
Senin (4/5) kemarin, mereka kembali melakukan praktik membuat makanan berbahan dasar gula merah. ”Praktik ini dimaksudkan untuk menambah wawasan kita tentang makanan-makanan yang terbuat dari gula merah agar kita semakin mencintai gula merah,” papar Mus’idah Amien, salah satu guru pembimbing Tim Gula Merah.
Praktik yang berlangsung di halaman Markas Tim SCC SMA 3 Annuqayah itu dimulai selepas Zhuhur, setelah anak-anak selesai bersekolah. Anggota tim tetap bersemangat walaupun mereka kekurangan peralatan dan satu anggota tim tidak bisa membantu karena sakit.
Kali ini mereka mencoba satu resep yang telah berhasil dikumpulkan, yaitu kue gettas, yang terbuat dari parutan singkong mentah yang dibulatkan lalu digoreng dan kemudian dilumuri gula merah. Uniknya, kue gettas yang mereka buat berwarna cokelat karena dilumuri dengan gula merah asli. Sementara yang umum di masyarakat berwarna putih. Itu adalah ide gila dari Ibu Mus’idah, di samping karena terbatasnya bahan yang ada. “Ini adalah ide Bu Mus, agar unik,” ungkap Eka, salah satu anggota tim.
Karena singkong yang dikupas masih banyak, Bu Mus menginstruksikan agar kami memasak singkong itu untuk dibuat tattabun—salah satu makanan yang juga berbahan gula merah. Lalu Bu Mus’idah mengajak seluruh Tim Gula Merah untuk membuat tungku agar menghemat minyak tanah dan karena kompornya memang hanya satu. Walaupun untuk menyalakan api sulitnya minta ampun, namun mereka tidak kenal putus asa hingga akhirnya guru pendamping yang lain, M. Mushthafa, membantu mereka. “Kayunya jangan terlalu banyak agar efektif dan apinya besar,” ujarnya.
Setelah diangkat dari perapian, mereka mulai menghancurkan singkong itu satu per satu. Namun karena singkong itu kurang lunak, akhirnya mereka gagal membuat tattabun.
Karena hari sudah mulai petang, mereka mengakhiri kegiatan mereka dengan makan singkong bersama yang gagal dibuat tattabun tadi dengan ditaburi parutan kelapa. Praktik membuat kue gettas itu dapat dibilang sukses dibandingkan dengan praktik pembuatan Jubedhe sebelumnya yang 90 % gagal. Bukannya menjadi Jubedhe sebagaimana yang diharapkan, malah menjadi dodol. Sebelum pulang, Tim Gula Merah berencana untuk mempersembahkan kue gettas itu kepada guru SMA keesokan harinya.
GULUK-GULUK—Setelah sebelumnya sempat kurang berhasil dalam percobaan membuat jubedhe, makanan tradisional Madura berbahan gula merah, Tim Gula Merah SCC SMA 3 Annuqayah tidak merasa putus asa.
Senin (4/5) kemarin, mereka kembali melakukan praktik membuat makanan berbahan dasar gula merah. ”Praktik ini dimaksudkan untuk menambah wawasan kita tentang makanan-makanan yang terbuat dari gula merah agar kita semakin mencintai gula merah,” papar Mus’idah Amien, salah satu guru pembimbing Tim Gula Merah.
Praktik yang berlangsung di halaman Markas Tim SCC SMA 3 Annuqayah itu dimulai selepas Zhuhur, setelah anak-anak selesai bersekolah. Anggota tim tetap bersemangat walaupun mereka kekurangan peralatan dan satu anggota tim tidak bisa membantu karena sakit.
Kali ini mereka mencoba satu resep yang telah berhasil dikumpulkan, yaitu kue gettas, yang terbuat dari parutan singkong mentah yang dibulatkan lalu digoreng dan kemudian dilumuri gula merah. Uniknya, kue gettas yang mereka buat berwarna cokelat karena dilumuri dengan gula merah asli. Sementara yang umum di masyarakat berwarna putih. Itu adalah ide gila dari Ibu Mus’idah, di samping karena terbatasnya bahan yang ada. “Ini adalah ide Bu Mus, agar unik,” ungkap Eka, salah satu anggota tim.
Karena singkong yang dikupas masih banyak, Bu Mus menginstruksikan agar kami memasak singkong itu untuk dibuat tattabun—salah satu makanan yang juga berbahan gula merah. Lalu Bu Mus’idah mengajak seluruh Tim Gula Merah untuk membuat tungku agar menghemat minyak tanah dan karena kompornya memang hanya satu. Walaupun untuk menyalakan api sulitnya minta ampun, namun mereka tidak kenal putus asa hingga akhirnya guru pendamping yang lain, M. Mushthafa, membantu mereka. “Kayunya jangan terlalu banyak agar efektif dan apinya besar,” ujarnya.
Setelah diangkat dari perapian, mereka mulai menghancurkan singkong itu satu per satu. Namun karena singkong itu kurang lunak, akhirnya mereka gagal membuat tattabun.
Karena hari sudah mulai petang, mereka mengakhiri kegiatan mereka dengan makan singkong bersama yang gagal dibuat tattabun tadi dengan ditaburi parutan kelapa. Praktik membuat kue gettas itu dapat dibilang sukses dibandingkan dengan praktik pembuatan Jubedhe sebelumnya yang 90 % gagal. Bukannya menjadi Jubedhe sebagaimana yang diharapkan, malah menjadi dodol. Sebelum pulang, Tim Gula Merah berencana untuk mempersembahkan kue gettas itu kepada guru SMA keesokan harinya.
03 Mei 2009
Peringatan Hardiknas, Tim Sampah Plastik Tampil di Ganding FM
Siti Nujaimatur Ruqayyah, siswi XI IPA SMA 3 Annuqayah, Koordinator Data & Dokumentasi Tim Sampah Plastik School Climate Challenge Competition British Council
GULUK-GULUK—Sabtu (2/5) kemarin, seorang guru dan empat siswi SMA 3 Annuqayah tergesa-gesa mengambil tas plastik yang biasa mereka pakai jika bepergian. Guru itu segera menuju gerbang sekolah menunggu mobil angkutan umum, yang langsung diikuti oleh keempat siswinya tersebut. Mereka adalah Tim Sampah Plastik SCC SMA 3 Annuqayah. Agak lama mereka menunggu. Saat mobil angkutan umum datang, si guru pendamping segera menyetop mobil itu.
Hari itu, Tim Sampah Plastik diundang Radio Ganding FM dalam acara talk show memperingati Hari Pendidikan Nasional. Ganding FM, yang mengudara di gelombang 104.10, merupakan radio lokal yang sekitar enam bulan ini beroperasi dan memiliki perhatian terhadap peningkatan pendidikan di Kabupaten Sumenep pada khususnya. Jangkauannya tidak hanya mencakup wilayah Sumenep, tapi juga hingga ke sebagian wilayah Kabupaten Pamekasan.
Sesampainya di studio Ganding FM yang terletak di pinggiran Ganding, Tim Sampah Plastik langsung dipersilakan duduk. Kebetulan acara masih belum akan dimulai. Jadi kami masih berbincang-bincang dulu dengan pengelola radio.
Acara talkshow dimulai tepat pukul 09.30 WIB. Guru pendamping Tim Sampah Plastik, M. Mushthafa, memasuki ruangan studio terlebih dahulu. Beberapa saat kemudian, keempat anggota Tim Inti Sampah Plastik turut memasuki ruangan. Mereka semua berbagi cerita mengenai komunitas PSG (Pemulung Sampah Gaul) SMA 3 Annuqayah dan aktivitas Tim Sampah Plastik beberapa bulan terakhir ini pada khususnya dalam kaitannya dengan pendidikan kontekstual di Indonesia. Berbagai pertanyaan dari penyiar radio dijawab dengan lugas.
“Dari segi pendidikan, komunitas kami ini ingin mengajak siswa agar bisa belajar peka terhadap lingkungan di sekitar mereka, minimal dengan menyadari hal-hal kecil. Misalnya, barang-barang yang mereka konsumsi itu berasal dari mana dan akan berakhir ke mana,” papar M. Mushthafa saat menjawab pertanyaan dari salah satu pendengar Ganding FM. Kebetulan saat itu banyak sekali pemirsa bergabung dengan mereka, berbagi pendapat dan melontarkan pertanyaan.
Irul Nur Jannah, anggota Tim Sampah Plastik yang bertugas sebagai koordinator pendampingan, menyampaikan bahwa dengan terlibat dalam komunitas dan kegiatan tersebut, ia bisa memperoleh pelajaran tambahan. “Wawasan dan ilmu tambahan itu sepertinya tak saya dapatkan di dalam kelas,” tambahnya.
Akhirnya, sesuai dengan waktu yang disediakan, acara itu berakhir juga tepat pada pukul 11.30 WIB. “Terakhir dari kami, kami harap kepada seluruh siswa di Indonesia jangan hanya mengedepankan pelajaran yang memprioritaskan angka-angka saja. Tapi bagaimana agar kita semua bisa mempraktikkan ilmu kita sehingga kita bisa bersahabat dengan alam,” pesan Khazinah, salah satu anggota Tim, saat menutup perbincangan di acara talk show itu.
Pengalaman Pertama Bersosialisasi tentang Pupuk Organik
Anisah, siswi XI IPA SMA 3 Annuqayah, Koordinator Riset Tim Pupuk Organik School Climate Challenge Competition British Council
Sinar matahari menyengat tubuh kami. Akan tetapi, bagaimanapun juga, kami tetap harus berangkat untuk sosialisasi pupuk organik di Kompolan Al-Amir Guluk-Guluk. Sosialisasi kami tidak didampingi oleh kedua pembimbing kami. Tapi meskipun tidak didampingi, kami tetap bersemangat. Alhamdulillah sosialisasi kami berjalan dengan lancar walaupun di sana-sini masih ada kekurangan walaupun sedikit. Maklumlah, karena sosialisasi ini merupakan yang pertama kalinya kami laksanakan.
Jum’at (1/5) siang sekitar pukul 14.00 WIB Tim Pupuk Organik mulai bersosialisasi di acara muslimatan yang bertempat di PP Annuqayah Al-Amir Guluk-Guluk. Kami pergi ke sana hanya berempat: saya sendiri, Siti Mailah, Rasyidah, dan Nurul Hasanah. Khoyyimah sudah menunggu di tempat, karena kebetulan rumahnya berdekatan dengan tempat acara.
Tujuan utama kami dalam sosialisasi ini ingin menerangkan sedikit tentang manfaat memakai pupuk organik dan dampak negatifnnya memakai pupuk kimia. Kami juga ingin menggugah kepedulian mereka untuk bisa memanfaatkan limbah pertanian di sekitar.
Sebelum acara kami berlangsung, kami masih mengikuti pengajian yang biasa dilaksanakan setiap acara itu dilaksanakan. Setelah pengajiannya selesai, Ibu Mus’idah, guru SMA 3 Annuqayah yang juga aktif di kompola tersebut langsung memperkenalkan kami dan maksud tujuan kami hadir di situ. Sebelum itu, sebagai pendahuluan, Ibu Mus’idah menerangkan sedikit tentang pemanasan global, kemudian diganti oleh Siti Mailah, anggota Tim Pupuk Organik, yang langsung membahas sedikit tentang pupuk organik dan bahaya memakai pupuk kimia.
Sebelum kami selesai menerangkan, ternyata mereka langsung tanggap dengan penjelasan kami dan menurut mereka lebih baik jika pupuk organik harus diseimbangkan dengan air. Ternyata respons mereka sangat bagus dan bagi kami hal itu merupakan suatu pelajaran yang sangat berharga.
Sinar matahari menyengat tubuh kami. Akan tetapi, bagaimanapun juga, kami tetap harus berangkat untuk sosialisasi pupuk organik di Kompolan Al-Amir Guluk-Guluk. Sosialisasi kami tidak didampingi oleh kedua pembimbing kami. Tapi meskipun tidak didampingi, kami tetap bersemangat. Alhamdulillah sosialisasi kami berjalan dengan lancar walaupun di sana-sini masih ada kekurangan walaupun sedikit. Maklumlah, karena sosialisasi ini merupakan yang pertama kalinya kami laksanakan.
Jum’at (1/5) siang sekitar pukul 14.00 WIB Tim Pupuk Organik mulai bersosialisasi di acara muslimatan yang bertempat di PP Annuqayah Al-Amir Guluk-Guluk. Kami pergi ke sana hanya berempat: saya sendiri, Siti Mailah, Rasyidah, dan Nurul Hasanah. Khoyyimah sudah menunggu di tempat, karena kebetulan rumahnya berdekatan dengan tempat acara.
Tujuan utama kami dalam sosialisasi ini ingin menerangkan sedikit tentang manfaat memakai pupuk organik dan dampak negatifnnya memakai pupuk kimia. Kami juga ingin menggugah kepedulian mereka untuk bisa memanfaatkan limbah pertanian di sekitar.
Sebelum acara kami berlangsung, kami masih mengikuti pengajian yang biasa dilaksanakan setiap acara itu dilaksanakan. Setelah pengajiannya selesai, Ibu Mus’idah, guru SMA 3 Annuqayah yang juga aktif di kompola tersebut langsung memperkenalkan kami dan maksud tujuan kami hadir di situ. Sebelum itu, sebagai pendahuluan, Ibu Mus’idah menerangkan sedikit tentang pemanasan global, kemudian diganti oleh Siti Mailah, anggota Tim Pupuk Organik, yang langsung membahas sedikit tentang pupuk organik dan bahaya memakai pupuk kimia.
Sebelum kami selesai menerangkan, ternyata mereka langsung tanggap dengan penjelasan kami dan menurut mereka lebih baik jika pupuk organik harus diseimbangkan dengan air. Ternyata respons mereka sangat bagus dan bagi kami hal itu merupakan suatu pelajaran yang sangat berharga.
01 Mei 2009
Tim Gula Merah Riset Data ke Batang-Batang
Nurul Elmi, siswi XI IPA SMA 3 Annuqayah, Tim Pendukung Tim Gula Merah School Climate Challenge British Council
Selasa(28/04) saya bersama Tim Gula Merah kembali melakukan riset data. Kali ini ke Desa Banuaju Timur Kecamatan Batang-Batang, Sumenep. Dalam kegiatan ini, ikut serta empat orang Tim Sampah Plastik dan satu orang dari Tim Pupuk. Tim Sampah Plastik juga melakukan sosialisasi ke SMK Bina Mandiri Banuaju. Kami berangkat pukul 07.40 WIB didampingi oleh dua orang guru, M. Mushthafa dan Mus'idah.
Riset kali ini dimaksudkan untuk lebih memperluas wawasan kami mengenai rahasia pembuatan gula merah yang berkualitas. Dengan bantuan Pak Masdur, salah satu pedagang gula merah di Banuaju, kami melakukan riset data ke rumah Ibu Bari. Saat itu jam menunjukkan pukul 11.30 WIB. Dari wawancara dengan Ibu Bari, kami mendapatkan informasi tentang tips-tips membuat gula merah yang berkualitas. Menurutnya, pekerjaan membuat gula merah tidaklah terlalu sulit asalkan sabar dan terampil. “Mon terro bagussa larona se bagus bakto ekella kapo'na buang,” ujarnya.
Kami juga mendapatkan informasi tentang pengemasan gula merah yang baik. Masyarakat Banuaju banyak yang menggunakan cobbuk (kemasan gula merah yang terbuat dari daun lontar), karena dengan menggunakan cobbuk gula yang dihasilkan lebih kering dan tahan lama daripada menggunakan bungkus plastik. Pak Masdur menambahkan bahwa pengemasan gula merah yang baik bagi pedagang dengan menggunakan keranjang yang baik dan menggunakan plastik dobel.
Setelah riset data selesai, kami shalat Zhuhur di rumah Pak Masdur. Kami meninggalkan Banuaju pukul 14.00 WIB. Kami sampai di SMA 3 Annuqayah sekitar pukul 17.00 WIB, karena masih mampir di Gapura dan pasar Sumenep.
Langganan:
Postingan (Atom)