Catatan dari Nurul Huda 2 Pakandangan Barat, Bluto, Sumenep
Habibullah Salman, guru SMA 3
Annuqayah, tinggal dan mengajar di Nurul Huda 2, Pakandangan Barat, Bluto,
Sumenep
Selesai acara seminar literasi yang diadakan
SMA 3 Annuqayah tanggal 24 April lalu, kami pulang setidaknya dengan dua hal penting. Tidak hanya penting
tapi juga, bagi kami, terbilang baru. Dua hal tersebut adalah ide tentang Reading
Challenge (tantangan
membaca) dan sekardus buku
yang sesak dengan 90 buku bacaan terbungkus plastik.
Ide dan buku ini bagi saya sangat berarti
sekali. Sekardus buku itu adalah harta karun yang begitu mudah kami dapatkan
sekaligus begitu kami butuhkan untuk menambah nutrisi perpustakaan kami yang
hingga kini hanya berisi 160 buku lawas. Kami sangat berterima kasih kepada SMA
3 Annuqayah yang telah mengadakan acara seminar plus
sedekah kardusan buku. Terus terang dengan minimnya dana yang kami miliki,
sulit bagi kami untuk beli buku baru—apalagi sampai sekardus. Biasanya, kalau kami harus membeli buku, kami harus pergi ke
Kampung Ilmu di Surabaya. Di sana kami bisa meminimalkan bujet dan
memaksimalkan aset.
Ide tentang Reading Challenge yang dilontarkan Pak Satria
Dharma, narasumber seminar literasi di SMA 3 Annuqayah yang juga ketua Ikatan
Guru Indonesia (IGI), sangat
menarik minat siswa kami. Mereka sangat antusias untuk mengikuti tantangan
tersebut. Tidak tanggung-tanggung, kami mematok 10 buku habis dibaca dan diulas
dalam bentuk tulisan selama sebulan setengah saja. Untuk tingkat Madrasah Ibtidaiyah tidak perlu
diulas dalam bentuk tulisan, cukup dengan lisan. Waktunya dari tanggal 1 Mei
hingga 15 Juni. Padahal sejak tanggal 2 Juni hingga 15 Juni ada
ujian semester plus hari remedi. Praktis selama setengah
bulan itu mereka harus fokus pada ujian.
Entah apa yang ada di benak mereka. 12 hari setelah pengumuman, sudah ada 3 anak MI yang
telah selesai menuntaskan
tantangan. Sementara untuk
tingkatan SMP dan MA, masing-masing siswa berhasil membaca dan mengulas tiga
hingga empat buku. Subhanallah, padahal ini masih 12 hari. Setiap ulasan
yang mereka tulis saya usahakan untuk diketik dan menempelkannya di papan pengumuman. Banyak siswa
yang senang tulisannya ditampilkan. Siswa yang ulasannya belum ditampilkan
kerap bertanya kapan giliran tulisan mereka bisa tampil juga.
Fenomena ini, bagi kami, sangat
mengejutkan. Mereka adalah anak pelosok desa yang baru tahun ini memiliki bahan
pustaka tanpa gedung perpustakaan. Buku-buku yang ada sekarang diletakkan di
etalase kantin bersebelahan dengan tumpukan kerupuk dan pentol.
Alasan awal mengapa harus ada
bahan pustaka di sekolah kami sebenarnya sangat sederhana, yaitu agar anak
tetap di sekolah ketika guru tidak masuk. Sebelum ada bahan buku, mereka keluar kelas main petak
umpet, kejar-kejaran, sehingga kadang mengganggu kelas lain. Kadang juga mereka diam duduk ngerumpi.
Bahkan, karena rumah mereka dekat dengan sekolah, kadang mereka pulang.
Siswa bermain di luar kelas ketika jam
masuk kelihatannya kurak enak dipandang. Diputuskanlah untuk membeli buku yang sekiranya menarik minat mereka. Jadi,
adanya perpustakaan di sekolah kami tidak lahir dari pandangan ilmiah bahwa
perpustakaan adalah jantung sekolah, buku adalah jendela dunia, sekarang zaman
informasi dan buku merupakan salah satu syarat menciptakan kemajuan. Bukan itu.
Adanya perpustakaan di sekolah kami hanya karena gurunya sering tidak ada.
Karena itulah kami tidak memilih dan
memilah buku yang boleh dibaca dan tidak. Yang penting buku itu menarik dan
murah, kami beli. Kami juga tidak berharap akan lahir kutu buku sebagaimana kami
tidak merancang bahwa mereka akan membaca secara permanen, dalam arti bahwa baik ada guru atau tidak mereka tetap membaca buku.
Bahwa mereka bisa membawa buku ke rumah dan
membacanya di waktu luang yang mereka miliki, itu di
luar bayangan kami semula. Tetapi apa yang mereka lakukan sekarang sungguh
melebihi kesederhanaan harapan kami dan melampaui yang bisa kami bayangkan.
Setiap hari, tantangan membaca ini mengubah rutinitas kehidupan mereka. Nyaris setiap siswa
yang masuk kelas tidak hanya membawa buku pelajaran tanpa diselipkan buku
bacaan yang mereka pinjam di perpustakaan. Ketika jam istirahat, ada suasana berbeda. Beberapa siswa terlihat khusuk membaca buku di emperan sekolah. Jikalau mereka
bermain, di samping mereka ada buku.
Beberapa hari yang lalu, keponakan saya bikin
saya haru. Dia membawa buku yang diselipkan di tas ibunya yang hendak melayat.
Keponakan saya masih kelas 3 MI. Ketika tulisan ini dibuat dia sudah membaca 9
dari 10 buku yang dilombakan.
Bagi saya, sekali lagi, hal demikian
benar-benar luar biasa. Ini tidak hanya dilihat dari lompatan daya baca mereka
yang quantum; dari siswa yang jarang baca langsung doyan baca 10 buku
dalam jangka sesingkat itu, namun juga dari ketebalan buku yang "terpaksa”
kami sediakan. Kami bilang "terpaksa"
karena ketebalan bukunya bagi pembaca pemula terasa berat, terutama tingkat SMP
dan Madrasah Aliyah.
Kisaran bukunya adalah 150 halaman hingga 370 halaman. Kami terpaksa
menyediakan buku setebal itu karena itulah buku yang ada dan baru (yang 90
persen pemberian Diva Press via SMA 3 Annuqayah). Sekitar ada 16 judul dengan
42 eksemplar.
Itu masih mending, untuk tingkat MI kami
hanya punya 9 judul buku dengan 9 eksemplar. Jadi kurang satu. Terpaksa kami
mengambil satu buku lawas yang kemungkinan besar sudah mereka baca, untuk menggenapi
10.
Bagi mereka yang berhasil menyelesaikan
tantangan ini, kami berjanji untuk memberikan sertifikat, medali, dan juga buku. Ketika
kami ditanya tentang buku apa yang akan diberikan, apakah buku tulis atau buku
bacaan, kami hanya bilang, "Lihat
saja nanti." Kami menduga mereka sangat berharap
diberi buku bacaan karena nilainya yang lebih istimewa daripada buku tulis yang
sudah biasa mereka punya. Tapi kami juga harus melihat bujet yang sebenarnya
sangat tipis sehingga kami belum memastikan buku yang akan kami berikan sebagai
hadiah buat mereka.
Kami juga bilang kepada mereka bahwa
membaca buku pasti bikin orang pintar walaupun mereka tidak sekolah atau
sekolah di mana pun saja. Sekolah belum tentu bikin pintar,
terutama jika gurunya sering tidak masuk—apalagi jika
mereka tidak pernah baca buku. Alangkah hebatnya jika ada anak yang bersekolah
dan rajin baca buku. Mereka akan jadi manusia luar biasa.
Kami yakin, tantangan membaca ini adalah
langkah awal yang patut kami syukuri, meskipun memang
tidak semua siswa senang bersemangat membaca buku, walaupun
hanya sebagian yang senang baca buku. Ini langkah awal yang tidak menutup
kemungkinan akan jadi wabah literasi yang menulari siswa lain. Sebagian saja dari
mereka yang rajin baca buku sudah cukup membuat kami bahagia.
Kami, setelah melihat semangat baca mereka,
tidak lagi melihat adanya bahan pustaka dengan tujuan sederhana. Visi kami
sudah lebih tinggi lagi. Kami berencana akan membukukan ulasan buku yang telah
mereka buat. Mereka senang mendengar rencana kami tersebut. Meminjam bahasa Pak
Dardiri, salah satu
narasumber dalam seminar literasi di SMA 3 Annuqayah, lewat buku kami hendak merawat mimpi-mimpi siswa kami
yang tentu sama tingginya dengan siswa yang bersekolah di kota.
Biarlah mereka sekarang tinggal di pelosok
desa. Kami yakin dengan buku yang sering mereka
baca, pikiran mereka akan menjelajahi dunia bersama mimpi tinggi mereka yang
semakin lama mendekati kenyataan. Kami lihat mimpi mereka sudah bermekaran.
Kuncup bunganya terlihat indah sejak mereka memupuknya dengan buku-buku.
1 komentar:
Luar biasa semoga bs istiqamah
Posting Komentar