24 Mei 2014

Tantangan Membaca untuk Siswa Pelosok Desa

Catatan dari Nurul Huda 2 Pakandangan Barat, Bluto, Sumenep


Habibullah Salman, guru SMA 3 Annuqayah, tinggal dan mengajar di Nurul Huda 2, Pakandangan Barat, Bluto, Sumenep

Selesai acara seminar literasi yang diadakan SMA 3 Annuqayah tanggal 24 April lalu, kami pulang setidaknya dengan dua hal penting. Tidak hanya penting tapi juga, bagi kami, terbilang baru. Dua hal tersebut adalah ide tentang Reading Challenge (tantangan membaca) dan sekardus buku yang sesak dengan 90 buku bacaan terbungkus plastik.

Ide dan buku ini bagi saya sangat berarti sekali. Sekardus buku itu adalah harta karun yang begitu mudah kami dapatkan sekaligus begitu kami butuhkan untuk menambah nutrisi perpustakaan kami yang hingga kini hanya berisi 160 buku lawas. Kami sangat berterima kasih kepada SMA 3 Annuqayah yang telah mengadakan acara seminar plus sedekah kardusan buku. Terus terang dengan minimnya dana yang kami miliki, sulit bagi kami untuk beli buku baru—apalagi sampai sekardus. Biasanya, kalau kami harus membeli buku, kami harus pergi ke Kampung Ilmu di Surabaya. Di sana kami bisa meminimalkan bujet dan memaksimalkan aset.

Ide tentang Reading Challenge yang dilontarkan Pak Satria Dharma, narasumber seminar literasi di SMA 3 Annuqayah yang juga ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI), sangat menarik minat siswa kami. Mereka sangat antusias untuk mengikuti tantangan tersebut. Tidak tanggung-tanggung, kami mematok 10 buku habis dibaca dan diulas dalam bentuk tulisan selama sebulan setengah saja. Untuk tingkat Madrasah Ibtidaiyah tidak perlu diulas dalam bentuk tulisan, cukup dengan lisan. Waktunya dari tanggal 1 Mei hingga 15 Juni. Padahal sejak tanggal 2 Juni hingga 15 Juni ada ujian semester plus hari remedi. Praktis selama setengah bulan itu mereka harus fokus pada ujian.

Entah apa yang ada di benak mereka. 12 hari setelah pengumuman, sudah ada 3 anak MI yang telah selesai menuntaskan tantangan. Sementara untuk tingkatan SMP dan MA, masing-masing siswa berhasil membaca dan mengulas tiga hingga empat buku. Subhanallah, padahal ini masih 12 hari. Setiap ulasan yang mereka tulis saya usahakan untuk diketik dan menempelkannya di papan pengumuman. Banyak siswa yang senang tulisannya ditampilkan. Siswa yang ulasannya belum ditampilkan kerap bertanya kapan giliran tulisan mereka bisa tampil juga.

Fenomena ini, bagi kami, sangat mengejutkan. Mereka adalah anak pelosok desa yang baru tahun ini memiliki bahan pustaka tanpa gedung perpustakaan. Buku-buku yang ada sekarang diletakkan di etalase kantin bersebelahan dengan tumpukan kerupuk dan pentol.

Alasan awal mengapa harus ada bahan pustaka di sekolah kami sebenarnya sangat sederhana, yaitu agar anak tetap di sekolah ketika guru tidak masuk. Sebelum ada bahan buku, mereka keluar kelas main petak umpet, kejar-kejaran, sehingga kadang mengganggu kelas lain. Kadang juga mereka diam duduk ngerumpi. Bahkan, karena rumah mereka dekat dengan sekolah, kadang mereka pulang.

Siswa bermain di luar kelas ketika jam masuk kelihatannya kurak enak dipandang. Diputuskanlah untuk membeli buku yang sekiranya menarik minat mereka. Jadi, adanya perpustakaan di sekolah kami tidak lahir dari pandangan ilmiah bahwa perpustakaan adalah jantung sekolah, buku adalah jendela dunia, sekarang zaman informasi dan buku merupakan salah satu syarat menciptakan kemajuan. Bukan itu. Adanya perpustakaan di sekolah kami hanya karena gurunya sering tidak ada.

Karena itulah kami tidak memilih dan memilah buku yang boleh dibaca dan tidak. Yang penting buku itu menarik dan murah, kami beli. Kami juga tidak berharap akan lahir kutu buku sebagaimana kami tidak merancang bahwa mereka akan membaca secara permanen, dalam arti bahwa baik ada guru atau tidak mereka tetap membaca buku.

Bahwa mereka bisa membawa buku ke rumah dan membacanya di waktu luang yang mereka miliki, itu di luar bayangan kami semula. Tetapi apa yang mereka lakukan sekarang sungguh melebihi kesederhanaan harapan kami dan melampaui yang bisa kami bayangkan.

Setiap hari, tantangan membaca ini mengubah rutinitas kehidupan mereka. Nyaris setiap siswa yang masuk kelas tidak hanya membawa buku pelajaran tanpa diselipkan buku bacaan yang mereka pinjam di perpustakaan. Ketika jam istirahat, ada suasana berbeda. Beberapa siswa terlihat khusuk membaca buku di emperan sekolah. Jikalau mereka bermain, di samping mereka ada buku.

Beberapa hari yang lalu, keponakan saya bikin saya haru. Dia membawa buku yang diselipkan di tas ibunya yang hendak melayat. Keponakan saya masih kelas 3 MI. Ketika tulisan ini dibuat dia sudah membaca 9 dari 10 buku yang dilombakan.

Bagi saya, sekali lagi, hal demikian benar-benar luar biasa. Ini tidak hanya dilihat dari lompatan daya baca mereka yang quantum; dari siswa yang jarang baca langsung doyan baca 10 buku dalam jangka sesingkat itu, namun juga dari ketebalan buku yang "terpaksa” kami sediakan. Kami bilang  "terpaksa" karena ketebalan bukunya bagi pembaca pemula terasa berat, terutama tingkat SMP dan Madrasah Aliyah. Kisaran bukunya adalah 150 halaman hingga 370 halaman. Kami terpaksa menyediakan buku setebal itu karena itulah buku yang ada dan baru (yang 90 persen pemberian Diva Press via SMA 3 Annuqayah). Sekitar ada 16 judul dengan 42 eksemplar.

Itu masih mending, untuk tingkat MI kami hanya punya 9 judul buku dengan 9 eksemplar. Jadi kurang satu. Terpaksa kami mengambil satu buku lawas yang kemungkinan besar sudah mereka baca, untuk menggenapi 10.

Bagi mereka yang berhasil menyelesaikan tantangan ini, kami berjanji untuk memberikan sertifikat, medali, dan juga buku. Ketika kami ditanya tentang buku apa yang akan diberikan, apakah buku tulis atau buku bacaan, kami hanya bilang, "Lihat saja nanti." Kami menduga mereka sangat berharap diberi buku bacaan karena nilainya yang lebih istimewa daripada buku tulis yang sudah biasa mereka punya. Tapi kami juga harus melihat bujet yang sebenarnya sangat tipis sehingga kami belum memastikan buku yang akan kami berikan sebagai hadiah buat mereka.

Kami juga bilang kepada mereka bahwa membaca buku pasti bikin orang pintar walaupun mereka tidak sekolah atau sekolah di mana pun saja. Sekolah belum tentu bikin pintar, terutama jika gurunya sering tidak masuk—apalagi jika mereka tidak pernah baca buku. Alangkah hebatnya jika ada anak yang bersekolah dan rajin baca buku. Mereka akan jadi manusia luar biasa.

Kami yakin, tantangan membaca ini adalah langkah awal yang patut kami syukuri, meskipun memang tidak semua siswa senang bersemangat membaca buku, walaupun hanya sebagian yang senang baca buku. Ini langkah awal yang tidak menutup kemungkinan akan jadi wabah literasi yang menulari siswa lain. Sebagian saja dari mereka yang rajin baca buku sudah cukup membuat kami bahagia.

Kami, setelah melihat semangat baca mereka, tidak lagi melihat adanya bahan pustaka dengan tujuan sederhana. Visi kami sudah lebih tinggi lagi. Kami berencana akan membukukan ulasan buku yang telah mereka buat. Mereka senang mendengar rencana kami tersebut. Meminjam bahasa Pak Dardiri, salah satu narasumber dalam seminar literasi  di SMA 3 Annuqayah, lewat buku kami hendak merawat mimpi-mimpi siswa kami yang tentu sama tingginya dengan siswa yang bersekolah di kota.

Biarlah mereka sekarang tinggal di pelosok desa. Kami yakin dengan buku yang sering mereka baca, pikiran mereka akan menjelajahi dunia bersama mimpi tinggi mereka yang semakin lama mendekati kenyataan. Kami lihat mimpi mereka sudah bermekaran. Kuncup bunganya terlihat indah sejak mereka memupuknya dengan buku-buku.


1 komentar:

Edi Akhiles mengatakan...

Luar biasa semoga bs istiqamah