Juwairiyah, S.Pd.I, penulis,
guru SMA 3 Annuqayah
Terkadang saya merasa beruntung
terlahir, menjalani masa belia pada saat teknologi informasi belum sepesat
sekarang. Sebab, tak menjamin rasanya jika terlahir sebagai generasi sekarang,
menjalani masa kecil dan masa remaja di tengah gempuran teknologi informasi
yang sungguh menggoda para generasi untuk menghabiskan waktunya sebanyak
mungkin dengan berselancar di dunia maya dan menikmati permainan yang tidak
mencerdaskan diri.
Tanpa bermaksud
mengkambinghitamkan teknologi, gairah membaca dan menulis saat ini memang harus
berhadapan langsung dengan pengaruh internet yang menyiapkan aneka menu secara
instan; apapun yang kita butuhkan, positif maupun negatif.
Sejak kecil, kegiatan membaca
buku merupakan hal yang sangat mengasyikkan bagi saya. Apalagi membaca buku
cerita petualangan. Padahal saat itu persediaan buku yang dapat dinikmati amat
terbatas. Selain perpustakaan sekolah yang bisa dikatakan tidak ada, belum ada
toko buku atau kios yang menyediakan bacaan.
Saya memburu bacaan dengan cara
meminjam tetangga yang usianya jauh di atas saya. Saya pun membaca semua bacaan
mulai dari koran, majalah dewasa, majalah remaja, majalah anak-anak,
novel-novel remaja dan dewasa; pada saat saya belum tamat MI. Kebiasaan itu
berlanjut hingga MTs dan MA dengan menu bacaan yang semakin beragam, baik
dengan membeli atau meminjam pada guru yang suka mmbeli bacaan. Seingat saya,
saya membaca roman legendaris karya Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck,
pada saat saya masih kelas IV MI, dengan meminjam pada paman saya, tanpa
perduli saya kebingungan dengan bahasanya yang nyastra.
Pada saat yang sama, kebiasaan
menulis buku harian dan korespondensi menggiring saya untuk menyukai dunia
menulis. Terhitung sejak kelas V MI saya menulis buku harian hingga saat ini.
Dan sejak kelas III MTs mulai menulis puisi, artikel dan cerpen, meski masih mentah.
Diam-diam saya rasakan, bahwa
dunia literasi memberikan pencerahan dan kenikmatan tersendiri, jauh melebihi
hiburan apapun. Karena dunia literasi membuat saya tidak terputus hubungan
dengan ilmu pengetahuan, pada saat saya sudah menyelesaikan pendidikan. Saya
pun percaya, bahwa adalah hal yang mustahil memisahkan dunia menulis dari dunia
membaca. Keduanya adalah dua sisi mata uang yang saling melengkapi.
Kebiasaan membaca dan menulis
tidak dapat diciptakan secara instan. Semuanya membutuhkan waktu dan
kesungguhan serta ketekunan. Sebab manfaat dunia literasi ini bersifat jangka
panjang. Karena itulah, jika dihubungkan dengan dunia pendidikan (baca:
sekolah), maka siswa akan memiliki kebiasaan membaca dan menulis jika melihat
lingkungannya mendukung ke arah itu. Bukan sekedar tersedianya bacaan yang
memadai, akan tetapi semangat literasi ini perlu ditularkan dari guru-guru di
sekolah.
Tanpa bermaksud mengatakan
bahwa setiap guru harus jadi penulis, saya ingin mengatakan bahwa setiap guru
perlu menjadi seorang pembaca, agar dapat menulari lingkungan dan anak
didiknya. Sebab, membaca banyak buku, utamanya buku sastra, akan menguatkan
kepribadian seseorang, mengalihkan seseorang dari kebiasaan menikmati hiburan
negatif dan menjadi muara tempat menyalurkan energi besar kaum muda. Wallahu
A’lam.
1 komentar:
bagus, bisa berbagi pengalaman seperti ini
Posting Komentar