30 April 2014

Dunia Literasi dan Proses Kreatif



Juwairiyah, S.Pd.I, penulis, guru SMA 3 Annuqayah


Terkadang saya merasa beruntung terlahir, menjalani masa belia pada saat teknologi informasi belum sepesat sekarang. Sebab, tak menjamin rasanya jika terlahir sebagai generasi sekarang, menjalani masa kecil dan masa remaja di tengah gempuran teknologi informasi yang sungguh menggoda para generasi untuk menghabiskan waktunya sebanyak mungkin dengan berselancar di dunia maya dan menikmati permainan yang tidak mencerdaskan diri.

Tanpa bermaksud mengkambinghitamkan teknologi, gairah membaca dan menulis saat ini memang harus berhadapan langsung dengan pengaruh internet yang menyiapkan aneka menu secara instan; apapun yang kita butuhkan, positif maupun negatif.

Sejak kecil, kegiatan membaca buku merupakan hal yang sangat mengasyikkan bagi saya. Apalagi membaca buku cerita petualangan. Padahal saat itu persediaan buku yang dapat dinikmati amat terbatas. Selain perpustakaan sekolah yang bisa dikatakan tidak ada, belum ada toko buku atau kios yang menyediakan bacaan.

Saya memburu bacaan dengan cara meminjam tetangga yang usianya jauh di atas saya. Saya pun membaca semua bacaan mulai dari koran, majalah dewasa, majalah remaja, majalah anak-anak, novel-novel remaja dan dewasa; pada saat saya belum tamat MI. Kebiasaan itu berlanjut hingga MTs dan MA dengan menu bacaan yang semakin beragam, baik dengan membeli atau meminjam pada guru yang suka mmbeli bacaan. Seingat saya, saya membaca roman legendaris karya Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, pada saat saya masih kelas IV MI, dengan meminjam pada paman saya, tanpa perduli saya kebingungan dengan bahasanya yang nyastra.

Pada saat yang sama, kebiasaan menulis buku harian dan korespondensi menggiring saya untuk menyukai dunia menulis. Terhitung sejak kelas V MI saya menulis buku harian hingga saat ini. Dan sejak kelas III MTs mulai menulis puisi, artikel dan cerpen, meski masih mentah.

Diam-diam saya rasakan, bahwa dunia literasi memberikan pencerahan dan kenikmatan tersendiri, jauh melebihi hiburan apapun. Karena dunia literasi membuat saya tidak terputus hubungan dengan ilmu pengetahuan, pada saat saya sudah menyelesaikan pendidikan. Saya pun percaya, bahwa adalah hal yang mustahil memisahkan dunia menulis dari dunia membaca. Keduanya adalah dua sisi mata uang yang saling melengkapi.

Kebiasaan membaca dan menulis tidak dapat diciptakan secara instan. Semuanya membutuhkan waktu dan kesungguhan serta ketekunan. Sebab manfaat dunia literasi ini bersifat jangka panjang. Karena itulah, jika dihubungkan dengan dunia pendidikan (baca: sekolah), maka siswa akan memiliki kebiasaan membaca dan menulis jika melihat lingkungannya mendukung ke arah itu. Bukan sekedar tersedianya bacaan yang memadai, akan tetapi semangat literasi ini perlu ditularkan dari guru-guru di sekolah.

Tanpa bermaksud mengatakan bahwa setiap guru harus jadi penulis, saya ingin mengatakan bahwa setiap guru perlu menjadi seorang pembaca, agar dapat menulari lingkungan dan anak didiknya. Sebab, membaca banyak buku, utamanya buku sastra, akan menguatkan kepribadian seseorang, mengalihkan seseorang dari kebiasaan menikmati hiburan negatif dan menjadi muara tempat menyalurkan energi besar kaum muda. Wallahu A’lam.

1 komentar:

M. Faizi mengatakan...

bagus, bisa berbagi pengalaman seperti ini