13 Maret 2008

Peri Penolong Madaris 3


Tak ada kesulitan bagi kami ketika ingin mengetahui cerita unik dari beliau. Hanya dengan beberapa langkah kami sudah sampai di rumahnya. Hal itu disebabkan dekatnya sekolah kami dengan rumah beliau.

Orang-orang, khususnya di sekolah Madaris 3 Annuqayah yang telah dia layani. Pantas saja waktu itu dia sedang melepas lelah setelah seharian beraktivitas. Dzuhur. Itulah waktu yang kami pilih. Waktu yang tidak tepat untuk dijadikan sasaran. Namun waktu kami dan waktu beliau tak bisa dipadukan, disebabkan sebuah profesi yang berbeda. Kami pulang tanpa ada rasa kecewa sedikitpun. Kami mengerti akan profesinya sebagai penjual makanan yang harus melayani konsumen dengan baik. Akhirnya kami putuskan untuk berbincang-bincang lebih dengannya di sekolah saja. Keesokan hari, kami mulai perbincangan itu untuk mengetahui seluk-beluk riwayat hidupnya. Sosok yang tak pernah pantang menyerah dalam menghadapi dunia yang semakin kejam ini. Krisis ekonomi, yach itulah masalahnya. Tak ada seorangpun yang dapat memungkiri bahwa tak ada masalah dalam permasalahan ekonomi, baik itu santri, guru, petani, maupun siswa. Siapapun orangnya entah itu seorang presiden, pasti merasakan kesulitan dalam permasalahan ekonomi, khususnya pendapatan sehari-hari untuk menopang hidupnya. Mungkin yang menjadi perbedaan adalah penghasilannya saja. Sosok inilah yang harus kita contoh, sosok yang tetap bertahan dari zaman dulu sampai saat ini dan tetap setia untuk menekuni profesinya sebagai penjual makanan. Menyerah, tak ada dalam kamus hidupnya. Usaha, usaha, dan usaha, pantang mundur, itulah prinsipnya. Nyi Sa’diyah adalah sosok penjual makanan yang tetap setia menjadi obat kenyamanan lambung, demi lancarnya kelangsungan hidup siswi Madaris 3 Annuqayah, bahkan seluruh kompleks Annuqayah. Siapa yang tak kenal sosok Nyi Sa’diyah. Dia sudah belasan tahun mengabdikan diri untuk menjual makanan di Madaris 3 Annuqayah, selain hobinya yang suka memasak, Ia juga ingin menopang hidupnya sebagai penjual makanan. Dunia pertanian juga ia geluti, namun tak sepenuhnya.

Bu’ Sa’, begitulah panggilan sehari-harinya. Kira-kira pada tahun 1970 dia mulai menekuni profesinya. Pertama, ia mulai menjual “manisan gula” yang ia bawa kesekolahnya. Karena tuntutan orang tua untuk dinikahkan, pendidikannya berhenti sampai kelas 3 MI saja. Dari situlah dia langsung mengembangkan jualannya itu dengan lebih baik. Mulai dari manisan gula, ke makanan yang lebih membutuhkan tenaga untuk mengolahnya. Rujak(ketupat campur kacang ulek) dan makanan lainnya.

Akhirnya sampai sekarang makanan itu tetap menjadi jualan khas beliau. Jadi, jika siswa bilang “yuk beli rujak” maka jangan ditanya lagi mereka akan kemana, pasti mereka berbondong-bondong menuju kekantin bu’ sa’. Dan sekarang dia mulai “meracek” sendiri makanan-makanan yang mungkin sudah kita kenal di luar kepala yaitu campur, ketupat kuah, rujak dan lain-lain. Penghasilan setiap harinya yang ia perolah dinamis, kadang memuaskan hati, kadang membuat hatinya bertanya “ sengko’ tak ngerteh jha’ arapah? Apah keng nak- kanak apasah yeh..”, sambil mengulek sambel rujak ketika kami tanya tentang kebingungannya terhadap penghasilannya yang selalu berubah. Namun ia tetap bersyukur karena telah diberikan pekerjaan seperti ini “bhang tembhang sengko tak alakoh bing” jawabnya penuh semangat dengan senyum mengembang dari bibir sayunya yang menunjukkan beliau adalah sosok gadis cantik ketika masa mudanya, namun sekarang kecantikannya itu sudah termakan usia.

Tempat ia menjualpun sebelumnya sempat berpindah-pindah, pertama ia menjual di bara’ laok(Kawasan Madaris 1 sekarang) katanya, ketika itu masih lembaga MI saja tak ada MA, Mts dan STIKA seperti sekarang ini. Perawakannya yang menunjukkan usia yang sudah tua tak dapat mencegah profesi uniknya ini untuk berjualan di Madaris 3 Annuqayah. Dia harus mempersiapkan semuanya, sehari sebelum berjualan, dan dia tidak hanya berjualan di Madaris 3 ini saja, ia juga menyebarkan gorengan-gorengannya ketoko-toko atau warung lain, sebagai tambahan penghasilan.

Wanita yang tidak mempunyai seorang anakpun ini, merasa sangat santai sekali menekuni profesi yang sekarang ia geluti. Seperti tak ada beban. Namun sebagai sunnatullah, yang paling mengesankan baginya ketika dia harus bangun pagi untuk mempersiapkan jualannya.

Anak-anak sedikit kesal terhadap sikapnya yang agak pelit, terutama terhadap sambal ulegnya, pasti ketika anak-anak akan minta sambel ulegnya, kalimat yang akan terlontar dari beliau “duh... ja’ nya’ bennya’ cabbih larang nak”. Memang ketika pernyataanya sesuai dengan fakta, anak-anak akan memakluminya, namun ketika beliau dianggap mengarang, maka tidak segan-segan mereka mengambil sambel uleg sebanyak mungkin. Akan tetapi Siswa juga tidak akan dapat memungkiri akan jasanya yang begitu besar. “Tanpa beliau, proses belajar akan amburadul, soalnya laper sich”, kata Rara dan I2m siswi kelas XI SMA 3 Annuqayah ketika ditanya tentang jasa nyi Sa’diyah. Masalah enaknya masakan bu’sa’ jangan ditanya, semua siswi suka pada masakannya, namun bukan berarti makanannya setiap hari laku terjual, disebabkan uang saku siswa yang rata-rata status ekonomi murid Madaris 3 Annuqayah kelas menengah kebawah, kalaupun ada yang lebih, paling hanya sedikit. Dan biasanya, persaingan perdagangan yang terjadi di Madaris 3, karena tidak hanya beliau yang berjualan, Mbak Tin itulah panggilan anak-anak terhadap penjual makanan yang sedikit banyak menyaingi Bu’ Sa’.

Sekitar pukul setengah tujuh dia sudah mulai mengantarkan jualannya kesekolah kami, namun dia tidak mengantarkan sendiri, dia menyuruh tetangga dekatnya, Nyi Rahma untuk mengantarkan jualannya. Dengan begitu Bu’ Sa’diyah menjadi sedikit ringan dalam hal angkut mengangkut jualannya ke sekolah. Namun ketika sudah pulang dia tetap harus mengangkut jualannya sendiri karena Nyi Rahma juga masih punya pekerjaan yang juga harus diselesaikan sebagai petani.

Sebuah profesi yang unik dan mengesankan… dan kalimat unik terakhir kami dapatkan “ ja’ kal nakal se ajereh ma’le ta’enga’ sengko’ areya, ja’ dus thodhus mon alakoa. Apah se ekakanah mon ta’ alako.” sebuah kalimat yang menggerakkan hati.


Rahmatin (XI A SMA 3 ANNUQAYAH)


Tidak ada komentar: