Lu’luil
Maknun, XI IPS 1 SMA 3 Annuqayah
Saat ini
aku sedang berada di dalam angkutan umum. Angkutan ini biasa aku tumpangi
ketika pulang sekolah—hanya saja angkutannya berbeda-beda. Hari ini hari Kamis,
ya hari Kamis. Dan sinar matahari benar-benar terik. Meski saat ini aku sedang
memakai seragam coklat lengan panjang, rok panjang, dan kerudung, tapi tetap
saja sinar matahari dengan nakalnya menyengat kulitku.
Angkutan
ini lewat di ‘Pasar Kemis‘, dan ini memang merupakan satu-satunya jalan agar
aku bisa pulang ke rumahku–setidaknya dengan jalur angkutan ini. Sesuai
namanya, pasar ini hanya ada pada hari Kamis, meski tidak seharian. Jam 12
biasanya sudah banyak pedagang yang membereskan dagangannya untuk segera
pulang.
Aku berada
di jok tengah. Dekat jendela. Si sopir pasti dengan sengaja memberhentikan
mobilnya karena masih mau mencari penumpang—atau dia memang sedang menunggu
penumpang. Lalu tiba-tiba dari arah selatan, dari dalam pasar, muncul kuli-kuli
tua yang mengangkut barang dagangan dalam ukuran besar. Aku tahu, itu bukan
pertama kalinya aku lihat. Tapi ada sesuatu yang janggal yang aku rasakan
sehingga aku memutuskan untuk menulis cerita ini.
Ya, benar.
Aku akan bercerita tentang kuli-kuli pasar yang tua itu. Tahukah kau berapa
umurnya? Aku juga tidak tahu pasti, tapi aku bisa menerka berapa usia mereka.
Usianya kurang lebih 60-70 tahun. Tapi kuli-kuli tua itu–lebih tepatnya
kakek-kakek–masih tetap saja memikul beban yang jauh lebih berat dan lebih
besar dari tubuhnya. Beratnya mungkin 6 atau 7 kali tubuh si kakek itu, dan
besarnya–aku sangat yakin–5 atau 6 kali lebih besar dari tubuhnya.
Aku
terkadang berpikir, kenapa mereka masih bekerja sekeras itu? Tidakkah mereka
mempunyai anak atau cucu yang bisa menafkahi mereka? Setidaknya memberi makanan
dan pakaian yang layak untuk mereka. Hah, lagi-lagi keadaan seperti ini
menuntutku untuk berpikir keras.
Apa mereka
bekerja sekeras itu karena ingin mencari rupiah–aku tahu itu—maksudku, mungkin
mereka ingin lebih banyak lagi mendapatkan uang sebelum mereka meninggal? Dan
mereka bisa menitipkan–setidaknya sesuatu yang berharga–kepada anak-cucu mereka
apa yang telah dihasilkannya dari jerih payahnya itu?
Pertanyaanku
memang aneh. Setidaknya aku tahu bahwa di sekitar desa tempat aku tinggal orang-orang
tak kenal kata pensiun. Karena pada umumnya mereka bukan pegawai negeri yang
setelah ‘tiba waktunya‘ bisa menikmati masa tua mereka dengan kucuran uang
hasil pensiunan. Atau mungkin anak-cucu mereka sama kekurangannya, sehingga
untuk mencukupi kebutuhannya mereka harus ‘saling membantu’???
Ketika
menulis paragraf baru ini aku sudah turun dari angkutan dan sedang berada dalam
perjalanan pulang—maksudku jalan kaki. Suasana panas matahari membuatku sedikit
jengkel karena aku sedang sakit sekarang. Lalu aku memutuskan untuk
menyelesaikan tulisan ini—maksudku satu pragraf–dan aku memutuskan untuk
berteduh sebentar di ‘warung kecil’ pinggir sawah.
Warung ini
biasanya ditempati untuk menjaga burung-burung ketika padi yang ditanam petani sedang
berbuah. Dan sekarang–saat aku duduk di sini–padi-padi itu sudah tidak ada,
kini hanya tinggal jerami yang mulai menghitam dan membusuk. Aku mulai menulis
pragraf baru lagi sekarang, dan ini adalah kalimat pertamanya.
Jika
dilihat dari segi ekonomi, keadaan sekarang memang sedang hebat-hebatnya krisis
moneter. Semuanya serba mahal, dan itu tentu sangat menuntut keras orang-orang
untuk bekerja keras. Demi Rupiah! Demi mencukupi kebutuhan hidup mereka.
Kau tahu? Aku
masih berbicara soal ‘kebutuhan’, tidak soal pendidikan, kesehatan, atau hal
lainnya yang lebih rumit daripada itu. Berbicara soal itu, aku jadi teringat
ketika pada suatu ketika aku mengantarkan nenekku ke rumah sakit. Dan lagi-lagi
aku duduk di jok tengah.
Ada
kakek-kakek di jok belakang yang tiba-tiba berbicara mengenai krisis moneter–dan
waktu itu aku berpikir betapa pekanya dia. Dan, satu lagi, dia berbicara
mengenai betapa mahalnya biaya bangku kuliah saat ini.
Suatu saat
nanti aku pasti akan melihat mereka lagi. Mereka yang memangkul beban berat di punggungnya
dan aku akan mengulurkan bantuan kepada mereka, berbagi, dan merasakan
kenikmatan lain yang bisa kurasakan di sudut hati ini.
Semoga.
Aku yakin saat itu akan tiba.
“Gunakan
kepekaan dan insting kita untuk sekadar menoleh pada mereka. Goreskan hati
kalian pada kertas-kertas putih, karena dengan cara seperti itu—setidaknya—kita
akan mengingatkan kawan-kawan kita yang bernasib lebih baik dari mereka. “
--
Maknun MM.
Ketawang
Laok, 2 Mei 2013
13.23 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar