04 Mei 2013

Demi Rupiah!!???


Lu’luil Maknun, XI IPS 1 SMA 3 Annuqayah

Saat ini aku sedang berada di dalam angkutan umum. Angkutan ini biasa aku tumpangi ketika pulang sekolah—hanya saja angkutannya berbeda-beda. Hari ini hari Kamis, ya hari Kamis. Dan sinar matahari benar-benar terik. Meski saat ini aku sedang memakai seragam coklat lengan panjang, rok panjang, dan kerudung, tapi tetap saja sinar matahari dengan nakalnya menyengat kulitku.

Angkutan ini lewat di ‘Pasar Kemis‘, dan ini memang merupakan satu-satunya jalan agar aku bisa pulang ke rumahku–setidaknya dengan jalur angkutan ini. Sesuai namanya, pasar ini hanya ada pada hari Kamis, meski tidak seharian. Jam 12 biasanya sudah banyak pedagang yang membereskan dagangannya untuk segera pulang.

Aku berada di jok tengah. Dekat jendela. Si sopir pasti dengan sengaja memberhentikan mobilnya karena masih mau mencari penumpang—atau dia memang sedang menunggu penumpang. Lalu tiba-tiba dari arah selatan, dari dalam pasar, muncul kuli-kuli tua yang mengangkut barang dagangan dalam ukuran besar. Aku tahu, itu bukan pertama kalinya aku lihat. Tapi ada sesuatu yang janggal yang aku rasakan sehingga aku memutuskan untuk menulis cerita ini.

Ya, benar. Aku akan bercerita tentang kuli-kuli pasar yang tua itu. Tahukah kau berapa umurnya? Aku juga tidak tahu pasti, tapi aku bisa menerka berapa usia mereka. Usianya kurang lebih 60-70 tahun. Tapi kuli-kuli tua itu–lebih tepatnya kakek-kakek–masih tetap saja memikul beban yang jauh lebih berat dan lebih besar dari tubuhnya. Beratnya mungkin 6 atau 7 kali tubuh si kakek itu, dan besarnya–aku sangat yakin–5 atau 6 kali lebih besar dari tubuhnya.

Aku terkadang berpikir, kenapa mereka masih bekerja sekeras itu? Tidakkah mereka mempunyai anak atau cucu yang bisa menafkahi mereka? Setidaknya memberi makanan dan pakaian yang layak untuk mereka. Hah, lagi-lagi keadaan seperti ini menuntutku untuk berpikir keras.

Apa mereka bekerja sekeras itu karena ingin mencari rupiah–aku tahu itu—maksudku, mungkin mereka ingin lebih banyak lagi mendapatkan uang sebelum mereka meninggal? Dan mereka bisa menitipkan–setidaknya sesuatu yang berharga–kepada anak-cucu mereka apa yang telah dihasilkannya dari jerih payahnya itu?

Pertanyaanku memang aneh. Setidaknya aku tahu bahwa di sekitar desa tempat aku tinggal orang-orang tak kenal kata pensiun. Karena pada umumnya mereka bukan pegawai negeri yang setelah ‘tiba waktunya‘ bisa menikmati masa tua mereka dengan kucuran uang hasil pensiunan. Atau mungkin anak-cucu mereka sama kekurangannya, sehingga untuk mencukupi kebutuhannya mereka harus ‘saling membantu’???

Ketika menulis paragraf baru ini aku sudah turun dari angkutan dan sedang berada dalam perjalanan pulang—maksudku jalan kaki. Suasana panas matahari membuatku sedikit jengkel karena aku sedang sakit sekarang. Lalu aku memutuskan untuk menyelesaikan tulisan ini—maksudku satu pragraf–dan aku memutuskan untuk berteduh sebentar di ‘warung kecil’ pinggir sawah.

Warung ini biasanya ditempati untuk menjaga burung-burung ketika padi yang ditanam petani sedang berbuah. Dan sekarang–saat aku duduk di sini–padi-padi itu sudah tidak ada, kini hanya tinggal jerami yang mulai menghitam dan membusuk. Aku mulai menulis pragraf baru lagi sekarang, dan ini adalah kalimat pertamanya.

Jika dilihat dari segi ekonomi, keadaan sekarang memang sedang hebat-hebatnya krisis moneter. Semuanya serba mahal, dan itu tentu sangat menuntut keras orang-orang untuk bekerja keras. Demi Rupiah! Demi mencukupi kebutuhan hidup mereka.

Kau tahu? Aku masih berbicara soal ‘kebutuhan’, tidak soal pendidikan, kesehatan, atau hal lainnya yang lebih rumit daripada itu. Berbicara soal itu, aku jadi teringat ketika pada suatu ketika aku mengantarkan nenekku ke rumah sakit. Dan lagi-lagi aku duduk di jok tengah.

Ada kakek-kakek di jok belakang yang tiba-tiba berbicara mengenai krisis moneter–dan waktu itu aku berpikir betapa pekanya dia. Dan, satu lagi, dia berbicara mengenai betapa mahalnya biaya bangku kuliah saat ini.

Suatu saat nanti aku pasti akan melihat mereka lagi. Mereka yang memangkul beban berat di punggungnya dan aku akan mengulurkan bantuan kepada mereka, berbagi, dan merasakan kenikmatan lain yang bisa kurasakan di sudut hati ini.

Semoga. Aku yakin saat itu akan tiba.

“Gunakan kepekaan dan insting kita untuk sekadar menoleh pada mereka. Goreskan hati kalian pada kertas-kertas putih, karena dengan cara seperti itu—setidaknya—kita akan mengingatkan kawan-kawan kita yang bernasib lebih baik dari mereka. “
                                                                                                -- Maknun MM.                         


Ketawang Laok, 2 Mei 2013
13.23 WIB

Tidak ada komentar: