Lu’luil
Maknun, XI IPS 1 SMA 3 Annuqayah
Hari Sabtu
kemarin, tepatnya pada tanggal 20 April 2013, saya pergi ke kantor sekolah
untuk mengembalikan buku bacaan yang saya pinjam. Kebetulan waktu itu kepala
sekolah ada di sana, sedang mengetik sesuatu—entah apa yang beliau ketik. Lalu
beliau memberi tahu saya bahwa ada buku baru tentang cara bagaimana menulis
fiksi.
Awalnya
Saya tidak begitu tertarik dengan apa yang beliau katakan, karena saya pikir buku
itu pasti sama saja dengan buku yang sebelumnya saya baca; mirip buku pelajaran
Bahasa Indonesia, dan itu benar-benar membosankan.
Tiga
hari sesudah itu saya memutuskan untuk membaca buku yang berjudul Creative
Writing tersebut. Dan apa yang dikatakan buku itu persis dengan apa yang
saya alami ketika sedang mulai menulis. Berpikir menulis yang baik, saya selalu
merasa tidak punya waktu untuk menulis. Parahnya lagi, saya selalu mengedit
sekaligus menulis. Dan itu membuat saya berkata “Cukup! Tak ada lagi menulis.”
Namun,
apa yang dikatakan A.S. Laksana dalam buku berjudul Creative Writing itu
membuat saya ingin segera menulis, menulis, dan menulis. Saya mencoba satu per satu
teknik yang dia ajarkan: menulis cepat dan menggunakan strategi tiga kata.
Awalnya
saya tidak percaya pada teknik ini. Tapi setelah mencoba, saya berhasil membuat
cerita singkat dengan menggunakan tiga kata tersebut. Itu membuat kata-kata
saya mengalir dengan sendirinya. Dan satu hal yang pasti, itu juga karena saya
mau ‘menulis buruk’!!!
Sebelum
membaca buku ini, saya selalu memaksakan diri saya menulis kata-kata yang bagus, kata-kata yang
menakjubkan, kata-kata yang puitis, dan itu membuat saya selalu mencoret kalimat-kalimat
yang sudah saya buat. Apa yang terjadi ? Saya seratus persen merasa tertekan,
pusing, dan itu benar-benar membuat
tulisan saya tidak selesai-selesai–atau lebih tepatnya saya tidak menghasilkan
tulisan apa pun!
Selain
itu, teknik ‘menulis buruk’ membuat saya berani menulis. Saya langsung saja ngocol
menulis semaunya, seperti apa yang dikatakan A.S. Laksana, tidak peduli alurnya
loncat-loncat, kata-katanya amburadul, toh pada akhirnya saya bisa memperbaiki
(mengedit) tulisan saya menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Ada
satu lagi kebiasaan buruk saya; selama ini saya cenderung beranggapan bahwa
menulis itu memerlukan kreativitas tersendiri–sebut saja bakat—dan tidak semua
orang memiliki bakat itu. Hah, betapa frustasinya saya saat itu. Seolah-olah
tidak ada lagi ruang buat saya untuk menulis, dan saya tidak akan pernah bisa
menulis.
Tapi, membaca
buku karya A.S. Laksana itu membuat saya sepenuhnya yakin bahwa menulis itu
tidak perlu bakat, tidak perlu takdir. Apa pun hobi saya, apa pun pekerjaan
saya, apa pun minat saya, saya pasti bisa menulis (dengan baik). Itu hanya soal
disiplin diri saja. Jika saya terus berlatih dan membiasakan diri menulis di mana
pun–di pasar misalnya–itu akan membuat saya bisa menulis.
Buku Creative
Writing ini membuat wawasan mengenai cara penulisan fiksi yang saya miliki
bertambah. Tentang bagaimana menciptakan karakter dalam setiap cerita yang saya
buat, bagaimana saya bisa ‘menghidupkan’ karakter tersebut, apa fungsi dialog
dalam sebuah cerpen/novel, dan sebagainya. Saya juga pernah membuat cerpen dengan meniru
cara orang lain menulis, yaitu diawali dengan pemandangan alam. Dan kalau
dipikir-pikir itu memang membosankan.
Sekarang
saya tak perlu ruwet-ruwet menulis, karena saya merasa bebas. Bebas
sebebas-bebasnya. Terima kasih A.S. Laksana.