Oleh Muhammad-Affan
Merdeka artinya terbebasnya seseorang, suatu bangsa atau negara dari ancaman, intimidasi, dan kendali pihak lain. Dalam konteks kebernegaraan kita, kemerdekaan adalah terbebasnya bangsa Indonesia dari kendali pihak asing. Kita telah meraih kemerdekaan itu beberapa puluh tahun yang lalu. 17 Agustus 2008 tidak lain hanyalah momentum saja. Peringatan 17 Agustus berfungsi sebagai reminder semangat juang para pendahulu agar senantiasa mampu kita terjemahkan dalam tindak laku sehari-hari untuk mengisi ruang kemerdekaan ini. Tugas kita selanjutnya adalah bagaimana agar kemerdekaan ini tidak direnggut lagi oleh pihak lain.
Namun sampai detik ini kita ternyata belum mampu menangkap sepenuhnya makna kemerdekaan itu. Menjelang detik-detik kemenangan, seperti biasa, kita masih lebih banyak menonton seremoni perayaan semu dan hiburan daripada kerja keras gambaran sebuah perjuangan. Sederetan lomba dirayakan serentak di tanah air, mulai dari panjat pinang, lari dalam karung, pindah kelereng, gerak jalan hingga konvoi dan semarak panggung hiburan. Semua hanyut dalam seremoni perayaan semu yang kerontang substansi. Kita masih mengidap low contex culture, seakan-akan semua pekerjaan sudah selesai, tinggal menikmati saja. Sekarang, mari sejenak lupakan semua itu...
Setiap tahun bibir pantai laut kita semakin mengerut, dikeruk, dijual ke negeri seberang. Setiap tahun sektor kelautan kita menderita kerugian puluhan trilyun. Nasib rimba nusantara juga tidak lebih baik. Penebangan liar (illegal logging) dari tahun ke tahun makin menggila. Hingga pada tahun 2000, lahan hutan rusak mencapai 101,73 juta ha. Ratusan ribu hektar lahan konservasi diubah menjadi lahan komoditi untuk lapangan golf, apartemen, vila, perkantoran, rumah dan tanaman komoditi untuk memenuhi perut-perut industri. Kemampuan produksi hutan indonesia setiap tahunnya hanya 40%, sementara kebutuhan produksi mencapai angka 60%(Walhi 2006). Ini artinya setiap tahun sekitar 20% hutan lindung yang ditebang untuk memenuhi tuntutan pasar. Untuk lima pulau besar, yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua menunjukkan luas penutupan hutan telah berkurang seluas ± 1,8 juta ha/tahun setara dengan luas Pulau Jawa. Kerugian negara Rp.30 trilyun pertahun (Menteri kehutanan 2006). Akibatnya, puluhan ribu flora dan fauna musnah dan sejak tahun 1995 pulau Jawa telah mengalami defisit air sebanyak 32,3 miliar meter kubik setiap tahunnya (Badan Planologi Dephut, 2003).
Yang lebih mengherankan, Indonesia sebagai negara penghasil minyak dan gas, hingga saat ini, untuk memenuhi kebutuhan migas dalam negeri saja masih mengimpor. Data yang dikeluarkan oleh Jaringan Advokasi Tambang, Indoneisa memiliki 158 Blok migas. Namun sayangnya, hanya 21 blok dikuasai Pertamina (13%), selebihnya, 137 blok telah dikuasai pihak asing sejak beberapa puluh tahun yang lalu (JATAM,2007).
Keikutsertaan Indonesia dalam OPEC tidak lebih dari melacurkan harga diri bangsa ini untuk kesejahteraan negara lain. Indonesia juga tercatat sebagai Republik hutang. Di bawah IMF, WB, dan ADB, hutang Indonesia mencapai 132 USD atau sekitar Rp.1400 trilyun (Revrisond Baswir dalam Republika, 2007). Untuk membayar beban angsuran pokok dan bunga hutang luar negeri saja, negeri ini harus menyisihkan sepertiga dari APBN. Akibatnya, tarif pelayanan kesehatan (Rumah sakit) dan pendidikan (Sekolah dan Perguruan Tinggi) kita mahalnya minta ampun, sementara kualitasnya tetap anjlok.
Kemerdekaan mengandaikan refleksi, kerja keras, dan perjuangan tanpa henti. Merayakan kemerdekaan cukup sekali saja. Selebihnya, tugas kita selajutnya adalah memperjuangkan agar kemerdekaan yang telah dicapai oleh bangsa ini bisa terus dipertahankan dan dikembangkan demi kualitas hidup bersama yang lebih purna. Merayakan sebuah kemenangan dengan pesta berkali-kali, bahkan berpuluh-puluh kali, merupakan seremoni romantisme sejarah yang usang.
Terasa naif sekali rasanya bila setiap tahun, dari dulu hingga sekatang, Indonesia (hanya) merayakan kemerdekaan. Merayakan an sich, tidak lebih dari itu. Kemerdekaan seharusnya cukup dirayakan sekali saja. Selebihnya tugas kita adalah memperjuangkan kemerdekaan itu. Sampai disini, apakah cukup yakin kita untuk mengaku telah merdeka? Dari sisi mana kita melihatnya?
Muhammad-Affan, guru SMA 3 Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep.