Ulfatul Lu’luah, XII IPA SMA 3 Annuqayah
Senin (26/04) kemarin, aku menjalani pagi yang begitu resah. Tapi, hal ini aku curahkan dengan hanya berdiam diri dan duduk mematung menunggu kepastian. Lamunanku buyar saat Bu Mus’idah terkejut melihat penampilanku yang masih dalam keadaan tidak rapi. Beliau langsung menyuruhku untuk segera berganti pakaian dan akan pergi keliling Annuqayah dan sekitarnya untuk menyebarkan Majalah Teratai, majalah SMA 3 Annuqayah. Rasa resahku sedikit menghilang dari fikiranku. Tapi rasa penasaran dalam hatiku terus bergejolak.
Setelah kami bertiga kembali ke sekolah, aku dan Ummul Corn berangkat lagi untuk menyebarkan majalah kami itu ke SMK Annuqayah Putra. Tapi, berhubung kami tidak tahu jalannya, akhirnya kami kembali ke sekolah.
Sesampainya di pintu gerbang Madaris 3 Annuqayah, hatiku kembali tak tenang dan semakin waswas. Di aula, semua teman kelasku, juga sebagian guru, sudah banyak yang hadir. Terdengar suara Bu Mus’idah saat memberikan pesan dan kesan kepada kami dengan diiringi linangan air mata. Tanpa terasa, air mataku menetes satu persatu. Aku semakin tak berdaya. Pada satu sisi, aku merasa tidak terima karena harus keluar dan akan meninggalkan bangku SMA. Tapi, di sisi lain aku merasa takut. Takut kalau aku tidak lulus.
Sepuluh menit kemudian, pelulusan diumumkan. Dan kami diberi amplop yang isinya adalah pengumuman kelulusan. Nasiruddin, S.E., guru yang mewakili pihak sekolah, lalu memanggil siswa satu persatu dan menyerahkan amplop.
Dan, sampailah pada panggiln yang ke-21: “Ulfatul Lu’luah”. Itu adalah namaku. Aku semakin tak tahu dengan keadaanku sendiri. Pak Nasir menyerahkan amplop kepadaku. Kini amplop itu sudah ada di tanganku. Aku tak berani membukanya, meski sebenarnya itu sudah menjadi hakku untuk membukanya. Aku memegang amplop itu dengan linangan air mata.
Tangisan antara kebahagiaan dan kesedihan. Langsung aku serahkan amplop itu pada salah satu temanku, Eka. Aku terkejut saat dia bilang bahwa aku tidak lulus. Saat itu, rasanya aku ingin mati saja. Kumerasa, tak ada darah yang mengalir dalam tubuhku. Tapi, dia langsung tersenyum dan mengatakan bawa aku lulus. Meski begitu, aku masih tak percaya dan tak yakin akan hal itu.
Dengan membaca basmalah dan shalawat, kubuka amplop putih itu dengan sangat hati-hati.
Saat itu, aku merasa akulah orang yang paling bahagia di dunia. Saat kubaca, dan kulihat bacaan “tidak lulus” dicoret. Seketika itu juga tangisku semakin menjadi. Tangis bahagia karena aku sudah bisa menempuh jalan ini. Dan tangis sedih karena aku akan berpisah dengan teman-temanku yang selama ini telah menemani hari-hariku dengan suka dan duka. Juga tangis sebagai rasa syukurku kepada Tuhan, orang tuaku, dan tak lupa pula pada guruku yang selama ini tidak pernah ada kata-kata jenuh untuk selalu memberiku ilmu. Juga pada Pak Nasir yang telah berjuang mati-matian demi kesuksesanku dan teman-teman yang lain.
Kini, amplop putih itu kusimpan dengan rapi layaknya emas yang tak ternilai harganya. Besok, atau mungkin lusa, kupersembahkan amplop itu pada orang tuaku tercinta.
30 April 2010
28 April 2010
Ada Apa dengan Pohon Mahoni?
Ruka’iyah, siswa XA SMA 3 Annuqayah
Hari Ahad (11/04) yang lalu ada kejadian yang sangat menggemparkan Madaris 3 Annuqayah. Mu’allimah dan Ulfatur Rosyidah, siswa SMA kelas XA SMA 3 Annuqayah, mengalami kejang-kejang dan menjerit-jerit. Hal seperti itu tidak pernah dialami Mu’allimah sebelumnya ketika di sekolah, namun seringkali terjadi di pondoknya. Lain lagi dengan Ulfa yang memang sering mengalami hal itu.
Keanehan itu terjadi ketika Mu’al dan Ulfa (begitu mereka dipanggil) bersama teman-temannya kelas XA sedang mengamati penelitian tentang keanekaragaman mahluk hidup. Penelitian dilakukan di area Madaris 3 Annuqayah. Siswa dibagi 8 kelompok, yang rata-rata terdiri dari 5 orang. Mu’al dan Ulfa yang waktu itu berada dalam satu kelompok mendapat tugas di area belakang pondok Nurul Hikmah. Di tempat itu terdapat pohon besar yang dikenal dengan sebutan pohon mahoni. Konon pohon itu ada penunggunya. Mulai dari tempat itulah kejadian-kejadian aneh terlihat pada kedua siswa tersebut.
Keanehan itu terus berlanjut hingga mereka sampai di kelasnya. Kala itu, Mu’al yang biasanya santun tiba-tiba duduk dengan posisi kaki di atas bangku. Pandangan matanya kosong dan melotot. Tingkahnya yang seperti itu membuat teman-teman yang berada di dekatnya ketakutan. Begitu juga dengan Ulfa, dia sampai lari ke luar kelas.
Suhalifah, yang selama ini dekat dengan keduanya, mengatakan bahwa Ulfa pergi karena Mu’al yang ingin mengajaknya ke suatu tempat. Kemudian Ulfa berlari-lari keluar kelas seolah-olah dia dikejar oleh orang yang tak dikenalnya. Padahal tak ada seorang pun yang mengejarnya. Teman-temannya yang memperhatikan kebingungan melihat sikap Ulfa yang begitu aneh. Begitu pula dengan Mual yang ada di dalam kelas.
Sejak itulah keduanya tidak sadarkan diri. Mu’al menjerit-jerit dengan histeris sambil menangis, begitu pula dengan Ulfa yang berada di teras Lab IPA.
Keanehan itu merupakan penyebab dari adanya jiwa lain yang melekat pada diri kedua siswa tersebut. Begitu kesimpulan awal teman-temannya yang juga dibenarkan KH Ahmad Hazim, salah satu guru SMA 3 Annuqayah. Kemudian teman-temannya reflek membacakan ayat kursi, tetapi tidak begitu berpengaruh. Keduanya tetap menjerit-jerit, sehingga membuat K Hazim turun langsung menanganinya, tetapi hanya mampu memulihkan sebentar saja. Dan setelah itu mereka kambuh lagi.
Peristiwa itu menjadi pusat perhatian siswa dan guru serta semua yang ada di sekitar lingkungan Madaris 3. Tak lama kemudian orang tua siswa tersebut datang menjemputnya walaupun keadaan siswa tersebut tidak begitu stabil.
Ketika Mu’al sudah siuman tanpa sengaja dia menceritakan asal mula kejadian yang menimpa dirinya. Menurut Mu’al, ketika dia meneliti di sekitar lingkungan Nurul Hikmah, tanpa sadar ada orang yang memanggilnya, tepatnya di bawah pohon mahoni. Kemudian dia pergi ke bawah pohon mahoni itu walaupun belum tahu pasti siapa yang memanggilnya. Begitulah seingat Mu’al yang masih dalam keadaan lemah.
Dua hari berturut-turut Mu’al selalu bersikap aneh. Kadang bicara sendiri. Dan ketika ada temannya yang melihat, spontan Mu’al berkata, “Apa terro ka sengko' be’en?” Mu’al baru sadar sepenuhnya hari Jum’at. Sedangkan Ulfa tidak masuk kelas hingga satu minggu.
Hari Ahad (11/04) yang lalu ada kejadian yang sangat menggemparkan Madaris 3 Annuqayah. Mu’allimah dan Ulfatur Rosyidah, siswa SMA kelas XA SMA 3 Annuqayah, mengalami kejang-kejang dan menjerit-jerit. Hal seperti itu tidak pernah dialami Mu’allimah sebelumnya ketika di sekolah, namun seringkali terjadi di pondoknya. Lain lagi dengan Ulfa yang memang sering mengalami hal itu.
Keanehan itu terjadi ketika Mu’al dan Ulfa (begitu mereka dipanggil) bersama teman-temannya kelas XA sedang mengamati penelitian tentang keanekaragaman mahluk hidup. Penelitian dilakukan di area Madaris 3 Annuqayah. Siswa dibagi 8 kelompok, yang rata-rata terdiri dari 5 orang. Mu’al dan Ulfa yang waktu itu berada dalam satu kelompok mendapat tugas di area belakang pondok Nurul Hikmah. Di tempat itu terdapat pohon besar yang dikenal dengan sebutan pohon mahoni. Konon pohon itu ada penunggunya. Mulai dari tempat itulah kejadian-kejadian aneh terlihat pada kedua siswa tersebut.
Keanehan itu terus berlanjut hingga mereka sampai di kelasnya. Kala itu, Mu’al yang biasanya santun tiba-tiba duduk dengan posisi kaki di atas bangku. Pandangan matanya kosong dan melotot. Tingkahnya yang seperti itu membuat teman-teman yang berada di dekatnya ketakutan. Begitu juga dengan Ulfa, dia sampai lari ke luar kelas.
Suhalifah, yang selama ini dekat dengan keduanya, mengatakan bahwa Ulfa pergi karena Mu’al yang ingin mengajaknya ke suatu tempat. Kemudian Ulfa berlari-lari keluar kelas seolah-olah dia dikejar oleh orang yang tak dikenalnya. Padahal tak ada seorang pun yang mengejarnya. Teman-temannya yang memperhatikan kebingungan melihat sikap Ulfa yang begitu aneh. Begitu pula dengan Mual yang ada di dalam kelas.
Sejak itulah keduanya tidak sadarkan diri. Mu’al menjerit-jerit dengan histeris sambil menangis, begitu pula dengan Ulfa yang berada di teras Lab IPA.
Keanehan itu merupakan penyebab dari adanya jiwa lain yang melekat pada diri kedua siswa tersebut. Begitu kesimpulan awal teman-temannya yang juga dibenarkan KH Ahmad Hazim, salah satu guru SMA 3 Annuqayah. Kemudian teman-temannya reflek membacakan ayat kursi, tetapi tidak begitu berpengaruh. Keduanya tetap menjerit-jerit, sehingga membuat K Hazim turun langsung menanganinya, tetapi hanya mampu memulihkan sebentar saja. Dan setelah itu mereka kambuh lagi.
Peristiwa itu menjadi pusat perhatian siswa dan guru serta semua yang ada di sekitar lingkungan Madaris 3. Tak lama kemudian orang tua siswa tersebut datang menjemputnya walaupun keadaan siswa tersebut tidak begitu stabil.
Ketika Mu’al sudah siuman tanpa sengaja dia menceritakan asal mula kejadian yang menimpa dirinya. Menurut Mu’al, ketika dia meneliti di sekitar lingkungan Nurul Hikmah, tanpa sadar ada orang yang memanggilnya, tepatnya di bawah pohon mahoni. Kemudian dia pergi ke bawah pohon mahoni itu walaupun belum tahu pasti siapa yang memanggilnya. Begitulah seingat Mu’al yang masih dalam keadaan lemah.
Dua hari berturut-turut Mu’al selalu bersikap aneh. Kadang bicara sendiri. Dan ketika ada temannya yang melihat, spontan Mu’al berkata, “Apa terro ka sengko' be’en?” Mu’al baru sadar sepenuhnya hari Jum’at. Sedangkan Ulfa tidak masuk kelas hingga satu minggu.
27 April 2010
Kisah Haru Biru Terbitnya Teratai
Nurul Elmi, siswa XII IPA SMA 3 Annuqayah
Selasa (20/04) yang lalu, ba’da Isya’, Ummul Corn—salah satu kru Majalah Teratai—mendapat kabar dari Mus’idah Amien, guru SMA 3 Annuqayah, bahwa Majalah Teratai sudah selesai dicetak dan sudah dikirimkan oleh percetakan di Surabaya. Mus’idah juga memberi kabar bahwa sejak sore itu Majalah Teratai sedang dalam bahaya: terkatung-katung di tangan seorang penarik becak di Prenduan.
Saat itu pula kru Teratai langsung mengadakan rapat kecil-kecilan karena kebetulan beberapa kru sedang berkumpul, karena saat itu adalah malam pertama kegiatan OPTIMA 3 SMA 3 Annuqayah. Kami sempat merasa khawatir bagaimana jika seandainya ada yang mencuri atau sengaja merusak. Apalagi Mus’dah sedang sibuk sehingga tidak bisa meenjemputnya ke Prenduan.
Dengan beberapa pertimbangan akhirnya Mus’idah meminta bantuan Fahmi, salah satu santri Latee putra, untuk mengambilnya dari seorang penarik becak di Prenduan. Di tengah perasaan khawatir yang mendera, kami merasa sangat bahagia akhirnya Teratai terbit juga. Rasa puas atas beberapa rintangan yang menghadang lunas sudah.
Yang kami herankan mengapa percetakan begitu percaya kepada kami padahal kami belum membayar lunas biaya cetaknya. “Ini barokah dari perjuangan kita,” komentar Siti Nujaimatur Ruqayyah sambil tertawa. Beberapa orang kru sampai tidak tidur demi menunggu kabar selanjutnya. Tak lupa kami bersyukur karena bapak penarik becak itu begitu sabar menjaga Majalah Teratai dan Fahmi mau menolong kami dengan ikhlas. “Semoga tukang becaknya dan Fahmi diberi pahala yang besar oleh Allah,” ungkap Ummul Corn sambil menengadahkan tangannya layaknya orang berdoa.
Rasa khawatir dan deg-degan karena ingin cepat-cepat melihat wujud Teratai akhirnya terbayar keesokan harinya ketika Fahmi mengantarkan Teratai ke sekolah kami tanpa cacat sedikit pun. Ummul Corn dan Siti Nujaimah langsung menemui Fahmi ke kantor untuk berterima kasih sekaligus ingin melihat seperti apa wujud Teratai. Asna yang menjabat sebagai staf artistik Teratai tak sabar ingin melihat sampai bertariak-teriak histeris. “ Hore… Teratai terbit ,” katanya sambil berteriak histeris.
Meski ada sedikit kesalahan pada konsep sampul dan dalam keterangan rubrik Potret serta nama tokoh di rubrik cerpen tapi kami tidak kecewa. Ini karya kami! Di tengah-tengah waktu luang, kami mulai membenahi kesalahan-kesalahan itu sepert membuat catatan lain di rubrik Potret dan mengubah salah satu nama tokoh yang salah di rubrik Cerpen.
Keesokan harinya kembali terdengar kabar yang begitu menghancurleburkan benteng pertahanan kami. Betapa tidak, harga dari percetakan yang awalanya kami yakini bahwa satu eks Teratai terhitung cuma Rp 3.750,- ternyata Rp 5.300,-. Kami seperti di sambar petir, mengingat dana yang kami punya terbatas. “Bayar dengan apa ini kita jika semahal itu,” ujar Mus’idah pada teman-teman kru.
Hari Sabtu (24/04) kemarin, kru Teratai mengundang Afnan, lay-outer Teratai, untuk melakukan pertemuan dengan kami karena kami merasa bingung dalam menentukan harga. Dalam pertemuan itu kami menyepakati bahwa Teratai akan dijual dengan harga Rp 10.000,- untuk siswa SMA 3 Annuqayah sendiri dan Rp 7.000,- untuk yang lain. Dalam pertemuan itu kami juga mulai mengatur distribusi Teratai. Ada 7 lembaga di lingkungan Annuqayah yang memang telah menjadi mitra distribusi Teratai sejak edisi pertama. Selain itu ada sekitar 10 lembaga mitra Teratai di luar Annuqayah.
Malam harinya setelah selesai menentukan harga dan jalur distribusi, kru Teratai langsung menghitung dan mengira-ngira berapa jumlah Teratai yang akan disebarkan di berbagai tempat itu, dilanjutkan dengan membuat pamflet sebagai media promosi yang akan disebar di tempat-tempat tertentu sampai mata kami tak mampu lagi terbuka. Saat-saat mengkhawatirkan, mengharukan, dan membahagiakan sampai pada peristiwa lembur malam itu sampai saat ini tak kunjung beranjak dari memori kami, menyisakan ribuan rasa yang sulit dibahasakan.
Sampai saat ini, distribusi Teratai baru sampai pada tiga sekolah yang semuanya masih di lingkungan Annuqayah, karena sebagian kru yang notabene kelas akhir masih menunggu pelulusan dan lepas pisah siswa kelas akhir bersama di PP Annuqayah pusat. Rencananya sebelum bulan Mei semuanya sudah harus selesai didistribusikan karena Teratai terbit bulan April. “Biar tidak basi harus cepat didistribusikan,” ujar Mus’idah pada kami dengan semangat.
Selasa (20/04) yang lalu, ba’da Isya’, Ummul Corn—salah satu kru Majalah Teratai—mendapat kabar dari Mus’idah Amien, guru SMA 3 Annuqayah, bahwa Majalah Teratai sudah selesai dicetak dan sudah dikirimkan oleh percetakan di Surabaya. Mus’idah juga memberi kabar bahwa sejak sore itu Majalah Teratai sedang dalam bahaya: terkatung-katung di tangan seorang penarik becak di Prenduan.
Saat itu pula kru Teratai langsung mengadakan rapat kecil-kecilan karena kebetulan beberapa kru sedang berkumpul, karena saat itu adalah malam pertama kegiatan OPTIMA 3 SMA 3 Annuqayah. Kami sempat merasa khawatir bagaimana jika seandainya ada yang mencuri atau sengaja merusak. Apalagi Mus’dah sedang sibuk sehingga tidak bisa meenjemputnya ke Prenduan.
Dengan beberapa pertimbangan akhirnya Mus’idah meminta bantuan Fahmi, salah satu santri Latee putra, untuk mengambilnya dari seorang penarik becak di Prenduan. Di tengah perasaan khawatir yang mendera, kami merasa sangat bahagia akhirnya Teratai terbit juga. Rasa puas atas beberapa rintangan yang menghadang lunas sudah.
Yang kami herankan mengapa percetakan begitu percaya kepada kami padahal kami belum membayar lunas biaya cetaknya. “Ini barokah dari perjuangan kita,” komentar Siti Nujaimatur Ruqayyah sambil tertawa. Beberapa orang kru sampai tidak tidur demi menunggu kabar selanjutnya. Tak lupa kami bersyukur karena bapak penarik becak itu begitu sabar menjaga Majalah Teratai dan Fahmi mau menolong kami dengan ikhlas. “Semoga tukang becaknya dan Fahmi diberi pahala yang besar oleh Allah,” ungkap Ummul Corn sambil menengadahkan tangannya layaknya orang berdoa.
Rasa khawatir dan deg-degan karena ingin cepat-cepat melihat wujud Teratai akhirnya terbayar keesokan harinya ketika Fahmi mengantarkan Teratai ke sekolah kami tanpa cacat sedikit pun. Ummul Corn dan Siti Nujaimah langsung menemui Fahmi ke kantor untuk berterima kasih sekaligus ingin melihat seperti apa wujud Teratai. Asna yang menjabat sebagai staf artistik Teratai tak sabar ingin melihat sampai bertariak-teriak histeris. “ Hore… Teratai terbit ,” katanya sambil berteriak histeris.
Meski ada sedikit kesalahan pada konsep sampul dan dalam keterangan rubrik Potret serta nama tokoh di rubrik cerpen tapi kami tidak kecewa. Ini karya kami! Di tengah-tengah waktu luang, kami mulai membenahi kesalahan-kesalahan itu sepert membuat catatan lain di rubrik Potret dan mengubah salah satu nama tokoh yang salah di rubrik Cerpen.
Keesokan harinya kembali terdengar kabar yang begitu menghancurleburkan benteng pertahanan kami. Betapa tidak, harga dari percetakan yang awalanya kami yakini bahwa satu eks Teratai terhitung cuma Rp 3.750,- ternyata Rp 5.300,-. Kami seperti di sambar petir, mengingat dana yang kami punya terbatas. “Bayar dengan apa ini kita jika semahal itu,” ujar Mus’idah pada teman-teman kru.
Hari Sabtu (24/04) kemarin, kru Teratai mengundang Afnan, lay-outer Teratai, untuk melakukan pertemuan dengan kami karena kami merasa bingung dalam menentukan harga. Dalam pertemuan itu kami menyepakati bahwa Teratai akan dijual dengan harga Rp 10.000,- untuk siswa SMA 3 Annuqayah sendiri dan Rp 7.000,- untuk yang lain. Dalam pertemuan itu kami juga mulai mengatur distribusi Teratai. Ada 7 lembaga di lingkungan Annuqayah yang memang telah menjadi mitra distribusi Teratai sejak edisi pertama. Selain itu ada sekitar 10 lembaga mitra Teratai di luar Annuqayah.
Malam harinya setelah selesai menentukan harga dan jalur distribusi, kru Teratai langsung menghitung dan mengira-ngira berapa jumlah Teratai yang akan disebarkan di berbagai tempat itu, dilanjutkan dengan membuat pamflet sebagai media promosi yang akan disebar di tempat-tempat tertentu sampai mata kami tak mampu lagi terbuka. Saat-saat mengkhawatirkan, mengharukan, dan membahagiakan sampai pada peristiwa lembur malam itu sampai saat ini tak kunjung beranjak dari memori kami, menyisakan ribuan rasa yang sulit dibahasakan.
Sampai saat ini, distribusi Teratai baru sampai pada tiga sekolah yang semuanya masih di lingkungan Annuqayah, karena sebagian kru yang notabene kelas akhir masih menunggu pelulusan dan lepas pisah siswa kelas akhir bersama di PP Annuqayah pusat. Rencananya sebelum bulan Mei semuanya sudah harus selesai didistribusikan karena Teratai terbit bulan April. “Biar tidak basi harus cepat didistribusikan,” ujar Mus’idah pada kami dengan semangat.
12 April 2010
Siswa Pusing Tentukan Jurusan
Ruka’iyah, siswa kelas X A SMA 3 Annuqayah
Para siswa SMA 3 Annuqayah khususnya kelas X saat ini sudah mulai sibuk untuk menentukan jurusan apa yang akan dipilih. Survei yang dilakukan pada hari Rabu (07/04) kemarin membuktikan bahwa 65% siswa berminat mengambil jurusan IPA dan 35% siswa berminat mengambil jurusan IPS.
Yang menjadi keluh kesah siswa kelas X ialah mereka khawatir apabila mengambil jurusan IPA khawatir nantinya tidak mampu. Beberapa siswa yang akan mengambil jurusan IPA juga mengatakan bahwa mereka memilih atas dasar keinginannya sendiri dan ingin mendalami ilmu tentang alam serta ingin mengejar cita-cita.
Begitu pula dengan siswa yang akan mengambil jurusan IPS. Mereka mengaku memilih atas dasar keinginannya sendiri dan ingin mendalami ilmu tentang sosial serta ingin menggapai mimpi mereka. Salah satu siswa kelas X yang bernama Hayyul Farida mengatakan bahwa dia ingin mengambil jurusan IPA karena menurut dia itu akan memudahkannya untuk mencari pekerjaan ataupun melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
“Buat teman-teman yang ingin mengambil jurusan IPS, jangan sampai putus asa dulu, kita juga bisa seperti teman-teman kita yang mengambil jurusan IPA. Bahkan kita juga bisa unggul dari mereka. Asalkan mempunyai semangat belajar yang besar, dan tentunya juga memiliki niat yang sungguh-sungguh,” tutur Ernawati, siswa kelas X.
Masalah pengambilan jurusan ini juga menuai beberapa kisah. Di antaranya kisah saudara kembar Ana dan Ani yang tak mau satu jurusan. Mereka sampai beradu mulut mengenai hal ini.
Yang menjadi problem, salah satu di antara mereka tidak setuju apabila satu jurusan, sehingga membuat salah satu di antara mereka membujuk kembarannya untuk mengambil jurusan yang lain. Awalnya mereka tidak ingin saling mengalah. Tapi setelah dipertemukan oleh guru BK, salah satu di antara mereka berkata, “Jika saya dan Ani satu jurusan, saya akan pindah ke jurusan yang lain. Apa pun risikonya,” ungkap Ana.
Menurut salah satu temannya, mereka tidak ingin selalu bersama, dikarenakan trauma pada masa SMP-nya. Masalahnya sepele, yaitu guru dan teman-temannya selalu tertukar ketika memanggilnya karena wajah mereka yang begitu mirip.
Para siswa SMA 3 Annuqayah khususnya kelas X saat ini sudah mulai sibuk untuk menentukan jurusan apa yang akan dipilih. Survei yang dilakukan pada hari Rabu (07/04) kemarin membuktikan bahwa 65% siswa berminat mengambil jurusan IPA dan 35% siswa berminat mengambil jurusan IPS.
Yang menjadi keluh kesah siswa kelas X ialah mereka khawatir apabila mengambil jurusan IPA khawatir nantinya tidak mampu. Beberapa siswa yang akan mengambil jurusan IPA juga mengatakan bahwa mereka memilih atas dasar keinginannya sendiri dan ingin mendalami ilmu tentang alam serta ingin mengejar cita-cita.
Begitu pula dengan siswa yang akan mengambil jurusan IPS. Mereka mengaku memilih atas dasar keinginannya sendiri dan ingin mendalami ilmu tentang sosial serta ingin menggapai mimpi mereka. Salah satu siswa kelas X yang bernama Hayyul Farida mengatakan bahwa dia ingin mengambil jurusan IPA karena menurut dia itu akan memudahkannya untuk mencari pekerjaan ataupun melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
“Buat teman-teman yang ingin mengambil jurusan IPS, jangan sampai putus asa dulu, kita juga bisa seperti teman-teman kita yang mengambil jurusan IPA. Bahkan kita juga bisa unggul dari mereka. Asalkan mempunyai semangat belajar yang besar, dan tentunya juga memiliki niat yang sungguh-sungguh,” tutur Ernawati, siswa kelas X.
Masalah pengambilan jurusan ini juga menuai beberapa kisah. Di antaranya kisah saudara kembar Ana dan Ani yang tak mau satu jurusan. Mereka sampai beradu mulut mengenai hal ini.
Yang menjadi problem, salah satu di antara mereka tidak setuju apabila satu jurusan, sehingga membuat salah satu di antara mereka membujuk kembarannya untuk mengambil jurusan yang lain. Awalnya mereka tidak ingin saling mengalah. Tapi setelah dipertemukan oleh guru BK, salah satu di antara mereka berkata, “Jika saya dan Ani satu jurusan, saya akan pindah ke jurusan yang lain. Apa pun risikonya,” ungkap Ana.
Menurut salah satu temannya, mereka tidak ingin selalu bersama, dikarenakan trauma pada masa SMP-nya. Masalahnya sepele, yaitu guru dan teman-temannya selalu tertukar ketika memanggilnya karena wajah mereka yang begitu mirip.
11 April 2010
Dampingi Siswa Meniti Jalan Cinta
Ummul Karimah, siswa XII IPA SMA 3 Annuqayah
GULUK-GULUK—OSIS SMA 3 Annuqayah mengadakan acara seminar yang bertajuk “Inikah Rasanya Cinta?” pada hari Sabtu (10/04) kemarin. Acara ini membuat gempar Madaris 3 Annuqayah. Perbincangan siswa di kantin, halaman, dan di kelas terfokus pada acara tersebut.
Sejumlah guru pun ikut bertanya-tanya mengapa mengangkat tema tentang cinta. Novi, selaku ketua panitia dalam acara tersebut, menjelaskan bahwa acara OSIS kali ini benar-benar menyedot perhatian dari berbagai kalangan.
Novi juga menuturkan bahwa acara tersebut diharapkan dapat bermanfaat dalam menuntun siswa menjalani masa remaja dengan positif. “Lebih-lebih saat teman-teman terjangkit virus merah jambu,” tambahnya seraya tersenyum-senyum.
Acara tersebut sebenarnya akan dilaksanakan pada hari Kamis (08/04) kemarin dengan mengundang Ny Achoe Sunhiyah Misya sebagai fasilitator, namun kemudian ditunda pada hari Sabtu.
Acara yang dimulai pada pukul 08.15 WIB dan bertempat di Aula Utama Madaris 3 Anuuqayah itu dihadiri oleh kurang lebih 50 siswa SMA 3 dan 15 siswa MTs 3 Annuqayah. Nyi Achoe, sapaan akrab dari Ny Achoe Sunhiyah, telah berhasil meyihir ruangan menjadi penuh cinta oleh puisi karya Kahlil Ghibran yang dibacakan beliau pada saat memberi pengantar dalam seminar tersebut.
Siswa dibuatnya menganga oleh penuturannya yang mengetuk-ngetuk hati. Hal ini diakui oleh Qurratul Aini, ketua OSIS SMA 3 Annuqayah, yang mengatakan bahwa setiap kalimat yang keluar membuat hatinya mendesir-desir. “Saya menjadi terhanyut,” katanya.
Hujan yang amat deras tak menjadi kendala bagi acara tersebut. Sejumlah siswa tetap aktif dan berebut untuk bertanya dalam dialog yang panjang. Pertanyaan mereka bervariasi; ada yang bertanya tentang soulmate, tentang cinta monyet dengan cinta pertama, dan ada pula yang bercurhat untuk meminta peta ke mana mereka akan membawa cintanya.
Dalam pemaparannya, Nyi Achoe tak hanya menyampaikan beberapa hal yang amat penting untuk dijadikan pedoman oleh siswa Madaris 3 Annuqayah, tetapi beliau juga sempat bercerita tentang masa lalunya, saat beliau remaja dan merasakan cinta untuk pertama kali.
Beliau juga membahas tentang tingkatan cinta yakni: cinta kapitalis, cinta platonis, dan cinta ilahiyah. Selain itu beliau selalu menekankan pesannya agar siswa dapat mengekspresikan cintanya pada hal-hal yang positif yang bisa mendorong mereka untuk rajin belajar, beribadah, dan berkarya. “Karena terkadang kita bisa bertemu dengan Tuhan saat kita merasakan cinta,” pungkasnya.
GULUK-GULUK—OSIS SMA 3 Annuqayah mengadakan acara seminar yang bertajuk “Inikah Rasanya Cinta?” pada hari Sabtu (10/04) kemarin. Acara ini membuat gempar Madaris 3 Annuqayah. Perbincangan siswa di kantin, halaman, dan di kelas terfokus pada acara tersebut.
Sejumlah guru pun ikut bertanya-tanya mengapa mengangkat tema tentang cinta. Novi, selaku ketua panitia dalam acara tersebut, menjelaskan bahwa acara OSIS kali ini benar-benar menyedot perhatian dari berbagai kalangan.
Novi juga menuturkan bahwa acara tersebut diharapkan dapat bermanfaat dalam menuntun siswa menjalani masa remaja dengan positif. “Lebih-lebih saat teman-teman terjangkit virus merah jambu,” tambahnya seraya tersenyum-senyum.
Acara tersebut sebenarnya akan dilaksanakan pada hari Kamis (08/04) kemarin dengan mengundang Ny Achoe Sunhiyah Misya sebagai fasilitator, namun kemudian ditunda pada hari Sabtu.
Acara yang dimulai pada pukul 08.15 WIB dan bertempat di Aula Utama Madaris 3 Anuuqayah itu dihadiri oleh kurang lebih 50 siswa SMA 3 dan 15 siswa MTs 3 Annuqayah. Nyi Achoe, sapaan akrab dari Ny Achoe Sunhiyah, telah berhasil meyihir ruangan menjadi penuh cinta oleh puisi karya Kahlil Ghibran yang dibacakan beliau pada saat memberi pengantar dalam seminar tersebut.
Siswa dibuatnya menganga oleh penuturannya yang mengetuk-ngetuk hati. Hal ini diakui oleh Qurratul Aini, ketua OSIS SMA 3 Annuqayah, yang mengatakan bahwa setiap kalimat yang keluar membuat hatinya mendesir-desir. “Saya menjadi terhanyut,” katanya.
Hujan yang amat deras tak menjadi kendala bagi acara tersebut. Sejumlah siswa tetap aktif dan berebut untuk bertanya dalam dialog yang panjang. Pertanyaan mereka bervariasi; ada yang bertanya tentang soulmate, tentang cinta monyet dengan cinta pertama, dan ada pula yang bercurhat untuk meminta peta ke mana mereka akan membawa cintanya.
Dalam pemaparannya, Nyi Achoe tak hanya menyampaikan beberapa hal yang amat penting untuk dijadikan pedoman oleh siswa Madaris 3 Annuqayah, tetapi beliau juga sempat bercerita tentang masa lalunya, saat beliau remaja dan merasakan cinta untuk pertama kali.
Beliau juga membahas tentang tingkatan cinta yakni: cinta kapitalis, cinta platonis, dan cinta ilahiyah. Selain itu beliau selalu menekankan pesannya agar siswa dapat mengekspresikan cintanya pada hal-hal yang positif yang bisa mendorong mereka untuk rajin belajar, beribadah, dan berkarya. “Karena terkadang kita bisa bertemu dengan Tuhan saat kita merasakan cinta,” pungkasnya.
Langganan:
Postingan (Atom)