M Mushthafa, fasilitator/pendamping Tim Sampah Plastik School Climate Challenge Competition British Council SMA 3 Annuqayah
Hari Kamis (21/5) kemarin, sekolah tempat saya mengajar kedatangan rombongan tamu dari dua sekolah di Pamekasan berlatar pesantren. Rombongan itu terdiri dari sebelas murid dan tiga orang guru.
Kunjungan ini bermula dari sebuah pertemuan tak disengaja di sebuah acara di Bangkalan akhir bulan lalu. Saat itu, saya bersama beberapa rekan sedang menghadiri acara Sosialisasi Program Ekopesantren yang diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup RI. Di acara itu saya bertemu dengan seorang teman lama yang sekarang mengajar di sebuah sekolah di Pamekasan. Teman saya tertarik melihat tas yang saya gunakan saat itu: tas yang dibuat dari sampah plastik karya kreatif murid-murid saya di sekolah. Setelah bercerita singkat tentang riwayat dan asal-usul tas itu, teman saya menyatakan ketertarikannya untuk berkunjung ke sekolah saya membawa murid-muridnya untuk berbagi cerita tentang pengalaman bergiat di aktivitas peduli lingkungan.
Acara kunjungan kemarin berlangsung selama sekitar lebih dari tiga jam. Saat rombongan datang, saya masih sedang dalam perjalanan dari Karduluk. Mereka memang tiba lebih awal dari jadwal yang dijanjikan. Sambil menunggu kedatangan saya, rombongan melihat-lihat markas Tim Proyek Lomba School Climate Challenge (SCC) SMA 3 Annuqayah di sekolah. Secara khusus mereka melihat hasil kreasi tas yang dibuat anak-anak dari sampah plastik. Karena salah satu sekolah dari rombongan tersebut adalah SMK yang juga belajar tata busana alias jahit-menjahit, perbincangan tampak begitu nyambung. Saat mereka sedang asyik berbincang dengan Tim Sampah Plastik SCC pada khususnya, saya tiba di sekolah.
Saya langsung menuju ke teman saya yang ternyata menjabat sebagai Waka Kesiswaan di sekolahnya. Saya sempat terkejut karena teman saya yang kenal saat masih kuliah di Jogja itu ternyata membawa rekan guru lainnya yang ternyata adalah kakak angkatan saya saat Aliyah dulu. Dan ternyata teman saya ini menjabat Waka Kurikulum di sekolah yang sama. Jadilah pertemuan itu semakin hangat dengan cerita-cerita lama.
Setelah rombongan melihat-lihat markas sambil mendokumentasikan melalui kamera, mereka kemudian istirahat sejenak untuk shalat Zhuhur. Baru setelah itu acara sharing dilakukan dengan bertempat di Perpustakaan Madaris 3 Annuqayah.
Acara sharing berlangsung tanpa seremoni yang ketat. Setelah saya memberi pengantar singkat, saya langsung mempersilakan ketua rombongan tamu untuk memberikan kata sambutan. Ali Wasik, teman saya yang menjadi ketua rombongan itu secara ringkas memaparkan latar belakang dan tujuan kunjungan tersebut. Setelah itu, saya kemudian memaparkan secara kronologis berbagai kegiatan peduli lingkungan di sekolah saya, SMA 3 Annuqayah, dengan cukup panjang lebar, termasuk tiga Tim Proyek SCC.
Pemaparan saya dilanjutkan dengan dialog di antara semua yang hadir. Rombongan kemudian menanyakan berbagai detail kegiatan peduli lingkungan kami di sekolah. Tentu saja yang menanggapi tak hanya saya. Empat guru pendamping Tim Proyek SCC selain saya juga hadir di situ. Mereka adalah Ustadz Mahmudi, Syaiful Bahri, serta Ustadzah Mus’idah dan Bekti Utami. Hadir pula Waka Kurikulum sekolah saya, Ustadz Nasiruddin. Demikian juga, seluruh murid anggota tim juga hadir dan membagikan cerita mereka setelah sekitar tiga bulan ini bergiat di aktivitas mereka masing-masing.
Dialog berlangsung selama hampir dua jam. Sambil berdialog, kami menikmati sajian masakan tradisional kreasi murid-murid dari Tim Gula Merah SCC. Hari itu mereka memasak tiga jenis makanan berbahan gula merah: jhemblèng, bhug-ghebug, dan klepon. Rombongan pun akhirnya meninggalkan sekolah kami saat waktu Asar mulai masuk.
Selain kesempatan untuk membagikan pengalaman bergerak di kegiatan peduli lingkungan, saya melihat bahwa kegiatan semacam ini dapat menjadi cikal-bakal bagi terbentuknya jaringan civitas kependidikan peduli lingkungan. Dengan berjejaring, guru-guru dan murid-murid dapat saling berbagi pengalaman, saling mendukung, dan bekerja bersama dengan proyek mereka masing-masing.
Pikiran semacam ini memang sering muncul di benak saya terutama saat mendampingi anak-anak bersosialisasi ke sekolah atau komunitas lain di seantero Sumenep. Saya yakin, kebutuhan akan berjejaring suatu saat akan menjadi sangat penting, agar gerakan yang dilakukan dapat lebih kuat dan berdaya.
Tentu saja jejaring ini mensyaratkan adanya penguatan di masing-masing komunitas. Akan tetapi, dengan beberapa titik komunitas yang relatif sudah cukup kuat, jejaring dapat membantu menyemangati satu komunitas yang masih belum stabil kekuatannya. Apalagi, pengalaman di lapangan tentu akan menghadirkan nuansa permasalahan dan lika-liku yang berbeda. Dengan berjejaring, kesinambungan dan keberlanjutan kegiatan peduli lingkungan di satu komunitas akan mungkin untuk terus didukung oleh simpul jaringan yang dibuat. Tentu saja, sebagai sebuah gerakan, syarat utama yang diperlukan adalah konsistensi.
Menguatkan pendidikan lingkungan di sekolah dari perspektif yang lain sebenarnya juga berarti membawa kurikulum sekolah ke arah yang lebih kontekstual , membumi, dan mengakar dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat tempat murid itu berasal. Di tengah iklim pendidikan formal yang terkesan textbook dan kaku, sungguh kegiatan peduli lingkungan dengan impian akan jaringannya yang kuat akan tampak sebagai sesuatu yang sangat menarik untuk terus ditekuni.
Dikutip dari: http://rindupulang.blogspot.com/2009/05/jejaring-civitas-kependidikan-peduli.html
1 komentar:
SMA3 tercinta belom lama saya tinggal sudah mengalami kmajuan yang sangat pesat.
oh ya kebiasan mask2 disamping lab jangan pernah pu2s ya. abadikan kebiasaan itu
Posting Komentar