26 Mei 2008

Sekali Mendayung, 3 Piala Diraih



Oleh: Ummul Corn

Bumi Sabajarin Guluk-Guluk, gempa tepuk tangan. Ahad (25/Mei/2008) senyum bangga dan tepuk tangan para guru menghiasi lingkungan sekolah Madaris III Annuqayah ketika 3 piala itu diangkat setinggi kepala.
Paramarta—sapaan akrab Paduan Suara (PS) SMA 3 Annuqayah—meraih juara pertama dalam lomba memperingati Hari Kebangkitan Nasional yang diselenggarakan oleh Pondok Pesantren Matlabul Ulum Jambu Lenteng Sumenep.
Para anggota Paramarta telah berhasil mengalahkan beberapa kelompok paduan suara lainnya yang tentunya lebih siap dan lebih mantap. Namun, anggota Paramarta tak pernah kekeringan semangat untuk maju walau lomba ini merupakan lomba yang pertama mereka ikuti.
"Dengan menjadi juara pertama, menurut saya ini adalah awal yang baik untuk terus memupuk semangat kita," tutur salah satu anggota Paramarta sambil memegang erat piala yang mereka raih.
Hingga berita ini ditulis, para anggota Paramarta selalu mengatakan: "Kami sempat hampir kehilangan percaya diri ketika baru tiba di lokasi lomba, karena kostum yang dikenakan kelompok paduan suara lainnya bagus-bagus dan menarik. Sedangkan kami hanya menggunakan kostum putih polos dengan syal merah polos di leher," tambahnya.
Sebagian guru sempat heran bercampur kagum karena anggota Paramarta adalah anggota baru semua: baru berlatih, dan baru pertama ikut lomba. Ternyata mereka berhasil meraih juara pertama. Tapi, apalah arti penafsiran manusia jika Tuhan sudah berkehendak lain.
Tak hanya dalam lomba paduan suara saja prestasi yang siswi SMA 3 Annuqayah raih. Namun, di waktu dan tempat yang sama pula, salah satu siswi SMA 3 Annuqayah meraih juara pertama lomba baca puisi. Namanya Ummul Karimah, siswi X B SMA 3 Annuqayah. Ia berhasil menyisihkan sejumlah siswa dari sekolah lain untuk tidak menempati juara di posisi pertama.
Ia mengaku bahwa lomba puisi kali ini cukup merepotkan. "Isi pengumumannya, panitia sudah menyiapkan naskah. Setelah ditanya, ternyata tidak ada. Saya masih disuruh menyalin teks puisi di majalah dinding 3 menit sebelum lomba dimulai. Dan saya adalah peserta kedua. Sempat dag-dig-dug sih…" tuturnya.
Namun demikian, keberhasilan masih menyertai mereka.
Lain dulu, lain sekarang. Jika tahun lalu siswa MTs 3 Annuqayah gagal mendapat prestasi lomba qiraat dan saritilawah yang diselenggarakan oleh SMPN Tarate Sumenep, maka sekarang tidak lagi. Dalam lomba ini pula, siswi MTs 3 Annuqayah sukses meraih juara pertama lomba qiraat dan saritilawah. "Bagaimana tidak kami tersenyum, hanya dengan bermodal semangat dan rajin berlatih, ternyata kita bisa," tambahnya saat ditemui tim MaRak (Mading Raksasa) Madaris III Annuqayah.
Sejak keberhasilan ini, banyak yang percaya bahwa dengan semangat kita pasti bisa.
"Madaris III Annuqayah, ayo bangun dan jangan tidur lagi!"

13 Mei 2008

Orientasi Pengabdian Siswi SMA 3 Annuqayah

Pada tanggal 12 Mei 2008 di SMA 3 Annuqayah diadakan pembukaan Optima-3 (Orientasi Pengabdian Terapan Intelektual Madaris 3). Acara ini diikuti oleh siswi kelas akhir SMA 3 annuqayah.
Adapun yang melatarbelakangi diadakannya Optima karena ada beberapa masukan dari beberapa guru bahwa setelah mengikuti ujian akhir siswi kelas akhir SMA 3 Annuqayah tidak mempunyai kegiatan. Tujuan lainnya adalah sebagai bekal untuk menghadapi kehidupan dalam masyarakat setelah keluar dari SMA 3Annuqayah .
Kegiatan Optima ini berlangsung selama kurang lebih 38 hari. 12-14 Mei 2008 adalah acara pra-orientasi, meliputi PBB, eksplorasi potensi siswi, dan sharing pengalaman. Selanjutnya adalah kegiatan Orientasi, dengan materi analisis diri, kepesantrenan, pengantar manajemen, pengantar ilmu kependidikan, dan ketatausahaan. Kegiatan Orientasi ini akan dilaksanakan pada 15-19 Mei mendatang.
Baik guru maupun siswi memberikan tanggapan positif terhadap diadakannya Optima,
bahkan sebagian guru mengusulkan tahun depan akan diadakan lagi, tapi tidak hanya di SMA 3, MTs 3 juga diharapkan untuk mengadakan kegiatan seperti ini. Diharapkan, setelah mengikuti Optima, siswi lebih akan lebih siap menghadapi tantangan masa depan setelah lulus SMA.
Setelah kegiatan Orientasi, dilanjutkan dengan magang. Siswi diberi pengalaman untuk ikut membantu bergiat di unit-unit kependidikan di lingkungan Madaris 3 Annuqayah, yakni Madrasah Ibtidaiyah 3 Annuqayah, Madrasah Tsanawiyah 3 Annuqayah, SMA 3 Annuqayah, Perpustakaan Madaris 3 Annuqayah, Laboratorium IPA, Lab Komputer (EC) dan Aula Utama Madaris 3 Annuqayah.

Ditulis oleh Husnul Khotimah (XI IPA), Ulfatul Lu’luah (XB), Maltufah (XB).

10 Mei 2008

Mode & Fashion: Ranjau Industri bagi Perempuan

Oleh Amirul Islamiyah, Mega Eka Suciyanti, Ekaturrahmah, Siti Mailah

Berkembangnya modernisasi yang telah mengglobal berangkat dari latar belakang perkembangan IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi). Semakin hari perkembangan teknologi semakin canggih, di mana-mana alat bantu yang sedang digunakan tidak lagi menggunakan tenaga manusia, akan tetapi menggunakan tenaga mesin. Industri banyak dibangun serta arus informasi dan komunikasi sudah banyak dikenal oleh masyarakat banyak. Jika pada zaman dahulu kebanyakan masyarakat yang masih gaptek (gagap teknologi) dan pola pikirnya masih primitif. Namun tidak demikian yang dialami masyarakat zaman sekarang, di mana-mana arus informasi dan komunikasi sudah dapat dinikmati langsung baik itu di jalan, di luar rumah atau bahkan di dalam kamar.
Perubahan-perubahan semakin pesat. Hal ini berangkat dari berbagai macam tehnologi (handphone, televisi, komputer, internet) dan informatika yang mulai menggejala di berbagai kalangan. Karena kecanggihan tehnologi tersebut kita dapat mengonsumsi bahkan menikmatinya dengan mudah, kita tidak usah repot-repot mengeluarkan tenaga ekstra karena sudah dapat menggunakan alat tersebut kapanpun dan dimanapun kita berada, hal ini tidak hanya berlaku di kota-kota besar saja melainkan dipelosok desapun sudah mulai dipengaruhi.
Pengaruh era globalisasi seperti: alat komunikasi dan teknologi informatika yang semakin meluas juga mempunyai sisi negatif yaitu kelancaran transportasi tersebut sangat mendukung proses distribusi antara produsen dan konsumen sehingga produk-produk luar negeri akan cepat meluas ke berbagai Negara. Sehingga rakyat Indonesia juga banyak yang tergiur mengoleksi barang-barang yang dibawa oleh luar negeri
Pengaruh industri pada masyarakat sudah mulai menjamur baik di kalangan masyarakat umum ataupun di kalangan pesantren. Namun kebanyakan yang menjadi korban industri adalah kaum perempuan, karena didukung oleh banyaknya kebutuhan perempuan daripada laki-laki, bahkan dari kenyataan yang ada dapat dikatakan 80% kaum perempuan yang berhasil dijadikan sebagai korban industri. Selain itu perempuan juga rentan dengan masuknya mode dan fashion.
Perkembangan industri yang semakin maju apalagi didukung oleh ketatnya persaingan dagang bisa memicu sebuah industri untuk memproduksi produk-produk sekunder dan tersier. Survey di lapangan membuktikan bahwa masyarakat lebih banyak mengedepankan kebutuhan sekundernya daripada kebutuhan primer.
Perindustrian pakaian, make-up, aksesoris kini menjadi semakin cerdas, sebagaimana telah diungkapakan oleh salah satu wali santri dari desa Prancak. Di mana produsen tidak lagi mengharap datangnya langsung konsumen ke toko-toko, tetapi mereka mencoba membayar sales untuk menjual kepelosok-pelosok desa. Hal ini mengakibatkan para wali santri menjadi tidak peduli terhadap kebutuhan pokok atau kebutuhan primer bahkan mereka menjadi fokus terhadap mode atau kebutuhan sekunder dan tersier.
Mode dan fashion juga dijadikan sebagai bisnis dalam industri. Sebenarnya mode and fashion yang kita kenakan sekarang bukanlah produk budaya lagi, hal ini terbukti dengan adanya perubahan life style bangsa kita yang dulunya masih merupakan bangsa yang primitive dan selalu memegang nilai-nilai kebudayaan, menjadi bangsa yang latah terhadap hasil produk domestik dan hasil impor negara lain, contoh kecilnya saja dalam masalah costum, akibat kemajuan industri yang didalangi oleh orang-orang barat, kebudayaan bangsa kita sedikit demi sedikit mulai terkikis, dari pakain yang bersifat tradisional menjadi pakaian yang serba terbuka, ini semua terjadi karena saking pandainya seorang produsen mendesain pakaian yang dapat menarik selera konsumen untuk terus mengonsumsi dan menikmati dalam kehidupan sehari-hari, hal ini merupakan pembuktian bahwa mode and fashion lebih dominan pada produk konsumtif dan industri, mode dan fashion dijadikan sebagai tolak ukur kemajuan produk industri. Selain hal tersebut salah satu faktor lainnya adalah untuk memperoleh kemenangan dan kekayaan, dengan adanya persaingan perindustrian antara yang satu dengan yang lain yang semakin menjadi, produsen selalu mencari cara dan ide-ide baru untuk tetap tampil lebih unik dan menarik perhatian masyarakat luas, sering kali kita juga menemukan peran wanita dan pria yang dijadikan objek utama dan korban industri sebagai perangsang konsumen untuk mengonsumsi hasil produknya. Adanya iklan dalam televisi membuktikan bahwa wanita sering dijadikan objek dalam mempromosikan suatu produk.
Kemajuan industri yang hasil produknya lebih menonjolkan unsur keindahan dan kecantikan sudah dapat mengubah paradigma bangsa kita, dampak industri mayoritas lebih mengacu pada hal-hal yang bersifat negatif, salah satu contohnya kehormatan sudah mulai diperdagangkan dan pencemaran terhadap lingkungan. Sudah sangat jelas sekali bahwa industri lebih banyak kemudharotannya dari pada kemaslahatannya, selain menghancurkan kebudayaan bangsa kita yang telah lama kita bangun, industri juga merusak moralitas bangsa pada umumnya dan para santri pada khususnya, walaupun pada hakikatnya industri juga merupakan salah satu sarana untuk memenuhi kebutuhan bangsa kita secara mudah dan praktis. Namun apakah semua sesuatu yang bersifat praktis itu baik? Bukankah sesuatu yang praktis justru malah membuat kita jadi malas untuk bekerja.
Berkembangnya industri juga memicu timbulnya dekadensi moral, hal ini terjadi karena adanya pengaruh mode dan fashion yang sudah mulai banyak berkembang. Selain pengaruh industri hal ini juga dipengaruhi oleh adanya pedagang asongan, yang menjajakan pakaian kerumah-rumah bahkan ke daerah pesantren. Pedagang tersebut sengaja membeli produk-produk tren masa kini untuk dijual kepada masyarakat karena mereka beranggapan produk seperti itulah yang memang dibutuhkan masyarakat sekarang sehingga, produk akan cepat laris di pasaran. Mereka para produsen tidak pernah memikirkan akan dampak negatif dari penjualan produk, yang ada dibenak mereka hanyalah laba dan laba. Tak heran jika banyak para santri yang mengikuti arus mode karena memang pada kenyataannya mereka didatangi informasi seputar mode walaupun kadang kala informasi tersebut lambat.
Selain cerdasnya produsen dalam memperoleh laba dan hal tersebut dapat memiliki dampak negatif terhadap moral masyarakat, hal ini juga disebabkan oleh faktor lingkungan dan keluarga yang kurang peduli terhadap perkembangnan anak. Keluarga merupakan faktor utama yang mempengaruhi kepribadian dan penampilan seorang anak apalagi bagi anak yang melanjutkan pendidikan di pesantren. Karena biaya untuk kebutuhan sehari-hari masih ditanggung oleh orangtua. Kebanyakan keluarga yang tidak peduli terhadap perkembangan anak-anaknya, mereka memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada si anak sehingga lepasnya pengawasan itu dapat memberikan dampak negatif. Salah satunya membelanjakan sesuatu yang tidak begitu penting seperti membeli aksesoris secara berlebihan. Hal ini terbukti adanya salah satu santri dari Karang Jati yang mengaku sering membelanjakan uang kirimannya untuk membeli aksesoris secara berlebihan “kebetulan uang kirimanku banyak dan uang tersebut lebih dari biaya makan dan jajanku, dan kebetulan lagi aku memang suka mengoleksi aksesoris terbaru. Aku memang senang mengoleksi pernak-pernik terutama pin. Setiap minggu aku selalu membeli pin pada bapak-bapak yang menjajakan jualannya ke pondok,” tuturnya.
Warga Indonesia sendiri banyak yang menyalah gunakan produk industri, misalnya thank top yang diluar negeri digunakan pada musim panas, akan tetapi di Indonesia malah digunakan untuk bergaya. Hal ini terjadi karena masyarakat Indonesia latah terhadap perubahan. Mereka menganggap pakaian negara yang mayoritas penduduknya menganut ajaran non islam cocok dengan keadaan negara kita yang mayoritas penduduknya beragama islam.
Sebuah kejadian yang amat lucu adalah ketika kami mewawancarai wali santri dari sumenep. Wali tersebut mengatakan bahwa jika seorang tinggal di daerah perkotaan dan tidak berpenampilan ala artis maka mereka akan dicemooh dan ditertawakan, “hidup di perkotaan haruslah mengikuti arus mode, karena apabila tidak demikian kita akan dikatakan orang yang ketinggalan zaman.” Demikian penuturan salah satu wali murid dari sumenep.
Minimnya pengetahuan agama yang dimiliki orang tua sehingga mudah melepas tanggung jawabnya sebagai orang tua yang seharusnya menjaga dan mendidik anaknya kearah yang positif, namun kita juga sering menemukan kenakalan remaja yang berasal dari keluarga yang berpendidikan, hal ini tak lain terjadi karena faktor lingkungan dan pergaulan yang sangat berpengaruh terhadap sikap, prilaku dan psikologis anak, "orang tua tidak ada apa-apanya dibandingkan pengaruh lingkungan terhadap situasi dan kondisi anak" Salah satu kutipan Kiai Ubaidillah, S.S yang diperoleh ketika kru teratai melakukukan interview, dari pemaparan di atas sudah sangat jelas sekali bahwa lingkungan yang tidak baik sangat mempengaruhi terhadap pola pikir serta prilaku anak begitu juga sebaliknya, lingkungan yang baik juga akan membawa dampak yang baik terhadap prilaku dan pola pikir anak tersebut, oleh karena itu jika kesadaran serta keimanan seseorang tidak dipupuk sejak dini kemungkinan besar perubahan-perubahan yang mengacu pada arah negatif akan terjadi.
Faktor yang sangat dominan adalah pengaruh lingkungan dalam masyarakat itu sendiri. Ketika kita berinteraksi dengan masyarakat sekitar dan ketika itu pula kita akan menerima efek atau semacam pengaruh timbal balik baik secara lamban maupun cepat, misalnya dalam segi berpenampilan. Masyarakat yang baik juga akan memberikan pengaruh yang baik pula, sebaliknya lingkungan masyarakat yang kurang baik juga akan berdampak kurang baik pula. Masyarakat yang sudah terpengaruh selalu ingin meniru model baju yang sedang in di lingkungannya tanpa melihat keadaan ekonomi dan dampaknya. Hal tersebut merupakan sesuatu yang lumrah dan banyak terjadi di kalangan masyarakat khususnya di kalangan remaja.
Salah satu korban dari pengaruh lingkungan yaitu Ani (nama samaran). Dia memaparkan bahwa teman-teman sepermainannya banyak yang telah terpengaruh oleh arus mode dan fashion yaitu teman-temannya mulai banyak meniru-niru penampiln artis, ketika kami kru teratai menanyakannya, mengapa sampai meniru cara penampilan artis? Katanya biar dikatakan lebih gaul dan mengikuti perkembangan zaman. Selain itu teman Ani itu merasa gengsi apabila tidak mengikuti perkembangan zaman ini. Korban mode dan fashion selain teman Ani yaitu salah satu siswi Madaris III yang ditindik bagian hidung dan lidahnya. Dengan hal ini sudah sangat jelas bahwa arus mode dan fashion sudah mulai masuk pada lingkungan pesantren.
Dekatnya dengan pasar atau pertokoan juga akan membuat kita larut dalam arus mode dan fashion karena ketika kita membutuhkan suatu barang maka tempat pertama yang kita tuju adalah pasar atau pertokoan. Menurut fakta yang ada, jumlah konsumen yang tempat tinggalnya berdekatan dengan pasar, jumlah barang yang dikonsumsi relatif lebih banyak daripada masyarakat yang tempat tinggalnya berjarak jauh dari pasar.
Faktor internal yang dimiliki oleh setiap individu juga sangat berpengaruh pada penampilan, baik itu didorong oleh rasa tidak percaya diri dan adanya sikap selalu ingin tampil menarik di depan publik. Apalagi bagi para remaja yang jiwanya masih labil dan rentan terhadap pengaruh luar, akibatnya mereka akan cepat menerima pengaruh luar tersebut secara cepat tanpa memilah sebelumnya. Mereka khawatir akan dicemooh jika tidak mengikuti tren terbaru sehingga mereka akan terdorong untuk mencari informasi tentang fashion terbaru baik dari majalah maupun dari teman-teman mereka.
Pendidikan yang rendah juga akan menyebabkan merosostnya moral masyarakat, di mana masyarakat akan meniru penampilan masyarakat negara maju yang dianggap modis dan gaul. Padahal pakaian modis untuk masyarakat barat belum tentu cocok terhadap kebudayaan kita. Kira-kira bagaimana masyarakat kita mengartikan modis? Menurut pendapat Kiai Naqib Hasan, S.Sos, modis itu bukanlah pakaian yang kualitas garmentnya mahal serta bukan pula pakaian yang dapat membuat seseorang bisa “membaca” lekuk tubuh kita. “Pakaian yang modis itu adalah pakaian yang apabila dilihat dari segi kualitasnya bukanlah harga yang mahal dan bukan pula pakaian yang menggambarkan lekuk tubuh, akan tetapi pakaian modis itu tergantung kepada siapa yang memakainya dan tergantung pada keilmuannya. Percuma orang itu berpenampilan modis sedangkan otaknya nol. Tapi coba kita lihat seseorang yang berpakain rapi dan sederhana, mereka akan terlihat lebih berwibawa daripada orang yang berpenampilan “sok gaul” sedangkan otaknya nol.” Papar beliau kepada salah satu kru teratai.
Salah seorang wali murid yang berada di daerah Prancak mengatakan bahwa ketika ada acara-acara seperti walimah, mereka para ibu-ibu rumah tangga berhias secara berlebihan, semua perhiasan dan aksesoris yang mereka miliki dipakai, tanpa melihat apakah aksesoris yang berlebihan baik untuk kita kenakan.
Salah satu kelemahan bangsa kita yaitu lebih suka dan bangga menggunakan produk luar negri, seharusnya kita bangga terhadap produk dalam negri dari pada luar negri, karena kita sendiri adalah masyarakat dalam negri (Indonesia), bagaimana mau maju Indonesia kalau penduduknya saja sudah tidak mau mengonsumsi produk dalam negri. Jika kita memang ingin meniru budaya luar dari aspek penampilan atau cara berbusana. Sebaiknya kita tidak perlu mengcopy paste dari luar, lebih baik kita berfikir lebih kreatif bagaimana caranya agar kita bisa menyaingi mereka (hasil budaya barat). Tanpa harus menirunya. Persaingan yang seperti ini lebih baik dari pada harus meniru. Karena kita dituntut untuk lebih kreatif dalam mendesain pakaian, selama desainan kita tidak menyimpang dari ajaran islam.
Sebagai umat islam sudah sepantasnya kita untuk menutupi aurat. Kita semua sudah tahu apa saja batas-batas yang harus kita tutupi. Menutupi aurat bukan berarti hanya menutupi tubuh kita dengan pakaian tanpa harus melihat pakaian yang bagaimana yang memang pantas untuk kita pakai. Apakah pakaian yang ketat juga bisa dikatakan pakaian yang dapat menutupi aurat? akan tetapi menutupi aurat di sini yaitu menutupi seluruh anggota tubuh kita dengan pakaian yang orang lain tidak bisa “membaca” lekuk tubuh kita.
Seorang siswi seharusnya demikian juga, berpakaian yang islami. Biasanya setiap masing-masing sekolah memiliki aturan sendiri dalam menentukan peraturan, misalnya peraturan dilarangnya menggunakan aksesoris yang berlebihan. Salah satu contoh seperti peraturan yang berada di lingkungan SMA 3 Annuqayah, dimana seorang siswi tidak boleh berpakaian junkist dan tidak boleh memakai rok belah.
Pada realita yang ada, walaupun dimana-mana sudah ada yang namanya peraturan, masih tetap saja dilanggar. Entah apa yang menjadi penyebab mereka tidak patuh terhadap peraturan yang sudah ditetapkan.
Salah satu bukti bahwa siswi banyak yang melakukan pelanggaran yaitu mereka para siswi SMA 3 Annuqayah masih tetap menggunakan pakaian junkist dan menggunakan rok belah. Padahal di SMA 3 Annuqayah sendiri sudah ada peraturan bahwa siswi dilarang menggunakan pakaian junkist dan menggunakan rok belah. Selain pelanggaran ini masih banyak lagi pelanggaran yang dilakukan oleh siswi SMA 3 Annuqayah seperti dilarangnya membawa handphone. Beberapa pengurus keamanan OSIS SMA 3 Annuqayah ketika melakukan razia bulanan, selalu menemukan siswi yang membawa handphone.
Selain contoh di atas, ada pula beberapa peristiwa atau contoh yang dialami oleh seorang santri, yaitu ketika seorang santri berada di lingkungan pesantren dia menggunakan pakaian ala pesantren namun ketika dia sedang berada di luar lingkungan pesantren, mereka mulai meninggalkan kebiasaan yang selama ini diimplementasikan di pesantren. Lambat laun kebiasaan itu mulai memudar. Memang benar seseorang yang berada di luar lingkungan pesantren lebih mudah terserang arus westernisasi dan globalisasi.
Dengan berbagai macam problem yang berkaitan dengan masalah mode dan fashion di era globalisasi ini, perlu adanya pemecahan-pemecahan dan cara untuk menopang masuknya arus industrialisasi ke Indonesia. Di antaranya menanamkan kesadaran dalam diri kita sendiri. Namun, adanya kesadaran dari kita masih belum cukup untuk dijadikan sebagai jalan keluar. Mayoritas mereka memiliki kesadaran diri akan tetapi mereka tidak dapat melaksanakannya, hal ini karena adanya berbagai faktor yang menuntut mereka untuk selalu berpenampilan ekstra dan eksotik, bahkan mereka berani berpenampilan ala Britney Spears demi mencapai popularitas, hal inilah yang sering mengakibatkan terjadinya pemerkosaan serta pelecehan seksual yang tak jarang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, bahkan dikalangan artispun tak jarang terjadi pelecehan seksual, misalnya kejadian yang sangat memprihatinkan, adanya salah satu fans yang menyentuh payudara dengan cara yang tidak terhormat, hal ini terjadi pada Dewi Persik artis sekaligus diva dangdut indonesia yang sangat terkenal dengan gerakan erotis dan costumnya yang selalu memancing nafsu kaum Adam karena Dewi tak tanggung-tanggung dalam memamerkan lekuk-lekuk tubuhnya yang cukup seksi, oleh karena itu, kita juga perlu mengembangkan dan memperbanyak ilmu pengetahuan agama untuk dapat menghidupkan dan mengokohkan kembali nilai-nilai agama islam yang sudah mulai terkikis, perlu adanya penegasan dan pengontrolan dari keluarga secara baik, karena keluarga juga sangat mempengaruhi terhadap perkembangan anak, lebih berhati-hati dalam bergaul, tidak asal menerima hal-hal baru yang masuk dikalangan kita sebelum diseleksi terlebih dahulu, mempertegas peraturan dalam pesantren sebagai agen islam khususnya bagi kalangan santri, selain itu juga kita usahakan mendesain busana muslim yang lebih menarik dan unik tapi bermotif islam daripada busana non muslim.


Dikutip dari Majalah Teratai, No 2/Mei 2008, diterbitkan oleh OSIS SMA 3 Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep.

Akukah Malin Kundang itu?

Cerpen Ummul Corn (XB SMA 3 Annuqayah)


Sedalam hati menggali kasih, sejauh kaki mengejar sayang, sepekat mata memandang asa, tetapi semua tak pernah kuraih. Hanya sia-sia kudapat. Selalu.
Ketika hujan turun, parit yang keringpun akan mengalirkan air. Begitu pula denganku ketika sadar bahwa aku sudah dewasa, tetapi tak pernah aku mandiri. Hujan yang biasa turun dari langit kini menjadi berubah turun dari sudut mataku.
Perih rasanya hati ini ketika memandangi bapak membawa cangkul bersamaan dengan terbitnya matahari, yang biasanya kalau orang kaya duduk santai dengan meminum secangkir kopi hangat. Hati ini bertambah pilu ketika memandangi ibu membawa rantang yang berisi nasi dan lauk pauk untuk bapak di sawah. Dan lebih parah ketika aku sadar bahwa mereka melakukan semua ini hanyalah untukku.
Aku hanya bisa tertawa riang dengan menghabiskan uang orang tuaku. Bisa melanjutkan sekolah SMA dengan teman tanpa memiliki rasa prihatin sedikitpun. Kenapa aku baru sadar sekarang? Kenapa tidak dari dulu?
Walau aku sadar, tapi apa yang harus aku lakukan. Aku tak lebih dari seorang Malin Kundang yang terdapat dalam legenda. Kejadian ini mengingatkanku pada suatu cerita. Dan dongeng ini memang benar adanya. Beginilah kisahnya :
Dulu aku pernah berbincang-bincang dengan bapak selepas pulang dari sawah. Ketika sinar matahari lurus berada di tengah. Aku memberanikan diri membuka percakapan walau dengan rasa tersipu.
“Kalau aku sukses nanti bapak mau minta apa?” tidak sempat bapak menjawab, ibu sudah datang dengan membawa secangkir teh dan mengeluarkan sifat humorisnya.
“Siapa yang mau sukses ndok?” tanya ibu dengan senyum yang membuatku tambah semangat.
“Ya Luluk, bu. Kalau bapakkan sudah terlambat sekolahnya.” Jawabku dengan polos.
“Ayo Pak dijawab pertanyaan putrinya. Saya ke dalam dulu. Maaf mengganggu.” Sambung ibu yang kemudian ditelan pintu.
“ Kalau bapak pengen dibelikan sarung baru, karena sarung bapak sudah kusam semua.”
“O… tenag saja, Pak! Jangankan sarung baru, sarung yang paling mahalpun akan aku belikan.” Jawabku meniru gaya orang sombong.
Kami berdua tertawa terbahak-bahak. Meski kami miskin ternyata bisa juga kami bahagia. Dan kebahagiaan ini akan terus kukenang. Ketika suasana reda dari gelak tawa. Aku pamit ke dapur pada bapak untuk menanyakan keinginan ibu jika aku sukses nanti. Bapak hanya menggeleng dan tersenyum. Sesampainya di dapur aku langsung ajukan pertanyaan yang persis dengan yang kuajukan pada bapak.
“Kalau aku sukses nanti ibu mau minta apa?” Ibu hanya menebarkan senyumnya. Dan aku tahu senyum itu begitu indah di masa mudanya. Ibuku cantik. Pantas saja bapak mau sama ibu.
“Kalau ibu punya satu keinginan yang harus kamu kabulkan.”
“Apa, bu?” tanyaku makin penasaran.
“Ibu hanya ingin anak Ibu benar-benar rajin belajar agar nanti benar-benar meraih cita-cita yang kamu inginkan.” Begitulah sifat ibu yang tak pernah menjawab dengan jujur ketika kutanya dengan sebenar-benarnya. Ibu dan bapak bagaikan 1 kapur lain warna.
Suatu pagi aku melihat ibu sedang sholat Subuh. Aku sangat terkejut ketika melihat mukenah ibu yang penuh dengan tambalan kain lain. Aku meletakkan tanganku di dada.
Bagai kendaraan tak perlu sopir. Air mataku berlinang. Kenapa ibu tidak jujur kepadaku? Jika memang ini adanya aku harus berhasil meraih cita-citaku. Ibu harus kubelikan mukenah baru.
Begitulah kisahku. Kisah anak kampung miskin, hanya bisa menepuk dada menahan rasa sakit yang selalu datang. Mencabik hatiku.
Sekarang adalah nyata. Aku benar-benar dewasa dan harus menepati janjiku dulu. Janjiku sejak kelas 5 SD. Yang terus-menerus kuingat.
Aku harus sadar bahwa selama ini aku hidup dengan hasil jerih payah orang tuaku. Mereka berdua dengan susah payah menabung hasil panen untuk keperluan pokok dan biaya sekolahku. Sedang aku hanya bisa bahagia dengan penderitaan kedua orangtuaku sendiri. Hari ini juga tepat jam 09.00 aku membeli koran dari uang saku pemberian kedua orang tuaku setiap hari yang kutabung. Kucoba menjadi pedagang kliping koran. Setelah kliping yang kubuat selesai, aku membuat pengumuman :

“Bagi teman-teman yang mau beli kliping cerpen edisi bulan Desember silakan hubungi “Luluk” kelas X SMA”

Kalimat tahmid itu selalu mendampingi gumam hatiku. Kliping yang kubuat laku tanpa sisa. Uang yang kuperoleh Rp. 30.000,-. Lumayan dari mulanya Rp.10.000,- menjadi Rp.30.000,-. Aku akan segera berangkat ke pasar memberi kejutan kepada bapak dan ibu.
Sampai di pasar aku mendatangi pedagang baju di pinggir jalan. Lalu terjadilah tawar menawar antara aku dan si pedagang.
“Sarung yang itu berapa harganya?”
“Kalau yang ini mahal. Karena motifnya tidak norak dan kainnya lembut. Harganya Rp. 50.000.”
“Wah mahal sekali. Uangku tidak cukup membelinya, karena uangku hanya Rp. 30.000,-.”
“Kalau begitu ayo cari yang lain dan tawarlah!” rayu si pembeli.
“Kalau yang ini berapa?” tunjukku sambil meraba.
“O, yang ini agak lebih murah sedikit karena cara pakainya licin dan motifnya bergaris lebar. Jadi harganya Rp. 40.000.” jawab si pedagang sambil menggaruk kepala.
“ Wah masih juga belum cukup.” Gerutuku penuh harap akan diberi kortingan.
“ Kalau begitu bisa ditawar.”
“Maaf, Pak! Aku tidak tahu bagaimana cara menawar, jadi harga pasnya berapa?”
“ Wah adek ini benar-benar lugu. Kalau begitu ambillah sarung ini dengan harga Rp. 25.000.”
“Baiklah. Tolong dibungkus Pak.”
Aku segera menyerahkan uang itu dan si pedagang mengembalikan Rp. 5.000.
“Terima kasih neng. Lain kali ke sini lagi ya.”
“ Sama-sama, Pak. Insya Allah.”
Aku jadi teringat ibu. Dengan uang yang kupegang ini tedak mungkin aku bisa membeli mukenah. Biarlah besok saja, kalau aku sudah bisa mengumpulkan uang lagi. Uang Rp. 5.000 ku, akan ku tabung dulu sebagai tambahan agar besok dapat membeli mukenah yang mahal dan bagus.
Dengan tersenyum aku pulang. Dalam hatiku selalu bergumam pasti bapak senang dengan sarung baru ini. Bagus dan harganya tidak terlalu murah. Semoga bapak benar-benar senang.
Tepat pada jam 15.30 aku sampai di rumah. Aku segera panggil salam dan menghampiri bapak yang duduk muram di kursi teras depan. Sedang di sini banyak orang. Kufikir sekarang ada acara ajian yang aku sendiri tidak diberi tahu oleh ibu karena pulang sore. Ah ibu, aku jadi kangen ibu.
“Pak, ini sarung yang kujanjikan dulu. Aku ke dapur dulu ya, Pak. Soalnya mau bantu-bantu masak untuk acara ajian ini. Kok aku tidak diberi tahu kalau hari ini ada ajian.”
Aku jadi heran ketika bapak memegang tanganku dan menangis seolah-olah bapak tidak bahagia dengan sarung yang kuberikan.
“Kenapa bapak menangis. Apa sarung yang kuberi kurang bagus. Kalau begitu besok akan kubelikan lagi. Sekarang izinkan aku menghampiri ibu di dapur.
Bapak melepaskan tanganku. Ketika itu aku segera masuk. Kenapa hatiku menjadi begitu beku ketika melihat banyak orang mengelilingi mayat dengan ditutupi sarung batik. Mataku terbelalak memancarkan kunang-kunang tangis. Aku melihat semua orang yang ada di ruangan ini. Dan ternyata dugaanku benar. Tak ada ibu di sini. Aku langsung mengeluarkan suara histeris campur tangis dan dengan terpekik.
“Di mana ibu sekarang? Jawab!”
“…”
“Apa perempuan yang tertutup sarung batik itu ibu?” suaraku agak diperhalus karena aku sadar semua orang yang ada di sini juga lara. Apalagi bapak. Aku tidak ingin Bapak semakin duka dengan keadaan ini.
Ternyata benar. Mereka mengangguk kemudian tertunduk. Tanganku dan kakiku menjadi kaku. Bibirku dingin. Sedang parit yang dulu mengalir, kini menjadi semakin banjir.
Sebagai anak yang sudah cukup dewasa, aku merasa malu untuk meratapi nasib ibu di depan banyak orang. Bukan aku tak rela melepas ibu kepangkuan-Nya, tetapi sebuah mukenah saja aku tak dapat membelikan semasa hidupnya. Inilah yang membuatku sakit hati dan merasa akulah generasi Malin Kundang itu.

Dikutip dari Majalah Teratai, No 2/Mei 2008, diterbitkan oleh OSIS SMA 3 Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep.