Ach. Qusyairi Nurullah, Peneliti di The Pencil Connection Madura
Isu global tentang adanya perubahan iklim (climate change) yang ditandai dengan adanya kenaikan emisi gas hingga 70% dari tahun 1970 hingga 2004 merupakan indikasi nyata dari krisis lingkungan yang banyak dibicarakan masyarakat dunia akhir-akhir ini. Seperti data yang telah dirilis oleh pihak PBB tentang Perubahan Iklim (UNFFFC), menyatakan bahwa rata-rata temperatur global telah naik 1,3 derajat Fahrenheit (setara dengan 0,72 derajat Celcius) dalam 100 tahun terakhir. Rata-rata permukaan air laut mengalami kenaikan hingga 0,175 centimeter setiap tahun sejak 1961. Diperkirakan sekitar 20-30% species tumbuh-tumbuhan dan hewan berisiko punah jika temperatur naik 2,7 derajat Fahrenheit (setara 1,5 derajat Celcius).
Para ahli lingkungan mengatakan bahwa perubahan iklim itu terjadi karena hancurnya tatanan ekosistem. Perubahan iklim yang lebih dikenal dengan pemanasan global (global warming) menjadi kecelakaan permanen yang hingga kini belum teratasi. Keyakinan umum masyarakat menyebutkan, bahwa krisis lingkungan yang ekstrim dan mengancam kehidupan orang banyak ini merupakan efek domino dari perkembangan teknologi yang tidak memperhatikan eksistensi lingkungan. Negara-negara maju sebagai penggerak lahirnya berbagai jenis teknologi pun menjadi kambing hitam.
Krisis lingkungan yang meresahkan banyak kalangan ini semakin diperparah oleh tindakan manusia yang tidak bertangung jawab. Dari 1980 hingga 2004, manusia melakukan perusakan hutan dan penambangan liar yang menjadi penyebab berbagai bencana besar. Ada tak kurang dari 1.150 kali bencana terjadi dalam kurun waktu tersebut.
Indonesia yang diharapkan menjadi paru-paru dunia dalam mengurangi dampak emisi global ternyata juga menjadi negara pengeksploitir hutan terbesar sedunia. Penebangan hutan secara liar di Indonesia kian tak terkendali. Sehingga, selama puluhan tahun terjadi penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Hasil penafsiran Citra Landsat tahun 2000, menunjukkan sekitar 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan.
Pada abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-18, hutan alam di Jawa diperkirakan masih sekitar 9 juta hektar. Pada akhir tahun 1980-an, tutupan hutan alam di Jawa hanya tinggal 0,97 juta hektar atau 7 persen dari luas total Pulau Jawa. Saat ini, penutupan lahan di pulau Jawa masih tinggal 4 %. Pulau Jawa sejak tahun 1995 telah mengalami defisit air sebanyak 32,3 miliar meter kubik setiap tahunnya.
Eksistensi hutan sebagai satu-satunya paru dunia yang memberikan oksigen pada manusia tentu saja memerlukan perawatan yang baik dan konsisten agar tetap lestari. Membiarkan hutan tergunduli sama halnya dengan menghendaki bencana alam itu terjadi. Karena itu, sikap kurang ramah terhadap lingkungan sekitar mesti dipikir kembali dan diiris sepenuh hati, sehingga tercipta mentalitas peduli lingkungan yang tinggi dan melahirkan sikap empati terhadap alam.
Mendekatkan anak pada lingkungan
Kerusakan lingkungan yang terjadi bukan semata-mata proses alamiah, tetapi tidak lepas dari ulah tangan manusia. Mentalitas eksploitatif terhadap alam merupakan masalah serius yang mesti ditangani secara serius pula. Hal ini terjadi karena alam masih saja dianggap sebagai sesuatu yang terpisah dari kehidupan manusia. Di sinilah peran penting pendidikan menjadi sangat urgen. Pada kondisi kronis seperti ini, dunia pendidikan dituntut tidak hanya menjadi lembaga yang mencetak manusia arif terhadap manusia dan mengenali siapa Tuhannya, tetapi juga mampu memiliki rasa kepedulian yang tinggi terhadap lingkungannya.
Selama ini, para aktivis lingkungan seringkali menggunakan pendekatan birokrasi dalam rangka menghidupkan gerakan peduli lingkungan. Meski akhir-akhir ini terlihat adanya pelibatan institusi agama, seperti kerjasama Yayasan KEHATI dengan Nahdlatul Ulama (NU) dalam Pogram Konservasi Alam melalui Pesantren. Hal itu bisa dimaknai sebagai sebuah perkembangan, namun tetap saja masih terasa timpang. Gerak pikir kaum aktivis lingkungan masih dipenuhi oleh logika bahwa untuk mengatasi masalah besar harus menggunakan pendekatan kepada institusi yang besar pula. Karena itu, proses menumbuhkembangkan kepedulian lingkungan pada diri anak didik di lembaga pendidikan menjadi langkah strategis yang perlu digarap pula oleh para aktivis lingkungan.
Memotret Pendidikan sadar Lingkungan di SMA 3 Annuqayah
Kesadaran akan pentingnya mendekatkan anak didik pada lingkungan alam sekitar agaknya disadari oleh pengelola lembaga pendidikan tingkat SMA di Madaris 3 Annuqayah. Lembaga pendidikan yang terletak di pulau Madura Kabupaten Sumenep Kecamatan Gulu-Guluk, Desa Guluk-Guluk ini, bisa dikatakan satu-satunya lembaga pendidikan tingkat SMA di wilayah Kabupaten Sumenep yang mendorong proses penumbuhkembangan kepedulian lingkungan kepada anak didiknya melalui komunitas Pemulung Sampah Gaul (PSG). Komunitas ini menjadi wadah bagi siswa untuk turut serta menyelesaikan persoalan lingkungan hidup di sekitarnya. Prinsip mereka adalah melakukan penyelamatan lingkungan di tingkat lokal untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan secara global (global warming local cooling).
Dalam tubuh PSG ini, terdapat tiga tim yang bergerak pada wilayah yang berbeda: Tim Pertama, Tim Sampah Plastik. Misi besar tim ini adalah upaya menyelamatkan bumi dari bahaya sampah plastik, karena plastik merupakan jenis sampah yang paling sulit lebur dengan tanah.
Faktanya, banyak dampak buruk dari sampah plastik ini. Menurut catatan Kompas (6/8/2008), volume sampah yang cukup tinggi akan berpotensi menjadi limbah yang berbahaya bagi kehidupan manusia. Sampah juga berpotensi menurunkan kualitas tanah dan air karena terkontaminasi oleh partikel-partikel plastik itu sendiri. Tumpukan plastik yang tidak dikelola secara baik juga akan menghasilkan emisi gas rumah kaca yang berdampak pada pemanasan global. Sebagai tambahan, untuk memproduksi plastik, dibutuhkan sekitar 12 juta barel minyak dan 14 juta pohon setiap tahunnya, angka yang fantastis, tapi tidak hemat energi untuk barang yang berbahaya ini.
Dalam upaya mewujudkan misinya, tim Sampah Plastik ini memulai dengan menyiapkan tiga tempat sampah yang berbeda, yaitu: tempat sampah anorganik kering, anorganik basah, dan sampah organik. Sampah yang telah dipilah didaur ulang menjadi alat yang dapat digunakan kembali: seperti membuat tas, jas lengan, tempat pensil, sandal, dan sajadah dan jenis alat yang lainnya.
Tim Kedua, adalah Tim Pupuk Organik. Misi besar yang diusung adalah mengajak seluruh lapisan masyarakat sekitar sekolah untuk memanfaatkan limbah pertanian menjadi pupuk organik. Penggunaan pupuk organik menjadi agenda penyelamatan ekosistem tanah yang dirusak oleh bahan-bahan pupuk kimia. Tidak hanya itu, tanaman yang dibiakkan dengan pupuk kimia itu pastinya akan mengandung unsur kimia pula, sehingga bila dimakan akan merugikan terhadap kesehatan. Mimpi mulia membuat pupuk dari bahan organik inilah yang pada akhirnya mengantarkan tim ini dinobatkan sebagai juara 5 dalam lomba School Climate Challenge British Council Competition se-Indonesia.
Tim ini mulai memproduksi pupuk organik dan hasilnya ditunjukkan kepada masyarakat. Cara ini digunakan untuk mengajak mereka menggunakan pupuk yang murah, ramah lingkungan dan mudah dibuat oleh mereka sendiri.
Tim Ketiga, adalah Tim Gula Merah. Misi besarnya ialah Mengonservasi Gula Merah Pohon Siwalan. Tim ini dibentuk berdasarkan temuan bahwa pohon siwalan di wilayah Madura terancam punah. Pohon ini banyak ditebang untuk dijadikan kayu bakar. Pohon yang ditebang tidak diganti dengan tanaman Siwalan yang baru. Pada akhirnya, hal ini memengaruhi terhadap produktifitas pembuatan gula merah.
Atas dasar itulah, maka konservasi Pohon Silawan tidak hanya soal pengurangan dampak pemanasan global, tapi juga soal pelestarian tanaman lokal di Madura. Apabila kelestarian Pohon Siwalan ini terjaga, maka masyarakat dapat mengambil banyak manfaat darinya. Misalnya dengan membuat gula merah, atau membuat tikar, timba dan lain sebagainya dari daunnya.
Yang perlu disadari dan dipahami dari PSG ini, bukan pada karya yang dihasilkan dari tiap-tiap tim, tetapi bagaimana upaya sekolah dalam melatih siswa agar memiliki rasa kepedulian terhadap lingkungan dan dapat menjadi pahlawan lingkungan di sekitarnya. Inilah yang mesti diapresisasi dan bahkan direplikasi oleh berbagai lembaga pendidikan yang lain.
Penutup
Laju krisis lingkungan yang kian mencuat sebenarnya bermula dari tidak adanya kesadaran mencintai lingkungan itu sendiri. Pola pikir yang tidak menghargai dan memperhatikan eksistensi lingkungan sebagai bagian dari kehidupan manusia harus diubah dan ditata kembali dengan rapi. Dalam konteksi ini maka penting menanamkan nilai-nilai sadar lingkungan sejak dini kepada anak-anak. Hal ini bisa dilakukan secara bertahap di lembaga pendidikan.
Sebagai contoh kasus, gerakan pendidikan sadar lingkungan seperti yang dijalankan di SMA 3 Annuqayah dengan PSG-nya adalah potret penanaman nilai-nilai cinta alam bagi anak didik yang perlu ditumbuhkembangkan di lembaga lainnya.
Akhirnya, kita perlu senantiasa menjaga sumber daya alam. Sebab alam bukanlah warisan nenek moyang, tetapi titipan untuk anak cucu mendatang. Bila gerakan di tingkat lokal terus berkembang, maka krisis di tingkat global akan terselesaikan dengan sendirinya. (*)
Tulisan ini dikutip dari Web Media Indonesia.
9 komentar:
SMA 3 Annuqayah memang yang terbaik.
siapa yang tak bangga jika menjadi siswa di sana. ilmu yang didapat, khususnya nilai-nilai cinta lingkungan bisa menjadi bekal saat terjun di masyarakat kelak.
Good Luck PSG!!!
Semoga bermanfaat.
@Siti Nujaimatur: salut dan sukses untuk untuk Anda.
Guguk dan Nu, terima kasih support dan apresiasinya. Sukses untuk kalian berdua.
Terima kasih, Ra. Abdina sangat terharu. Terima kasih Madaris III Annuqayah. Terima kasih untuk guru-guru Madaris III. Berkat kalian semua saya bisa tersenyum bangga menatap masa depan.
hanyaterharu.com
Saya baru tahu sekarang, kalau tulisan saya di posting di blognya madaris3.
Terima kasih kepercayaannya...
kapan kita mau berkoar-koar lagi untuk kampanye lingkungan masyarakat sudah kangen akan suara-suara kita wabil khusus (Nujaim)
Enggi, Bu sama. Saya juga rindu dengan dunia yang dulu.
buat kawan-kawan PSG, teruslah berkreasi...
alam akan tersenyum melihat keringat kalian...
Posting Komentar