Cerpen Ummul Corn
Anak yang selalu meneteskan air mata di bawah jembatan ituk, adalah aku. Aku ingin bertemu ayah. Aku ingin mereasakan kasih sayang dari seorang ayah. mungkin aku tidak akan mengalirkan linangan air mata jika aku bersama ayah.
dulu ketika aku berumur empat tahun, ayah dan ibuku bertengkar, kemudian bercerai. itu adalah cerita ibuku yang disampaikan melalui omelannya setiap hari. Ya, walaupun aku mempunyai seorang ibu, tapi rasanya aku yatim piatu.
Ibu kandungku sendiri tidak menyukaiku. Ia selalu mencaci-maki aku. Tapi sahabatku yang selalu mengatakan agar memaklumi ibu, karena dia bilang ibu itu terlalu membenci ayah, sehingga melampiaskan dendamnya padaku. Suatu waktu ibu mengomeliku ketika tepat sahabatku datang ke rumahku.
Hatiku beku, tanpa berkata lagi aku menghampiri Sisi sahabatku yang sedari tadi hanya menyaksikan drama penghinaan yang aku terima. Air mata itu mengalir dari lubuk hatiku yang kemudian tumpah membanjuri halaman rumahku.
Sisi, sahabatku itu memelukku dan ikut menangis. Dalam tangisku aku berkata pelan, pelan sekali sambil tersedu. Aku berani berkata karena ibu telah masuk ke dalam rumah.
Hhh... aku menjadi lega dan bersemangat lagi untuk bersekolah. Memang Sisi adalah sahabat terbaikku. Mulai dari aku kelas TK sampai kelas 3 SMP dia selalu satu kelas denganku. Jika ada tugas kelompok yang kebetulan aku tidak sekelompok dengan Meme, maka kita akan protes pada Bapak guru dan akhirnya Pak guru mengalah. Setiap pagi Sisi selalu menjemputku untuk berangkat sekolah bersama.
Hal itu memang sudah biasa akibat rumah Meme hanya terbatas tiga rumah dan dua ladang dengan rumahku. Sementara aku bersiap-siap Meme menungguku di ruang tamu yang tak begitu mewah itu. Rumah ayah tiriku tidak terlalu miskin dan tidak pula kaya. Sederhana, itulah kata yang pas untuk rumah yang kutumpungi sekarang.
Kami berdua berangkat menggunakan sepeda masing-masing. Tentunya dengan memanggil salah pada kedua orang tuaku. Aku sempat riang, walaupun terbesit luka yang dalam.
Sudah satu minggu aku kabur dari rumah. Tanpa memberi kabar pada Sisi. Aku kabur dari rumah karena aku punya alasan. Ibuu telah benar-benar kelewatan. Ia tidak memberiku makan, menyuruhku mencari ayahku dan perintah terakhirnya adalah makan ke rumah ayah. Aku bingung harus ke mana. Mau mencari ayah aku tidak tahu wajah ayahku seperti apa. Mau menuju rumahnya, apalagi.
Aku mengambil keputusan untuk kembali ke sekolah. Hal yang sangat aku takutkan adalah jika Sisi mencariku ke mana-mana. Aku takut terjadi hal yang tidak-tidak yang mungkin akan menimpa sahabatku itu. Aku melangkah menuju gerbang sekolah. Mataku jelalatan mencari sosok sahabat yang sangat aku rindukan itu. Aku terus mencari dan akhirnya aku melihatnya sedang duduk murung di depan kantor yang menghadap sinar matahari pagi, tepatnya di bawah pohon karet. Cepat-cepat kuhampirinya. Ketika dia sadar kalau aku sudah datang, dia bangkit melemparkan tas dan terisak di pundakku.
Ketika kami saling berpelukan dan saling terisak, aku melihat seorang guru mengintip di balik jendela dan tersenyum ke arah kami. Sepertinya dia meneteskan air mata karena haru.
Sehari setelah keberangkatan Sisi ke pondok, aku sendiri. Seperti orang bingung yang tak menemukan tempat tinggal tetap. Tuhan berilah hamba kekuatan menghadapi cobaan ini.
Perempuan misterius itu memberitahuku bahwa telah lama ayah mencariku ke mana-mana. Dia mengajakku pulang ke rumah ayah, dan bahkan mengajakku tinggal bersamanya.
Kau tahu apa yang terjadi ketika aku mendengar berita ini? Hatiku meledak serasa meletuskan kembang api surga. Entahlah aku masih agak ragu, tentang anak yang dicari perempuan itu.
Madura, 2008
Ummul Corn, siswi XI IPA SMA 3 Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep. Tulisan ini dimuat di Radar Madura, 7 September 2008.
1 komentar:
Ini judul terbaik yang pernah saya jumpai di RADAR MADURA MINGGU..
Posting Komentar