Oleh Juwairiyah Mawardi
Upacara merdeka sejak tahun 1945.
Bulan Ramadan yang gerah oleh kenyataan perjuangan yang belum usai. Jam 10 pagi terik matahari. Bersimbah peluh dan cecer darah. Meneriakkan kemerdekaan yang dicitakan dalam alur panjang penjajahan. Kekuasaan pribumi yang badai kapas di tangan. Diterbangkan penindasan atas kebodohan rakyat. Yang jelata dan kuasa, diperbudak paksa. Menjadi tumbal gerbang sejarah bagi generasi berikutnya.
Merdeka atau mati! Demikian diucapkan para Bung kita. Lalu kita upacarakan dari tahun ke tahun sebagai ceremony kedigdayaan negeri. Berbaris, bernyanyi lantang, tengadah pada bendera dalam hormat selangit. Seperti pasukan jepang yang dilatih perang melawan bangsa sendiri. Seperti barisan tentara Belanda yang dilatih jadi pengkhianat bangsa sendiri. Begitulah kita dari tahun ke tahun. Bubar.... jalan! Lantas bubar pulalah semangat juang kita.
Apakah arti kemerdekaan? Pengkhianatan atas rakyat tak pernah punah. Penindasan atas ketakberdayaan hak asasi tak pernah surut. Selangkahpun tak ada jejak kemerdekaan baru bagi rakyat. Orde Baru bergaung seperti dalam goa-goa pertapaan abadi.
@@@
Reformasi sejak tahun 1998.
Mahasiswa berada di garis depan perjuangan baru menumbangkan tirani yang selama 32 tahun berhuni dalam rongga-rongga sejarah hingga menyesakkan nafas kaum revolusioner. Bersama mahasiswa kita bisa menumpas ketidakadilan kaum tirani yang menyurukkan mahkota kekuasaannya hingga ke kolong-kolong jembatan. Seperti kemerdekaan baru. Bagi kata, bagi rupa, bagi jiwa, bagi apapun. Seperti lepas dari mimpi buruk tanpa ujung. Rayakan kemenangan. Seperti kembali pada fitrah kemanusiaan. Berganti kepemimpinan yang diimpikan. Seperti angin segar, menyeruak.....Sesaat.........
Upacar kemerdekaan tahun 2008.
Libur nasional, mengheningkan cipta dalam ceremony yang begitu rutin. Peluh yang percuma. Teriak merdeka yang tanpa ruh. Merdeka! Siapa yang merdeka kini? Para penguasa telah memerdekakan kesenangan mereka dengan menjajah rakyat dalam kerja paksa yang lain. Para petani yang peluhnya menguning bagai padi. Dipetik dengan murah meriah. Biaya pendidikan yang bersaing laksana pasar bebas. Pendidikan berazas kapitalis. Kaum pemerintah yang menimbun harta karun bagi anak cucu tujuh belas turunan. Korupsi yang menjadi tradisi kultural dari strukural hingga personal. Kaum ulama yang tak lagi mewarisi nafas ke-WALI-an dan ke-NABI-an. Pemerintah tingkat rendahan hingga tingkat tinggi yang menggadaikan rakyat bahkan sebelum mereka memperoleh pangkatnya. Penjajahan baru yang terpola dan mengakar. Inilah warisan yang mendarah daging bagi mental bangsa. Kita tak pernah sembuh dari luka-luka penjajahan belanda, jepang, portugis, inggris. Mereka telah menyematkan azimat keramat tentang bagaimana menindas manusia lain. Meski sebangasa, setanah air, senegara dan seagama. Telah merdekakah kita?
Betapa telah kita buat mubazir darah juang para pahlawan. Yang melepaskan jiwa demi sehembus nafas yang merdeka. Untuk kita yang bersepakat dengan penjajahan berikutnya terhadap sesama.
Lihatlah bumi kita, dengarkan nyanyi pertiwi yang ranggas, dibuat tandus dalam penebangan liar pohon-pohon yang menjadi pacak bumi. Pengurusan atas hak-hak rakyat yang tak terganti bahkan dengan sesuap nasi seteguk kesejukan. Mereka yang berkubang lumpur tanpa ada uluran tangan emas penguasa.
Lihatlah para wakil rakyat yang saling merapatkan barisan dalam rapat-rapat tanpa melaksanakan amanat rakyat. Dari untuk pejabat bagi pejabat. Mereka berkompetisi untuk mendapatkan kursi goyang yang akan menggonjang-ganjingkan nasib rakyat. Mereka membahas tentang nasib rakyat seperti pelajaran yang membosankan dalam ruang-ruang sidang mewah. Di luar sana, rakyat berteriak hingga serak dan terkapar di trotoar. Merdekakah kita? Merdeka atau mati. Kita hampir mati menunggu kemerdekaan yang tak kunjung tiba, yang mungkin hanya mimpi.
Maka, upacarakan saja segala mimpi, bacakan mantra-mantra perjuangan yang lelah kurang darah. Pakailah seragam kebangsaan yang berlambang ketertindasan. Semangatkan cita-cita bagi sejarah berikutnya. Cinta tanah air, baurkan dengan air mata yang haru biru dalam lebam-lebam luka kalbu. Baiklah, mari kita mengheningkan cipta. Mulai!
Juwairiyah Mawardi, guru SMA 3 Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar