Judul buku : Bumi Makin Panas Banjir Makin Meluas
Penulis : Prof. Dr. Hadi S. Ali Kodra dan Drs. Syaukani HR, MM
Penerbit : Nuansa, Bandung
Cetakan : Pertama, Agustus 2004
Tebal : 244 halaman
Nasi tanpa lauk, selera makan akan menurun, karena salah satu menu makan kita ada yang kurang. Sama halnya bumi ini, bumi yang sudah mulai kehilangan “lauk pauk” atau jati diri sebagai bumi yang kaya akan sumber daya alam yang sejuk. Bumi kita sudah kehilangan jati diri sebagai bumi yang sejuk dan tentram. Keadaan bumi kita bukan lagi menjadi bumi yang menunjukkan sosok bumi yang sempurna. Alam kita yang sudah mulai mengalami kerusakan, dan kita belum menyadari sepenuhnya akan dampak kerusakan tersebut. Sikap ketidak pedulian kita terhadap hal tersebut sudah menunjukkan kita telah merusak dan membiarkan bumi kita, khususnya Indonesia menjadi tak terkendali dan tak terkontrol.
Di tengah carut marutnya ekonomi Indonesia, hutan kini jadi korban paling mengerikan. Penebangan liar, penyelundupan kayu, pencurian log, kebakaran pengrusakan hutan di era reformasi makin menjadi-jadi. Suara media massa, LSM, dan masyarakat yang menangisi kehancuran hutan Indonesia nyaris tak didengar pemerintah. Baru setelah CGI (Consultative Group of Indonesia) mengancam akan menghentikan bantuan dolarnya, pemerintah kelabakan. Saat ini, CGI masih menunda komitmen bantuannya untuk indonesia senilai 400 juta $ AS karena persoalan hutan Indonesia. CGI menuduh Indonesia tidak serius mengatasi kerusakan hutannya. Padahal hutan Indonesia telah dianggap sebagai “paru-paru” raksasa yang bisa menyerap melimpahnya gas karbon dioksida di udara. Makin banyak gas ini di udara, iklim bumi pun makin panas.
“Lauk pauk” bumi kita sudah hilang. Sungai , hutan dan laut sudah tak menjadi lauk pauk yang asli yang lezat dan sudah tak pantas untuk dijadikan bahan pelengkap. kondisi bumi saat ini sudah disulap menjadi sesuatu yang sudah tercampur ini-itu, bahan pengawet sudah merasuk.
Hutan sudah tidak menjadi hutan, akan tetapi ia menjadi bahan tambang manusia tanpa memikirkan dampak negatifnya. Tinggal nebang dan dibiarkan begitu saja tanpa melakukan reboisasi bahkan di hutan-hutan besar misalnya di Sulawesi dan Kalimantan sering terjadi penebangan liar dan dijual secara ilegal ke negara tetangga yakni Malaysia.
Jika kita terbang di atas pulau Kalimantan, akan terlihat permukaan pulau itu botak-botak. Liukan kali-kali di tengah kehijaun pulau terbesar di Indonesia itu sudah terlihat muram, tidak lagi menampakkan keindahan yang alami. Dari udara, memang masih terlihat. Tapi warna airnya tampak kecoklatan, bahkan ada yang abu-abu. Sementara disana-sini, terlihat permukaan tanah yang kecoklatan.
Paru-paru Kalimantan yang menghisap gas asam arang dan mengeluarkan gas asam sudah tercabik. Kebakaran yang tiap tahun terus menimpa hutan tropis Kalimantan menjadikan paru-paru Borneo itu rusak berat, bagai penderita TBC yang kronis. Tragisnya, rintihan sakit sang Kalimantan tak didengar orang. Begitupun dengan sungai Mahakam yang menjadi saksi bisu, betapa kejamnya pengusaha HPH dalam merusak alam Kalimantan yang dulu terkenal sebagai zamrud Katulistiwa itu.
Kini manusia yang tak bertanggung jawab terhadap lingkungan tersebut telah membuat suatu kerusakan yang menelan banyak korban.
Kebakaran pasar tanah abang yang berlangsung lebih 24 jam sejak Rabu hingga Kamis (19-20/2/2003), merupakan kebakaran terbesar di Asia Tenggara hingga membuat regu pemadam kebakaran tak berdaya. Jakarta barangkali merupakan kota paling aneh di dunia: musim hujan, banjir, dan kebakaran sekaligus terjadi dalam periode bersamaan.
Kenapa semua ini terjadi? Konsep ruang (lanskap) pembangunan di wilayah DKIlah penyebabnya. Sebagai contoh, di tanah seluas 1,2 hektar di pasar tanah abang di bangun lebih 2.000 kios. Secara logika, mampukah lahan seluas itu menampung kios yang benar-benar memenuhi sarat kesehatan, kebersihan, pencegahan bahaya dengan konsep early warning system, dan kebakaran? Nyaris tak mungkin.(hlm. 53)
Hutan alam, khususnya hutan tropis merupakan paru-paru bumi. Hutan menghirup gas karbon dioksida dan menghembuskan gas oksigen untuk dihirup manusia. Dengan lestarinya hutan, keberlangsunga hidup makhluk terjamin dan kadar gas karbon dioksida di udara yang menaikkan suhu atmosfer bumi ikut terkendali. Karena itu kita perlu melestarikan hutan kita dan menghentikan kerusakan hutan yang sekarang sudah mencapai 2,5 juta hektar pertahun. Jika kondisi ini dibiarkan, dalam 20 tahun lagi Indonesia akan menjadi negeri gundul. Kita bisa membayangkan, seandainya hutan tropis musnah,maka apa yang akan terjadi kelak dimuka bumi. Hutan tropis merupakan tempat kehidupan lebih 70% jenis spesies yang ada di bumi.
Buku ini menyorot berbagai hal dibalik kerusakan hutan dengan bahasa populer yang mudah dipahami masyarakat umum sangat langka. Tak banyak buku yang mencoba menyajikan persoalan deforestasi dengan pandangan multidimensi, khas gaya bahasa artikel di koran, dan buku ini merupakan bunga rampai artikel-artikel lepas di media massa untuk kemudian dihimpun untuk merenungkan nasib bangsa kita bila hutan telah tiada. Uniknya buku ini memuat informasi-informasi tentang suatu kejadian seputar lingkungan dan sebab-sebabnya, jadi dengan buku ini seakan-akan kita berada di tempat kejadian tersebut karena bukan hanya kabar-kabar tentang lingkungan yang baru terjadi, Namun, kejadian yang sudah dulu, tertulis dibuku ini. Tulisan ini sungguh rugi jika kita lewatkan untuk dibaca.
Mel@ncoli$
2 komentar:
Coba itu warna font teks-nya diganti, jangan IJO gitu, kan latarnya sudah ijo. JAdi gak keliatan Cing!!!
Apa kalian emang suka BUTO IJO?
wah! saya senang masih banyak orang yang peduli lingkungan, apalagi dari kalangan pesantren. pantas kemarin dapt kalpataru. majalah sma madris III kemrin juga tentang lingkungan kan?....sangat berarti walaupun hanya sebuah resensi...dan kembangkan ke aplikasi
Posting Komentar