Rombongan kami tiba di Kaliandra sekitar jam 9 malam di penghujung hari Minggu. Suasana cukup gelap. Tak banyak lampu penerangan yang menyala di halaman begitu kami masuk di gerbang yang terbuat dari bambu. Saat itu aku masih tak punya bayangan tentang tempat yang akan kami tinggali selama sepekan. Juga orang-orang yang akan bersama kami. Aku tak terlalu memikirkan itu. Perjalanan dari jelang tengah siang tadi agak melelahkan juga. Ditambah dengan udara dingin dan gerimis yang turun sejak dari Surabaya tadi.Kami diantar ke kamar oleh seorang anak yang kira-kira seusia dengan adik bungsuku. Dia membawa payung. Kami melewati jalan menaik berbatu yang tertata rapi. Kanan-kirinya cukup rimbun. Sekilas dari beberapa bangunan yang kami lewati, aku melihat corak bangunan tradisional Jawa dengan penataan yang asri. Akhirnya kami tiba di bangunan yang disebut-sebut oleh salah seorang yang menyambut kami tadi di halaman sebagai “Rumah Anjasmara”.Rumah Anjasmara dapat dikatakan sebagai sebuah pondokan. Sederhana, tapi bersih dan rapi tertata. Bentuknya kubus dan memiliki loteng. Pintu depan tepat ada di tengah. Begitu masuk, kita akan berada di ruang tengah yang tak begitu luas. Ada seperangkat meja kursi yang ditata di bawah tangga yang menaik ke arah loteng. Lurus dengan pintu masuk, berderet 8 kamar mandi yang memenuhi sepanjang satu sisi rumah. Sisi kanan kiri ruang tengah adalah kamar tidur yang kulihat sudah ditempati beberapa orang.Kami dipersilakan naik ke loteng. Tepat di sisi tangga terbawah, tertempel nama-nama peserta yang akan menempati loteng. Kalau tak salah ingat, ada sekitar 15 nama lengkap dengan alamatnya. Setelah melewati tangga terakhir, kami tiba di atas. Ada sekitar lima orang yang sudah di loteng. Di loteng yang berbentuk huruf “U” itu berderet kasur-kasur yang pas untuk satu orang. Rombongan kami memilih di bagian terdekat dengan tangga untuk turun. Sebelum keluar, si anak yang mengantar kami mempersilakan kami untuk makan malam di tempat yang sudah disediakan di dekat dapur. Tapi kami sudah makan tadi di perjalanan. Kami pun menata barang-barang kami, untuk kemudian rebahan.Pagi pertama di Kaliandra. Aku keluar dari rumah sekitar jam setengah enam. Udara masih terasa dingin sekali. Maklum, Kaliandra berada di ketinggian sekitar hampir 900 meter di atas permukaan laut. Cahaya matahari tak cukup memancarkan kehangatan. Sisa gerimis selama masih cukup terasa di rimbun dedaunan. Di luar, aku melihat-lihat keadaan, mencoba mendapatkan gambaran yang lebih utuh tentang tempat yang ditata menghijau ini. Akhirnya aku tiba di sebuah pendopo yang sepertinya akan menjadi tempat utama kegiatan kami selama hampir sepekan. Sebuah pendopo biasa. Ada spanduk panjang terpasang di dalam. Di depannya, halaman yang cukup luas membentang. Ada pohon beringin berdiri kokoh.Sepertinya, halaman pendopo ini akan difungsikan sebagai tempat pameran. Kami pun menyiapkan poster sederhana dan barang-barang lainnya yang akan diikutsertakan di tempat pameran tersebut. Kesibukan kami di pagi pertama selesai saat sarapan sudah disiapkan di ruang makan terbuka yang sederet dengan rumah penginapan kami.Setelah mandi dan sarapan, semua peserta melihat-lihat poster dan berbagai macam barang yang dipamerkan di halaman pendopo. Hampir semua menampilkan kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan lingkungan hidup atau isu pemanasan global. Beberapa poster didesain dengan cukup serius.Pembukaan resmi acara pertemuan guru lingkungan internasional ini dimulai agak siang—sekitar jam sepuluh. Selain sambutan-sambutan, kami juga disuguhi penampilan anak-anak Sekolah Ciputra yang membawakan beberapa lagu dan solo biola. Juga ada tarian tradisional Jawa. Prosesi pembukaan diakhiri dengan penyatuan tanah dan air yang dibawa oleh masing-masing tim peserta dari berbagai daerah dan penjuru dunia.Selepas istirahat siang, acara dilanjutkan dengan pembicara utama. Seorang nenek tua yang tampak masih sangat energik. Profesor dari Universitas Negeri Malang bernama lengkap Radyastuti Suwarno. Dia berbicara dengan cukup mengalir, meyakinkan, dan tak membosankan. Namun begitu, hujan di luar yang cukup deras mengguyur cukup mengganggu konsentrasi kami mengikuti pemaparan pakar pendidikan lingkungan ini.Selepas rehat sore, para peserta dibagi menjadi beberapa kelompok untuk diajak berkeliling di komplek Kaliandra. Selama berkeliling hingga matahari terbenam, kami mendapatkan banyak pemandangan indah di pusat pendidikan alam dan budaya yang luasnya 16 hektar ini. Masing-masing kelompok melewati jalur yang berbeda, sesuai dengan arahan pemandu. Kami naik turun bebukitan, beratus kelokan, menyeberangi semacam parit kecil, dan melewati beberapa bangunan dengan berbagai fungsi—rumah tinggal, kolam renang, pendopo, bengkel kerja, tempat pembibitan, kandang peternakan, pengolahan kompos, lumbung, dan sebagainya. Semuanya dalam lingkungan yang perdu menghijau dan penuh nuansa natural. Yang menarik, semua aktivitas dalam komplek Kaliandra ini seperti satu kesatuan yang saling menyokong, seperti sebuah sistem yang begitu menyatu padu.Perjalanan berkeliling Kaliandra tak terasa cukup melelahkan. Udara dingin yang diselingi kabut menahan keringat di tubuh kami yang mungkin berjalan dalam jarak yang sebenarnya cukup jauh. Rehat malam berlangsung cukup singkat. Lalu dilanjutkan dengan sharing harapan dan kekhawatiran untuk kegiatan yang akan berlangsung hingga akhir pekan.Hari kedua seharian diisi dengan presentasi. Dari pagi hingga siang, ada lanjutan presentasi dari pembicara utama, yakni dari Suko Widodo (Unair Surabaya). Selepas siang hingga malam, presentasi dilanjutkan dengan sesi paralel. Aku mengikuti sesi paralel presentasi dari utusan dari Polandia (Antoni Salamon), dan setelah itu dari Portugal (Fatima Matos Almeida).Tim kami dari Annuqayah tampil sore harinya. Tak mengira presentasi kami cukup mencuri perhatian para peserta yang kebetulan memilih hadir di sesi kami. Seorang peserta dari Malaysia semalam memang sudah menaruh sedikit rasa takjub karena kami dari sebuah pesantren di Madura mau berbicara tentang lingkungan. Katanya, di Malaysia orang Madura memiliki citra yang kurang baik. Lagipula, pesantren di sana tak lebih dari hanya mengajar mengaji saja. Presentasi kami rupanya telah cukup mengubah citra dan kesan negatif tentang Madura—mungkin juga tentang pesantren.Sesi malam diisi dengan pembicara utama yang tak bisa hadir tadi siang, yakni Richard Bachmann, seorang guru Sekolah Ciputra Surabaya. Dia mengantarkan diskusi pada bagaimana metode menumbuhkan kesadaran lingkungan melalui pendidikan—yang memang merupakan tajuk besar kegiatan ini.Hari ketiga kami diajak jalan-jalan. Ada enam tempat tujuan yang disediakan panitia. Ke pantai (bakau) di Bangil, pusat industri di Pasuruan, hutan dan sawah (padi) di dekat komplek Kaliandra, sungai di Purwodadi, dan ekosistem urban di Malang. Semua peserta diminta untuk memilih tempat tujuan masing-masing. Aku memilih ikut ke sungai.Setengah sembilan keenam rombongan diberangkatkan. Perjalanan ke Sungai Kaliadem Purwodadi di belakang Kebun Raya ditempuh sekitar satu jam. Begitu tiba, kelompok kami yang terdiri dari delapan orang dibagi menjadi tiga kelompok kecil, dan diminta melakukan survei singkat lokasi. Setelah berkeliling setengah jam, kami berkumpul dan berbagi informasi tentang sungai tersebut. Setelah itu, kami pun diajak kembali ke sungai, melakukan beberapa percobaan sederhana, dan mendiskusikan isu-isu lingkungan yang terkait hingga tiba makan siang. Kami kemudian makan siang sambil melanjutkan diskusi. Kami kembali ke Kaliandra sekitar jam dua siang, ketika hujan mulai turun.Tiba di Kaliandra, ternyata rombongan yang lain masih banyak yang pulang datang. Tiba bersama kami, kelompok hutan dan sawah. Ditunggu-tunggu, kelompok yang lain cukup lama tiba, hingga waktu makan malam siap terhidang. Sesi malam yang mestinya sharing tentang pengalaman di lapangan tertunda. Tiap kelompok malam itu menyiapkan bahan presentasi besok.Hari keempat seharian berupa presentasi hasil studi lapangan dari keenam kelompok. Masing-masing diminta berbagi apa yang sudah didapat, dengan penekanan pada metodologi apa yang mungkin dikembangkan untuk dapat dibawa ke sekolah atau komunitas dalam rangka penguatan kesadaran lingkungan. Sharing seharian telah cukup memberi banyak inspirasi, terutama menyangkut apa yang dapat dilakukan di masing-masing komunitas. Apa yang ada di sekitar kita ternyata dapat dijadikan sebagai titik tolak untuk menyemaikan kesadaran lingkungan. Alam adalah laboratorium besar yang dapat dimanfaatkan untuk banyak hal.Malam harinya adalah penampilan bertajuk “Cultural Night”. Masing-masing daerah diminta menampilkan kesenian tradisional. Dari Papua, Pak Faroka, Pak Sipri, dan Pak Frans tampil dengan koteka dan lagu daerah. Demikian pula dari Jawa, Bali, dan yang lain. Kami dari Madura tak punya cukup persiapan, dan tampil seadanya menyanyikan dua lagu Madura.Hari kelima adalah hari terakhir acara resmi. Setelah sesi foto-foto di pagi hari, masing-masing kelompok diminta untuk menyusun rencana aksi. Sore harinya, rencana tindak lanjut dipajang dan disharing tanpa presentasi langsung, tapi dengan cara berkeliling saling melihat-lihat.Malam harinya adalah malam penutupan. Malam itu kami dijamu makan malam di rumah megah Pak Bagoes, pendiri Yayasan Kaliandra. Jamuan makan malam berlangsung dengan protokoler yang cukup ketat dan resmi. Kami tiba di rumah Pak Bagoes sekitar jam tujuh lewat. Begitu tiba, kami menikmati hidangan makanan ringan, lalu tari topeng diiringi suara gamelan. Makan malam berakhir lewat jam sembilan.Setelah makan malam, acara selanjutnya hiburan. Tapi sebelum penampilan hiburan oleh tim panitia, kami melewati acara yang cukup seru. Semua peserta diminta untuk berjalan di atas arang yang membara sepanjang tiga meter tanpa alas kaki. Saat itu waktu sudah menunjuk sekitar jam sepuluh. Sebagai persiapan, kami bermeditasi sebentar dengan dipandu panitia bernama Anam. Setelah bermeditasi, mental kami disiapkan untuk berjalan di atas arang membara. Ya, semacam latihan. Selain tip teknis saat melintas nanti, yang terpenting mental kami diperkuat dengan kata-kata penyemangat yang harus kami teriakkan keras-keras dan sepenuh hati nanti sebelum melintas arang: “Saya bisa! Saya harus bisa! Saya pasti bisa!” Kami berlatih atau bersimulasi dengan kata-kata itu dua kali.Waktunya pun tiba. Satu per satu peserta berjalan di atas arang membara itu. Tak ada urutan yang ditentukan. Yang siap, langsung saja berangkat. Aku pun akhirnya mengambil giliran. Aku teriakkan kata-kata penyemangat itu sepenuh hati, dan aku pun berjalan di atas arang yang membara itu dengan pasti.Malam semakin larut tanpa terasa. Setelah semua peserta melintas, kami disuguhi hiburan bermacam kesenian tradisional, sambil menikmati jajanan tradisional yang disediakan di pinggir halaman. Semua peserta menikmati semua sajian dengan penuh suka cita. Lewat tengah malam suasana masih penuh semangat. Aku dan beberapa kawan baru menuju Rumah Anjasmara setelah waktu menunjukkan jam satu dini hari lewat.Hari keenam adalah hari terakhir di Kaliandra. Acaranya hanya penutupan resmi yang berlangsung singkat di pagi hari. Dalam acara penutupan juga ada pengumuman singkat dari panitia tentang rencana aksi terbaik yang disusun peserta. Ternyata, rencana aksi terbaik adalah milik tim kami dari Annuqayah.Sekitar setengah sepuluh acara penutupan berakhir. Setelah itu kami berkemas untuk pulang. Mobil jemputan sudah menunggu satu jam sebelumnya. Menjelang jam sebelas siang, rombongan kami pun meluncur turun meninggalkan ketinggian Kaliandra bersama banyak hal yang kami dapatkan selama sepekan.
M Mushthafa, guru SMA 3 Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep, mengikuti Environmental Teachers’ International Convention (ETIC) 2008 di Pasuruan.
Sumber: http://rindupulang.blogspot.com/2008/04/sepekan-di-kaliandra.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar