ZAITURRAHIEM, Sumenep
Sampah tak selamanya jorok. Di tangan kreatif siswa, sampah berubah jadi tas, vas bunga, dan kotak surat. Karenanya, siswi SMA 3 Annuqayah tak malu menjadi pemulung. Mengapa?
Lima puluh dua siswi yang tergabung dalam Pemulung Sampah Gaul (PSG) bertekad selamatkan bumi. Mereka merasa sesak dengan tempat pembuangan akhir (TPA) di sekitar sekolah. Berkubik sampah menumpuk di TPA. Apalagi, timbunan sampah itu sebagian besar terdiri atas sampah nonorganik. Sampah jenis ini sulit musnah dengan sendirinya.
Para gadis belasan tahun itu langsung terjun ke TPA. Mereka memunguti sampah. Di antaranya, siswi itu membawa pulang gelas plastik bekas kemasan air mineral atau minuman suplemen. Aksi siswi ini pun menyita perhatian warga di sekitar sekolah. Sebab, mereka masih mengenakan pakaian seragam sekolah. Pemandangan ini berbeda dengan pemulung sebenarnya saat turun ke TPA.
Ketua PSG, Mu’awwanah mengakui ide tersebut muncul setelah mendengar cerita dari gurunya yang mengajar Bahasa Indonesia, M. Musthafa. Perempuan asal desa Daleman kecamatan Ganding mendengar ada seorang perempuan di Jakarta bernama Regina. Regina, katanya, mengolah sampah plastik menjadi barang kerajinan yang layak dijual. Misalnya, dia contohkan sampah plastik menjadi vas bunga, tas, dan souvener lainnya.
Dia menyadari Regina yang diceritakan Musthafa mengilhami dirinya dan rekan-rekannya. “Mulanya kami malu, gengsi, mau jadi pemulung.” Perempuan yang gemar baca buku itu menegaskan kegiatan tersebut dimaksudkan untuk selamatkan bumi dari kehancuran. Selama ini mayoritas warga banyak konsumsi barang-barang yang terbungkus plastik. Padahal, plastik sulit lebur dalam tanah karena berbahan nonorganik.
Untuk proses desain dan pembuatan, perempuan berjilbab itu akui tak punya pembimbing. Karenanya, dia dan teman-temannya berkreasi sendiri. Siswi berkarya dan mengolah limbah tidak untuk mengejar pasar. Tetapi, siswi hanya ingin memanfaatkan barang-barang yang dianggap tak berharga. "Kami melakukan ini (memulung sampah dan mengolah menjadi souvener) tanpa beban, santai," katanya.
Hal yang sama diakui guru Bahasa Indonesia SMA 3 Annuqayah, Musthafa. Menurutnya, siswi ingin sosialisasi dan penyadaran tentang efek sampah nonorganik. Lulusan UGM itu katakan warga tak sadar sampah nonorganik sulit hancur secara alami. Sejauh ini, katanya, siswa baru melangkah terkait pemanfaatan plastik di TPA sekitar sekolah. Menurutnya, kreativitas siswa hanya satu hal. Sebab, siswa membidik masyarakat agar mengurangi konsumsi barang yang terbungkus bahan kimia. "Termasuk plastik itu," terangnya.
Pria yang pernah bermukim di Jakarta itu katakan ada pemesan dari sekitar sekolah. Dia contohkan, jajaran muslimat, madrasah aliyah, dan lembaga lainnya di sekitar sekolah memesan souvener dari sampah. Musthafa akui cara mengolah sampah ini dibuat sederhana. Siswi memungut dan mencuci sampah sampai benar-benar bersih. Selanjutnya, sampah-sampah dikeringkan. Terakhir, siswa mendesain dan mengubah sampah menjadi tas, vas bunga, maupun tempat lampu dan souvener lainnya. (*)
Dikutip dari Radar Madura, Sabtu, 14 Juni 2008.
4 komentar:
Selamat untuk siswi SMA 3 Annuqayah. pabejeng ya.. Hahha
global warming memang mengerikan, warga dunia pun kian peduli, seperti big ideas yang sering tayang di metro tv. para srikandi santri ini pun pantas mendapatkan aplaus bahkan kalpataru.
nanti direkomendasikan jadi anggota green peace ya. waduh.
Sebuah gerakan yang menyentuh karena para siswa-siswi berhasil menerjemahkan bagaimana menjadi khalifah dengan menyelamatkan lingkungan dari kerusakan.
Kampus kami juga melarang penggunaan plastik di kantin untuk menyuburkan kesadaran pembangunan berkelanjutan.
Malah, saya juga acapkali menolak plastik ketika membeli sabun dan keperluan lain di warung dekat rumah sebagai pembelajaran menghargai alam yang mulai menua karena berat menanggung beban.
wah, kalo gitu pasti warga bogor takkan lagi mengeluh apabila annuqayah hadir di bogor. tapi anuqayah jauh nian disana...!
Posting Komentar