Ulfatul Lu’luah, XII IPA SMA 3 Annuqayah
Senin (26/04) kemarin, aku menjalani pagi yang begitu resah. Tapi, hal ini aku curahkan dengan hanya berdiam diri dan duduk mematung menunggu kepastian. Lamunanku buyar saat Bu Mus’idah terkejut melihat penampilanku yang masih dalam keadaan tidak rapi. Beliau langsung menyuruhku untuk segera berganti pakaian dan akan pergi keliling Annuqayah dan sekitarnya untuk menyebarkan Majalah Teratai, majalah SMA 3 Annuqayah. Rasa resahku sedikit menghilang dari fikiranku. Tapi rasa penasaran dalam hatiku terus bergejolak.
Setelah kami bertiga kembali ke sekolah, aku dan Ummul Corn berangkat lagi untuk menyebarkan majalah kami itu ke SMK Annuqayah Putra. Tapi, berhubung kami tidak tahu jalannya, akhirnya kami kembali ke sekolah.
Sesampainya di pintu gerbang Madaris 3 Annuqayah, hatiku kembali tak tenang dan semakin waswas. Di aula, semua teman kelasku, juga sebagian guru, sudah banyak yang hadir. Terdengar suara Bu Mus’idah saat memberikan pesan dan kesan kepada kami dengan diiringi linangan air mata. Tanpa terasa, air mataku menetes satu persatu. Aku semakin tak berdaya. Pada satu sisi, aku merasa tidak terima karena harus keluar dan akan meninggalkan bangku SMA. Tapi, di sisi lain aku merasa takut. Takut kalau aku tidak lulus.
Sepuluh menit kemudian, pelulusan diumumkan. Dan kami diberi amplop yang isinya adalah pengumuman kelulusan. Nasiruddin, S.E., guru yang mewakili pihak sekolah, lalu memanggil siswa satu persatu dan menyerahkan amplop.
Dan, sampailah pada panggiln yang ke-21: “Ulfatul Lu’luah”. Itu adalah namaku. Aku semakin tak tahu dengan keadaanku sendiri. Pak Nasir menyerahkan amplop kepadaku. Kini amplop itu sudah ada di tanganku. Aku tak berani membukanya, meski sebenarnya itu sudah menjadi hakku untuk membukanya. Aku memegang amplop itu dengan linangan air mata.
Tangisan antara kebahagiaan dan kesedihan. Langsung aku serahkan amplop itu pada salah satu temanku, Eka. Aku terkejut saat dia bilang bahwa aku tidak lulus. Saat itu, rasanya aku ingin mati saja. Kumerasa, tak ada darah yang mengalir dalam tubuhku. Tapi, dia langsung tersenyum dan mengatakan bawa aku lulus. Meski begitu, aku masih tak percaya dan tak yakin akan hal itu.
Dengan membaca basmalah dan shalawat, kubuka amplop putih itu dengan sangat hati-hati.
Saat itu, aku merasa akulah orang yang paling bahagia di dunia. Saat kubaca, dan kulihat bacaan “tidak lulus” dicoret. Seketika itu juga tangisku semakin menjadi. Tangis bahagia karena aku sudah bisa menempuh jalan ini. Dan tangis sedih karena aku akan berpisah dengan teman-temanku yang selama ini telah menemani hari-hariku dengan suka dan duka. Juga tangis sebagai rasa syukurku kepada Tuhan, orang tuaku, dan tak lupa pula pada guruku yang selama ini tidak pernah ada kata-kata jenuh untuk selalu memberiku ilmu. Juga pada Pak Nasir yang telah berjuang mati-matian demi kesuksesanku dan teman-teman yang lain.
Kini, amplop putih itu kusimpan dengan rapi layaknya emas yang tak ternilai harganya. Besok, atau mungkin lusa, kupersembahkan amplop itu pada orang tuaku tercinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar